Dalam kehidupan sosial yang dipenuhi interaksi, peran sosial menjadi konsep utama untuk menjelaskan bagaimana norma dan ekspektasi masyarakat memengaruhi perilaku individu. Teori Peran Sosial (Social Role Theory), yang pertama kali diperkenalkan oleh Alice H. Eagly dan Wendy Wood, menjelaskan bagaimana norma dan ekspektasi masyarakat memengaruhi perilaku individu berdasarkan gender. Teori ini menunjukkan bahwa perbedaan perilaku antara pria dan wanita tidak sepenuhnya berasal dari faktor biologis, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh pembagian tugas dan peran dalam masyarakat.
Pada tahun 1980-an, Alice Eagly mengembangkan konsep inti teori ini dengan berdasarkan pendekatan psikologi sosial dan sosiologi. Kemudian, Wendy Wood memperluas teori tersebut dengan menambahkan elemen evolusi dan mekanisme biososial untuk menjelaskan bagaimana proses hormonal dapat mendukung perilaku yang sesuai dengan peran gender.
Teori ini berasumsi bahwa pembagian peran dalam masyarakat, seperti dalam pekerjaan dan keluarga, menciptakan stereotip gender yang membentuk ekspektasi tentang bagaimana pria dan wanita "seharusnya" bertindak. Misalnya, wanita sering diasosiasikan dengan sifat komunal seperti kepedulian dan empati, sementara pria lebih sering dikaitkan dengan sifat agentik seperti kepemimpinan dan dominasi. Stereotip ini memengaruhi cara individu memandang diri sendiri serta bagaimana mereka diperlakukan oleh orang lain. Akibatnya, perilaku yang sesuai dengan stereotip dianggap wajar, sementara perilaku yang melanggar stereotip sering mendapat sanksi sosial.
Perkembangan teori ini tentu didukung oleh penelitian yang dilakukan selama masa perkembangan materinya. Beberapa di antaranya adalah penelitian Eagly dan Steffen (1984) yang menunjukkan bahwa pembagian pekerjaan, seperti tugas rumah tangga dan pekerjaan dalam ranah profesional, sering kali menciptakan stereotip tentang pria dan wanita. Dalam penelitian ini, peserta mengamati pria dan wanita yang terlibat dalam berbagai jenis pekerjaan dan diminta menyimpulkan sifat kepribadian mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa pengamatan terhadap peran pekerjaan menghasilkan stereotip yang memperkuat anggapan bahwa pria lebih sering dianggap sebagai sosok yang tegas dan dominan, sementara wanita diasosiasikan dengan sifat lembut dan peduli. Selanjutnya, pada penelitian lain, oleh Zanna dan Pack (1975), ditemukan bahwa wanita cenderung menyesuaikan diri dengan ekspektasi pria dalam interaksi sosial. Mereka sampai mengubah perilaku mereka agar lebih sesuai dengan preferensi pria yang menjadi pasangan interaksinya.
Teori ini juga relevan untuk memahami masalah-masalah yang kita hadapi sekarang, seperti ketidaksetaraan gender di tempat kerja atau pembagian tugas di dalam keluarga. Di lingkungan kantor, stereotip gender sering menghalangi wanita untuk mendapatkan posisi yang lebih tinggi. Penelitian oleh Eagly dan Karau (2002) menunjukkan bahwa banyak orang merasa peran pemimpin tidak cocok untuk wanita, karena dianggap bertentangan dengan stereotip mereka. Sedangkan di lingkungan rumah, meskipun memang sudah banyak pria yang mulai mau membantu mengurus anak, sebagian besar pekerjaan rumah tangga pasti masih menjadi tanggung jawab wanita, walaupun wanita tersebut juga bekerja.
Memang, jika kita telusuri lebih lanjut latar belakang dan hasil penelitian teori ini, terlihat bahwa peran gender dalam masyarakat tidak selalu memberikan dampak positif, bahkan sering kali memperkuat stereotip yang merendahkan salah satu pihak. Hal ini menjadi alasan kuat mengapa kesetaraan gender terus diperjuangkan hingga saat ini. Sayangnya, stereotip yang negatif masih sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie pada Juni 2024, yang menyebutkan bahwa "perempuan lebih kejam daripada laki-laki" sebagai respons terhadap kasus seorang polisi wanita yang melakukan kekerasan terhadap suaminya. Ucapan tersebut menuai kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Komnas Perempuan, karena dianggap memperkuat stereotip negatif tentang perempuan dan menghambat perjuangan menuju kesetaraan gender. Berdasarkan Teori Peran Sosial, ekspektasi terhadap perempuan sebagai makhluk lembut dan pengasih membuat tindakan yang tidak sesuai dengan stereotip tersebut lebih mudah disorot dan dikritik. Hal ini sejalan dengan temuan Eagly dan Karau (2002) yang menunjukkan bahwa stereotip negatif sering kali menghalangi perempuan untuk diakui berdasarkan kemampuan mereka. Meskipun dari kritik publik terhadap pernyataan tersebut menunjukkan adanya peningkatan kesadaran akan dampak buruk stereotip, namun tantangan untuk mengubah norma sosial dan budaya masih harus dihadapi demi mencapai kesetaraan gender yang sesungguhnya.
Daftar Pustaka:
Van Lange, P. A. M., Kruglanski, A. W., & Higgins, E. T. (2011). Handbook of Theories of Social Psychology: Volume 2. SAGE Publication.
Aura, J. (2024). Apa itu Stereotip Gender yang Viral dalam Pernyataan Menkominfo Budi Arie?. Kumparan. https://kumparan.com/kumparanwoman/apa-itu-stereotip-gender-yang-viral-dalam-pernyataan-menkominfo-budi-arie-22wvfhIhyco Diakses pada 29 Desember 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H