Mohon tunggu...
Andi M Sadat
Andi M Sadat Mohon Tunggu... profesional -

Berbeda dengan bicara, kekuatan menulis bisa melampaui ruang & waktu. Hebatnya lagi melalui kekuatan teknologi saat ini, ia bisa terdokumentasi dengan sangat baik, idenya pun bisa ditularkan melebihi virus sekalipun, sehingga si penulis bisa menunjukkan bahwa dirinya pernah "ada".\r\n\r\nPenulis saat ini belajar & tinggal di UK. Blog Pribadi: http://andimsadat.blogspot.co.uk/

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

999 yang Menghancurkan Bisnis Anda (#17-18)

25 September 2014   06:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:36 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1411576132460098753

17.Saling lempar tanggung jawab.Beberapa waktu lalu kami sekeluarga yang ditinggal asisten rumah tangga ke kampung sepakat untuk membeli mesin cuci baru. Maksudnya agar beban pekerjaan rumah sedikit teratasi. Selanjutnya, Kamis malam kami berangkat ke salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta Selatan dan membeli mesin cuci bermerek asal Korea dengan janji hari Sabtu jam 10.00 akan diantar setelah di bayar tunai plus ongkos kirimnya.

Maklum, kami yang bekerja setiap hari dengan meninggalkan rumah kosong”deal” seperti ini sangat penting untuk memastikan produk dapat tiba dengan waktu yang tepat.

Hari Sabtu tiba, namun hingga siang hari produk yang dijanjikan belum juga muncul. Saat kami konfirmasi mereka berupaya meyakinkan bahwa pesanan kami lagi otw” alias masih dalam perjalanan. Kami pun dengan sabar menunggu hingga dengan sangat terpaksa menunda beberapa agenda pribadi. Karena yang ditunggu tidak kunjung tiba kami pun menelpon kembali, kali ini untuk meminta kepastian, kapan kira-kira kiriman akan tiba.

”Sebenarnya pengiriman barang bukan tanggung jawab kami lagi pak, itu tanggung jawab bagian gudang dan pengiriman”. Mendengar jawaban seperti itu Saya pun berinisiatif meminta nomor telepon bagian pengiriman agar dapat berkomunikasi secara langsung. Setelah berkali-kali mencoba menghubungi akhirnya tersambung juga, namun sekali lagi kami harus kecewa. ”Karyawanbagian gudang hari ini libur pak, yang jaga cuma dua orang, komplain bukan tanggung jawab kami, langsung ke kantor pusat aja pak”. Mendapat jawaban seperti itu kami pun hanya bisa pasrah sambil menelan rasa kecewa dan marah.

Hingga esok hari mesin cuci yang kami pesan belum juga tiba dan kami terpaksa mengancam membatalkan transaksi. Menjelang sore hari telepon kami berdering bahwa sebentar lagi barang pesanan segera tiba ke alamat kami. Setelah barang diturunkan dengan suasana yang tidak mengenakkan, sang pengantar hanya berkata, ”keterlambatan ini bukan karena kami pak melainkan kesalahan counter tempat bapak membeli”. Saya pun hanya bisa diam sambil menahan rasa kesal sambil membayangkan berapa banyak pelanggan yang dilayani seperti ini. Lalu, apakah harus marah dulu baru pelanggan dilayani lebih responsif? Pelanggan tidak perlu tahu seperti apa proses yang terjadi dalam internal perusahaan, yang ada mereka ingin produk pesanan dapat tiba sesuai kesepakatan tanpa harus tahu borok perusahaan yang saling lempar tanggung jawab.

18.Terlalu percaya pelanggan.Fenomena ini sering kita temui di mal-mal, di mana sebuah produk terutama kartu kredit ditawarkan seperti kacang goreng, prosedur yang super gampang memungkinkan proses penebitan kartu dapat disetujui dalam hitungan menit, tanpa pernah melakukan ricek atas kebenaran data yang disampaikan oleh calon pelanggan.

Bayangkan, ada ribuan kartu kredit diterbitkan hanya berbekal calon pelanggan tersebut telah memiliki kartu kredit sebelumnya. Jika dikalkulasi secara rasional seseorang dengan pendapatan rata-rata Rp 3.000.000/bulan misalnya, dengan satu kartu kredit saja rasanya akan sulit di tengah himpitan ekonomi saat ini, kecuali jika perusahaan mengandalkan marjin spekulatif mengingat kebanyakan pelanggan memiliki lebih dari satu kartu kredit.

Jadi jangan salahkan jika tunggakan kartu kredit dengan identitas yang sulit dilacak harus menjadi risiko yang harus dipikul oleh para provider yang terlalu ”percaya” kepada calon pelanggan. Jika dicermati secara mendalam kondisi ini tidak menguntungkan, bahkan brand image perusahaan yang telah dibangun bertahun-tahun harus terjerumus dalam perangkap komoditisasi. Sesuatu yang tentunya sangat merugikan perusahaan.

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun