Tidak ada yang menyangka bahwa kehidupan pribadi seseorang bisa menjadi alasan utama bagi sebuah perusahaan untuk mempertanyakan kompetensinya. Sebuah kejadian mencerminkan hal ini ketika seorang profesional yang telah mendedikasikan waktu dan usahanya harus meninggalkan tempat kerja karena alasan yang tidak berkaitan dengan kinerjanya.
Semuanya bermula dari status perceraian individu tersebut. Sebuah peristiwa yang sangat personal dan seharusnya tidak berkaitan dengan profesionalisme di tempat kerja. Namun, anggapan bahwa seseorang yang pernah bercerai tidak layak menjadi pemimpin mulai berkembang di antara atasan dan kolega. Seakan-akan kegagalan dalam pernikahan adalah cerminan dari ketidakmampuan seseorang dalam memimpin sebuah tim atau perusahaan.
Tidak hanya itu, individu ini juga harus menghadapi tuduhan yang disebarkan oleh mantan pasangannya. Dengan motif yang tidak jelas, mantan pasangan tersebut mulai menyebarkan fitnah bahwa individu tersebut memiliki niat untuk merusak rumah tangga orang lain. Tuduhan yang tidak berdasar ini menyebar dengan cepat, menciptakan tekanan sosial dan merusak kredibilitasnya di tempat kerja.
Yang membuat situasi ini semakin miris adalah standar ganda yang masih ada di dunia profesional. Ada contoh kasus di mana seorang pria yang bekerja di sebuah perusahaan besar terlibat dalam skandal perselingkuhan hingga akhirnya menjadi konsumsi media massa. Namun, perusahaan tempat dia bekerja tidak mengambil tindakan apa pun terhadapnya. Perusahaan memahami bahwa urusan pribadi tidak seharusnya menjadi faktor penentu dalam menilai kompetensi dan dedikasi seorang karyawan.
Lebih parah lagi, individu yang didepak dari perusahaan ini juga menghadapi hambatan ketika ingin mengikuti sertifikasi kompetensi. Ia dinyatakan tidak layak mendapatkan sertifikasi tersebut hanya karena pernah bercerai dan tidak menjabat posisi direktur. Padahal, sejatinya, sertifikasi kompetensi seharusnya merujuk pada keahlian dan pengalaman seseorang, bukan pada status pernikahan atau jabatan.
Ironisnya, dalam kasus lain, kehidupan pribadi justru menjadi pertimbangan utama dalam keputusan perusahaan. Bukankah profesionalisme seharusnya dinilai dari prestasi kerja, etos kerja, dan kontribusi nyata terhadap perusahaan?
Situasi ini mengajarkan banyak hal. Hal ini menunjukkan bahwa dunia kerja masih belum sepenuhnya adil bagi perempuan, terutama bagi mereka yang berani berdiri tegak meskipun diterpa badai dalam kehidupan pribadinya. Namun, perjuangan untuk mendapatkan pengakuan atas kompetensi dan dedikasi harus terus diperjuangkan.
Artikel ini dituliskan bukan untuk mengeluh, melainkan untuk membuka mata banyak orang bahwa stigma terhadap perempuan yang pernah bercerai atau mengalami masalah rumah tangga tidak seharusnya menjadi alasan untuk meragukan kapabilitas mereka dalam dunia profesional. Keahlian dan integritas seseorang seharusnya tidak diukur dari status pernikahan, melainkan dari kerja keras dan kontribusi nyata mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI