Mohon tunggu...
Andi M Sadat
Andi M Sadat Mohon Tunggu... profesional -

Berbeda dengan bicara, kekuatan menulis bisa melampaui ruang & waktu. Hebatnya lagi melalui kekuatan teknologi saat ini, ia bisa terdokumentasi dengan sangat baik, idenya pun bisa ditularkan melebihi virus sekalipun, sehingga si penulis bisa menunjukkan bahwa dirinya pernah "ada".\r\n\r\nPenulis saat ini belajar & tinggal di UK. Blog Pribadi: http://andimsadat.blogspot.co.uk/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ustad Baha'

26 November 2014   07:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:49 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1416937481613530996

Perawakannya kurus, tinggi dengan senyum khas yang alami. Demikian ciri awal yang bisa dikenali dari sosok rekan semasa kecil ini. Hari itu dia menjadi Imam sholat lohor di masjid yang hanya berbatas pagar dari rumah masa kecil saya. Ya, perjalanan kembali ke kampung halaman kali ini benar-benar berkesan. Selain bertemu dengan kawan sepermainan sejak SD hingga kuliah, saya juga berkesempatan menyusuri kembali tempat-tempat berkesan masa lampau menyaksikan banyak perubahan. Beton menjadi pemandangan lumrah di kampungku, sejak ruko, jalan hingga perumahan, mereka seolah saling beradu kecepatan. Tetapi apapun itu perjalanan pulang kali ini sungguh obat pelipur rasa kangen sejak melanglang buana menyusuri setiap sisi negeri Ratu Elizabeth.

Lalu, sholat lohor yang dipimpin Ustad Baha' hari itu begitu terasa penuh makna. Ingatan saya kembali menelusur hingga masa kecil dulu. Sungguh suara merdu sang ustad tak lekang oleh waktu. Bahasa tubuhnya yang alami tidak berubah. Saya merasakan kembali keteduhan itu, perasaan yang telah lama hilang. Ada spirit ketertundukan (merendah), perasaan magis? saat menyalaminya siang itu. Sosok Ustad ini tetap bersahaja, sama seperti dulu. Dirinya masih tetap dengan sarung, pecinya dan sendal jepitnya yang kokoh, tetap berjalan kaki dari rumah ke mesjid setiap saat meskipun sepeda motor yang kini berseliweran di kampung bisa jadi alternatif efektif. Maklum jarak rumahnya dan mesjid lumayan berjauhan.

Tapi bagi Ustad Baha', kesederhaan, kebersahajaan seolah menyatu. Ia tak lekang oleh materialisme yang secara transparan kini terpajang disetiap sisi kampung kami. Bagi Baha' dirinya adalah penjaga moral masyarakat yang selalu bersyukur oleh nikmat yang diberikan oleh-NYA. Rezeki boleh dicari hingga ke ujung dunia tetapi jika waktu sholat tiba harus ada yang berazan di mesjid. Saat orang disekelilingnya ramai-ramai mengejar rupiah hingga keluar kampung dirinya selalu memperlihatkan rasa cukupnya sehingga tidak memberi ruang sedikitpun untuk hidup berlebihan apalagi harus mengambil hak orang lain. Tidak heran saat idul kurban tiba dirinyalah pihak yang paling akhir menerima bagian hewan kurban. padahal posisinya yang strategis di masjid kampung membuatnya memiliki hak untuk menentukan siapa-siapa dapat berapa. dirinya bisa saja mendahulukan keluarga dan familinya sebelum orang lain, seperti yang kerap terjadi di kampung sebelah. Tetapi itu semua tidak dilakukan. Dia selalu berada pada bagian akhir setelah jamaahnya (ummat) mendapatkan bagiannya. Peran yang rasanya begitu sulit ditemui di zaman gadget saat ini.

Saat menyebut dirinya penjaga moral warga kampung, Ustad Baha' hanya tersenyum simpul sambil berkata, "biasa saja, tidak ada yang istimewa dari peran saya". Demikian kilahnya. baginya apa yang diperankannya sudah sepantasnya dia lakukan. "Hidup ini harus seperti bandul, saat semua orang condong ke kiri harus ada orang yang ke kanan" sambungnya. Bandul kehidupan memang terus bergerak dan Ustad Baha' memilih peran sebagai penyeimbang. Sebuah pilihan yang tentu saja sangat sulit dan sangat langka sebab menjadi “berbeda" di tengah kerumunan orang tentu pilihan dilematis.

Bagi saya Ustad Baha' menjadi sosok "kontroversi" di tengah badai materialisme saat ini. Dia tetap bersahaja, konsisten, tidak terkikis oleh gelombang perubahan. Baginya kemanusiaan dan ketertundukan kepada-NYA adalah segalanya, sebab kemanapun manusia pergi pasti akan kembali. Sejauh dan sekuat apapun mereka pergi pasti akan kembali ke satu titik. Ini hukum alam dan semua manusia mengalaminya, merantau dari tanah bugis menembus eropa yang saya lakukan pasti akan mengalami kata "kembali". Sikap untuk selalu mengingat kata kembali inilah yang selalu menjadi kekuatan untuk tidak terlena dengan dunia yang terus berputar seolah tanpa akhir. Dan Ustad Baha' sangat memahaminya.

B1: 141014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun