Sebagai daerah dengan kemenangan Kubu 02 yang sangat tinggi, tentu sebagian warga Kalimantan Selatan sangat kecewa dengan hasil Hitung Cepat yang memenangkan pihak 01.Â
Terlihat jelas sepulang dari sholat subuh tadi, jamaah Masjid yang biasanya memang kumpul2 sebentar untuk ngobrol, kecewa karena Perubahan yang diinginkan kemungkinan tidak bakal terwujud.Â
Apalagi dengan adanya isu lingkungan hidup yang masih hangat di Kalsel. Jika sudah nonton film Asimetris dan Sexy Killers, pasti tahu permasalahannya.Â
Ada juga yang kecewa karena selama ini banyak fitnah yang menyerang Guru-guru mereka, ulama-ulama mereka, sehingga mereka menginginkan perubahan kepemimpinan di negeri ini. Dan banyak lagi alasan-alasannya terutama masalah ekonomi dan daya beli.
Wajar saja kecewa, apalagi setelah mendominasi di wilayah sendiri, keoknya karena perolehan suara di wilayah lain, yang penduduknya mungkin tidak memahami persoalan di Kalimantan Selatan, yang tidak merasakan masalah-masalah di Kalsel, dan bahkan tidak tahu Kalsel itu ada dimana.Â
Tapi, terlepas dari kontroversi hasil Quick Count atau Exit Poll, dan bahkan Real Count nantinya, Permainan ini Pasti Berakhir, entah kemenangan 01 atau mungkin 02 menyalip ditikungan. Pasti 'The End', suka tidak suka, terima atau tidak terima.
Saya sudah beberapa kali menulis status tentang Demokrasi, ini permainan yang 'brutal', jor-joran rebutan suara tanpa ada pembeda KUALITAS suara. 1 suara ulama = 1 suara professor = 1 suara orang gila. Jadi jika ada 10 ulama + 10 professor yang mendukung si A misalnya, maka tetap kalah kalo si B punya dukungan 30 suara orang gila.Â
Ini perumpamaannya, bukan sindiran ke kontestan Pilpres lho ya. Ini juga ditambah fakta bahwa dalam alam demokrasi Indonesia, suara rakyat itu di hibahkan tanpa syarat, bukan di pinjamkan. Ibarat hibah kalo sudah diberikan ya tidak bisa ditarik lagi meskipun yang diberi hibah itu berkhianat atau ingkar janji.
Dari hasil sementara yang dimunculkan lembaga survey dan media, maka ini momen bagus untuk introspeksi. Saya teringat ceramah Buya Yahya ketika menjelaskan tentang Pemimpin, kenapa kadang pemimpin yang kita pilih tidak menang.Â
Buya menjelaskan, itu tergantung Anda, berapa kali Anda bersimpuh berdoa memohon kepada Allah untuk diberikan pemimpin yang sesuai dengan harapan Anda. Kalo cuma berdoa saat kampanye saja ya jangan kecewa jika tidak terkabul, mintanya hanya momen-momen tertentu saja sih. Seharusnya setiap sholat, berdoa minta diberi Pemimpin yang Amanah.
Kedua yang perlu dicermati, dari data yang dikeluarkan lembaga survey itu ternyata banyak pemilih yang tidak punya akses ke internet, media sosial, dan pusat informasi yang valid. Mereka memilih tanpa pernah tahu informasi apa yang bisa dipertimbangkan terlebih dahulu. Tidak cuma di desa, di kota-kota juga banyak.Â
Bank Dunia merilis informasi bahwa ada 55% orang Indonesia yang Buta Huruf Fungsional. Coba tanyakan ke tetangga atau siapa yang memilih kemarin, apa itu DPD dan apa fungsi lembaga itu secara umum? Jangan-jangan Anda juga tidak tahu.Â
Itu baru DPD, jangan ditanya untuk DPR dan DPRD, banyak yang tidak kenal sama sekali calegnya. Luar biasa, dari 5 surat suara, mayoritas yang dipilih berdasarkan keyakinan cuma kertas suara Pilpres, itupun jika tidak ikut-ikutan juga, ikut pilihan saudaranya, ikut pilihan Ustad atau Kiainya, ikut pilihan Kadesnya, dsb, bukan kesadaran sendiri berdasarkan pertimbangan informasi yang didapat.Â
Ini kan miris sekali, bahwa di era yang digembor-gemborkan akan memasuki Revolusi Industri 4.0, masih banyak yang Gagap Informasi. Pembangunan SDM nya timpang.
Nah alangkah baiknya jika makin banyak orang-orang yang peduli dengan Pendidikan Informasi ini. Bukan cuma pengadaan infrastruktur internet saja, tapi bagaimana mendidik masyarakat dalam hal cara menggunakannya untuk memperoleh informasi yang berguna bagi kehidupan dan usahanya.Â
Bukan malah termakan hoaks atau cuma untuk main Mobil Lejen aja. Dukungan Pemerintah Daerah, Akademisi, dan Masyarakat di Kalsel sangat diperlukan. Bangun kualitas Urang Banua ini dulu, InsyaAllah daerah akan maju.
Saya pribadi sih tidak muluk-muluk dengan jargon ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Cukup memberikan wawasan ke masyarakat di daerah saya sendiri saja. Itupun sebatas kemampuan karena saya tidak pegang proyek pendidikan dan tidak punya anggarannya. Kalo ada yang mengajak kolaborasi, ayuk ja.Â
Seperti saat ini saya sedang menyusun Presentasi untuk rencana kegiatan sosialisasi kewirausahaan digital ke kampus-kampus di Kalsel, yang disponsori salah satu startup nasional.
Ketiga, jika kemarin kontestasi Pilpres dianggap sebagai perjuangan dakwah dan membela ulama dan agama Islam, maka kalah ataupun menang calon yang diusung, perjuangan harus tetap berlangsung. Sejak kegiatan 212 sampai kampanye kemarin, saya mencatat ada hal Positif yang merubah sebagian masyarakat muslim menjadi lebih baik.Â
Pertama, dalam menjaga kebersihan dan ketertiban. Ini terlihat disetiap acara 212 dan kampanye 02, datang bersih, pulangnya bersih-bersih. Di Haul Abah Guru Sekumpul kemarin, saya juga melihat hal ini mulai diterapkan. Jamaah aktif membersihkan sampah-sampah yang menggunung akibat kegiatan yang dihadiri jutaan manusia itu.
 Meskipun ada juga yang masih membuang sampah sembarangan dan tidak tertib. Nah itu yang perlu diajari dan dinasehati. Â
Hal kedua adalah kegiatan Subuh Berjamaah. Alhamdulillah, sejak ramenya ajak-ajak itu, shaf di masjid saya bertambah. Tadinya konsisten 1 shaf terdepan saja, sekarang lumayan nambah jadi 2 shaf, dan untuk momen-momen tertentu bisa 'meluber' sampai 3 shaf.Â
Memang masih jauh dibanding Sholat Jumat yang jamaahnya bisa sampai memenuhi halaman parkir karena masjidnya sudah tidak muat lagi. Perjuangan masih panjang wal ai.
Hal ketiga adalah media dakwah. Semakin banyak orang-orang yang mengakses konten-konten dakwah di Youtube dan Media Online, baik dari Ust Abdul Somad, Ust. Adi Hidayat, Aa Gym, Ust Arifin Ilham, dan ulama-ulama lainnya. Kontestasi Pilpres mendorong hal ini.Â
Ada yang mempermasalahkan Shaf Sholat campur Pria dan Wanita, Ada yang mempermasalahkan pembakaran bendera tauhid, Ada yang mempermasalahkan sholat di lapangan atau jalan, dan semua hal-hal yang tadinya bagian dari 'kampanye' dan persaingan kubu kontestan pilpres.Â
Hal ini justru menarik minat umat muslim untuk mencari tahu dalil dan aturannya. Alhamdulillah banyak pembahasan di media online dan video online. Semakin diperdebatkan, semakin banyak yang belajar Agama.
Tentu hal ini perlu disebarluaskan lagi, khususnya kepada generasi muda muslim. Banyak diantara mereka yang karena merasa Generasi Millenial, kemudian memakan bulat-bulat kebebasan mutlak ala Barat.Â
Tidak sedikit saya temui muslim yang menganggap ajaran Agamanya itu kolot, dan dari kasus-kasus penghinaan ulama, sebagian diantaranya dilakukan oleh orang Islam sendiri. Ini kan aneh, mengapa muslim mencaci maki ulamanya sendiri.Â
Meskipun tidak sependapat atau dari ormas lain, tentunya jika ada protes pun tidak sampai hujatan, caci maki, dan penghinaan.Â
Pun dalam kasus penghinaan agama di Kalsel ini saja, yang terbaru kemarin Tim Cyber Reskrimsus Polda Kalsel berhasil menangkap orang yang fotonya di medsos menginjak-injak Al Quran, menghina Guru Sekumpul, dan ini muslim. Bungul banar kalu. Tapi nyata...
Apalagi dalam kontestasi Pilpres ini, akun medsos dibajak, digunakan untuk menghina dan memfitnah Ulama. Tidak cukup sampai segitu, HP beliaupun dibajak dan digunakan untuk menyebar sms kampanye. Ada juga yang dibuat meme, disebarkan dengan tujuan mendiskreditkan ulama-ulama yang ditarget.Â
Pun jika melihat komentar-komentar di media online dan media sosial dari akun-akun yang ada, banjir caci maki dan hujatan ke ulama dan ajaran Islam, mengalir deras tanpa beban.Â
Yang bikin hoaks menuduh pihak lain yang bikin, mudah sekali menuding kelompok muslim sebagai radikal, intoleran, anti Pancasila, anti NKRI. Ormas muslim yang satu di kompor-kompori untuk 'menyerang' ormas muslim yang lain. Diadu kambing antara yang satu dan yang lain.Â
Lha kok bisa? Indonesia negara dengan penduduk muslim mayoritas ( kalo tidak salah lebih dari 80% jumlah penduduknya muslim ) dan salah satu yang terbesar didunia. Aneh gitu jika Islam dan Ulama mudah sekali dihina dan dicaci maki di negeri ini. Tapi inilah permasalahan yang harus ada solusinya.Â
Tidak bisa mengharap siapa-siapa, apalagi Pemerintah untuk hal ini, hanya ikhtiar masing-masing dan kekuatan doa saja. Ada dakwah yang tidak/belum sampai menjangkau seluruh muslim di Indonesia, dan ini tanggung jawab kita semua, umat Islam.Â
Jika setiap muslim memahami keluhuran ajaran agamanya sendiri dan mempraktekkan dalam kehidupan, InsyaAllah tidak terpecah belah dan tercerai berai karena urusan duniawi semacam ini.Â
Ada etika dalam syariat Islam yang harusnya diterapkan. Perbedaan itu pasti ada, tapi bukan untuk saling menjatuhkan dengan menghalalkan segala cara. Semoga kedepan, siapapun Pemimpinnya bisa merangkul semua pihak yang pernah bersaing dan berseberangan ini.
Akhir kata, seperti yang saya tulis di judul, permainan ini pasti berakhir. Tapi tidak dengan jalan hidup kita masing-masing. Masih banyak urusan yang lebih besar dari sekedar bersaing antar kubu di Pilpres.Â
Masih banyak yang bisa dilakukan untuk memajukan bangsa dan agama, daripada berebut kekuasaan dalam kontestasi politik. Selamat untuk yang jagonya menang, dan tidak usah bersedih untuk yang jagonya kalah. Masih banyak ruang untuk berkarya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H