Baru-baru ini, Aurel Hermansyah menjadi korban body shaming di media sosial. Sebagai seorang publik figur,
Aurel memang kerap menjadi sorotan, tetapi komentar-komentar negatif tentang tubuhnya jelas merupakan bentuk
kekerasan verbal yang tidak dapat dibenarkan. Kasus ini kembali mencerminkan buruknya budaya empati di era digital.
“kalau masalah fisik tuh dari dulu sudah banyak banget. Karena kan aku dulu sempat dari yang gendut terus jadi kurus. Sempat kulitku gelap terus aku di-bully lagi. Jadi memang selalu ada aja, jadi ya memang sudah biasa sih. Lebih ke sudah kebal ya, insya Allah," ucap Aurel di sela-sela perilisan lagu barunya di AH Basecamp, Jakarta Selatan, Kamis (11/7/2024).
Aurel, yang kini menjadi seorang ibu muda, tengah menjalani fase-fase besar dalam hidupnya, termasuk kehamilan
dan melahirkan. Tubuhnya tentu mengalami banyak perubahan—hal yang sangat wajar bagi seorang perempuan. Sayangnya,
alih-alih mendapatkan dukungan, ia justru dihujani komentar negatif seperti "kok makin gemuk" atau "tubuhnya tidak terawat."
Ucapan-ucapan semacam ini menunjukkan bahwa banyak orang masih menganggap tubuh perempuan sebagai objek yang pantas untuk
dikomentari, tanpa memikirkan dampaknya.
Masalah ini tidak hanya melukai Aurel secara pribadi, tetapi juga menggambarkan fenomena yang lebih besar: budaya komentar
toksik di media sosial. Banyak orang merasa berhak mengomentari fisik orang lain, apalagi figur publik, dengan dalih "itu risiko
menjadi terkenal." Padahal, siapa pun yang menjadi sasaran komentar negatif tetap manusia biasa yang bisa terluka.
Lebih dari itu, kasus ini menunjukkan bagaimana perempuan sering kali menjadi target utama body shaming. Standar kecantikan
yang sempit—seperti harus selalu ramping dan terlihat "sempurna" meskipun telah melalui kehamilan—masih mendominasi pandangan
masyarakat. Padahal, tubuh manusia sangat beragam dan perubahan fisik adalah sesuatu yang normal.
Body shaming bukan hanya masalah komentar buruk, tetapi juga menyangkut kesehatan mental. Komentar negatif seperti itu dapat
memicu rendahnya kepercayaan diri, kecemasan, bahkan depresi. Hal ini menjadi pengingat bahwa ucapan, sekalipun hanya berupa teks
di layar, memiliki dampak nyata yang bisa merugikan seseorang.
Maka, sebagai masyarakat, kita harus belajar untuk lebih bijak dan berhati-hati dalam berkomentar. Jika tidak ada yang baik untuk
dikatakan, bukankah lebih baik diam? Media sosial seharusnya menjadi ruang untuk saling mendukung, bukan arena untuk menjatuhkan.
Kita juga perlu mengapresiasi seseorang berdasarkan prestasi, perjuangan, atau kepribadiannya, bukan hanya dari penampilan fisiknya.
Untuk Aurel Hermansyah, kasus ini semoga menjadi pengingat bahwa banyak orang yang mendukung dan mengagumi perjuangannya sebagai
seorang ibu muda. Perubahan tubuh adalah bagian alami dari perjalanan hidup, dan itu seharusnya dirayakan, bukan dijadikan bahan olokan.
Kepada kita semua, mari jadikan kasus ini pelajaran untuk lebih menghargai perasaan orang lain. Ucapan kita mencerminkan siapa diri kita.
Dunia akan menjadi tempat yang lebih baik jika kita belajar saling menghormati, baik di dunia nyata maupun maya.
Sudah saatnya kita menghentikan budaya body shaming. Karena tubuh setiap orang adalah milik mereka sendiri—dan itu tidak pantas untuk dihakimi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H