17.Saling lempar tanggung jawab.Beberapa waktu lalu kami sekeluarga yang ditinggal asisten rumah tangga ke kampung sepakat untuk membeli mesin cuci baru. Maksudnya agar beban pekerjaan rumah sedikit teratasi. Selanjutnya, Kamis malam kami berangkat ke salah satu pusat perbelanjaan terkenal di Jakarta Selatan dan membeli mesin cuci bermerek asal Korea dengan janji hari Sabtu jam 10.00 akan diantar setelah di bayar tunai plus ongkos kirimnya.
Maklum, kami yang bekerja setiap hari dengan meninggalkan rumah kosong”deal” seperti ini sangat penting untuk memastikan produk dapat tiba dengan waktu yang tepat.
Hari Sabtu tiba, namun hingga siang hari produk yang dijanjikan belum juga muncul. Saat kami konfirmasi mereka berupaya meyakinkan bahwa pesanan kami lagi ”otw” alias masih dalam perjalanan. Kami pun dengan sabar menunggu hingga dengan sangat terpaksa menunda beberapa agenda pribadi. Karena yang ditunggu tidak kunjung tiba kami pun menelpon kembali, kali ini untuk meminta kepastian, kapan kira-kira kiriman akan tiba.
”Sebenarnya pengiriman barang bukan tanggung jawab kami lagi pak, itu tanggung jawab bagian gudang dan pengiriman”. Mendengar jawaban seperti itu Saya pun berinisiatif meminta nomor telepon bagian pengiriman agar dapat berkomunikasi secara langsung. Setelah berkali-kali mencoba menghubungi akhirnya tersambung juga, namun sekali lagi kami harus kecewa. ”Karyawanbagian gudang hari ini libur pak, yang jaga cuma dua orang, komplain bukan tanggung jawab kami, langsung ke kantor pusat aja pak”. Mendapat jawaban seperti itu kami pun hanya bisa pasrah sambil menelan rasa kecewa dan marah.
Hingga esok hari mesin cuci yang kami pesan belum juga tiba dan kami terpaksa mengancam membatalkan transaksi. Menjelang sore hari telepon kami berdering bahwa sebentar lagi barang pesanan segera tiba ke alamat kami. Setelah barang diturunkan dengan suasana yang tidak mengenakkan, sang pengantar hanya berkata, ”keterlambatan ini bukan karena kami pak melainkan kesalahan counter tempat bapak membeli”. Saya pun hanya bisa diam sambil menahan rasa kesal sambil membayangkan berapa banyak pelanggan yang dilayani seperti ini. Lalu, apakah harus marah dulu baru pelanggan dilayani lebih responsif? Pelanggan tidak perlu tahu seperti apa proses yang terjadi dalam internal perusahaan, yang ada mereka ingin produk pesanan dapat tiba sesuai kesepakatan tanpa harus tahu borok perusahaan yang saling lempar tanggung jawab.
18.Terlalu ”percaya” pelanggan.Fenomena ini sering kita temui di mal-mal, di mana sebuah produk terutama kartu kredit ditawarkan seperti kacang goreng, prosedur yang super gampang memungkinkan proses penebitan kartu dapat disetujui dalam hitungan menit, tanpa pernah melakukan ricek atas kebenaran data yang disampaikan oleh calon pelanggan.
Bayangkan, ada ribuan kartu kredit diterbitkan hanya berbekal calon pelanggan tersebut telah memiliki kartu kredit sebelumnya. Jika dikalkulasi secara rasional seseorang dengan pendapatan rata-rata Rp 3.000.000/bulan misalnya, dengan satu kartu kredit saja rasanya akan sulit di tengah himpitan ekonomi saat ini, kecuali jika perusahaan mengandalkan marjin spekulatif mengingat kebanyakan pelanggan memiliki lebih dari satu kartu kredit.
Jadi jangan salahkan jika tunggakan kartu kredit dengan identitas yang sulit dilacak harus menjadi risiko yang harus dipikul oleh para provider yang terlalu ”percaya” kepada calon pelanggan. Jika dicermati secara mendalam kondisi ini tidak menguntungkan, bahkan brand image perusahaan yang telah dibangun bertahun-tahun harus terjerumus dalam perangkap komoditisasi. Sesuatu yang tentunya sangat merugikan perusahaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI