19.Debt Collector yang ngomong ”kebun binatang”.Setelah menjenguk sekretaris perusahaan yang sedang sakit, atas ijin bos kami serombongan memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing, meskipun jam masih menunjukkan pukul 16.00. Berbeda dengan atasan kami yang memutuskan kembali ke kantor dengan maksud mengambil file untuk keperluan miting esok hari. Namun, disinilah awal “malapetaka”. Saat di ruangannya tiba-tiba telepon berdering dan harus diangkat oleh sang bos sendiri. Ternyata telepon berasal dari seorang debt collector (DC) sebuah bank terkenal penyalur kartu kredit.
Bos: “Halo, selamat sore”
DC: “Sore, bisa bicara dengan Ibu Ningsih (nama imajiner)?”
Bos: “maaf beliau sudah tidak disini lagi”
DC: “Hee... jangan main-main ya, dasar babi lo..., hanya binatang yang
ngumpetin penunggak kartu kami”
Demikian kurang lebih petikan isi percakapan yang diceritakan kembali oleh sang bos kepada seisi kantor saat mencoba menangani masalah tersebut. Bayangkan efeknya. Kami sekantor trauma. Si bos komplain ke perusahaan penerbit Credit Card tersebut, menulis surat pembaca dan ngomong ke mana-mana. Kerugian perusahaan jelas tidak sebanding dengan tunggakan kartu kredit mantan rekan kerja kami.
Coba banyangkan berapa besar kerugian perusahaan jika terdapat 1000 pelanggan yang menunggak dan harus ditangani dengan cara reaktif dan tidak manusiawi seperti di atas? Jika cara kerja penagihan seperti ini terus dipertahankan justru akan meruntuhkan kredibilitas perusahaan yang telah dibangun dengan susah payah selama ini.
20.Iklan “tidak seindah warna aslinya” (over promise).Pesatnya persaingan memaksa produsen gencar memasarkan produk dengan berbagai cara. Iklan sering dipandang sebagai media efektif dalam meraih awareness yang tinggi agar pelanggan melakukan pembelian. Namun, sifat komunikasi iklan yang searah sering kali dibuat sedramatis mungkin, tidak jarang konsep dan tayangan iklan dibuat sekedar untuk memberi jawaban bagi iklan pesaing dan bukan berbasis pada inovasi produk dan pelayanan itu sendiri. Akibatnya, tidak jarang perusahaan tejebak pada “perang iklan”.
Akhirnya iklan tidak lebih sebagai pesan-pesan kosong yang tidak menggambarkan situasi yang sesungguhnya alias “tidak seindah karakter aslinya”. Selanjutnya dapat ditebak perusahaan dan produknya menjerumuskan diri dalam persepsi negatif pelanggan karena dianggap bohong. Bukan loyalitas yang diperoleh melainkan penolakan diam-diam di alam bawah sadar pelanggan. Situasi ini tentu sangat menyulitkan perusahaan dalam membangun kepercayaan pelanggan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H