Akhir Februari lalu, tepatnya tanggal 27 Februari 2023, netizen sempat dihebohkan oleh kasus seorang penjual Baju Bekas (Online Thriftshop) di Kota Makassar yang mengeroyok konsumennya. Hal ini lantaran si konsumen menyuarakan keluhannya di media sosial terkait pesanan baju yang tak kunjung datang, padahal ia sudah lunas melakukan pembayaran. Sedihnya, Ketika si korban melaporkan ke polisi setempat, laporan tersebut tak kunjung ditindak lanjuti, hingga teman korban memviralkan kasus ini di laman twitter hingga tersebar ke antero negeri.
Kabarnya saat ini pelaku alias penjual baju tersebut telah ditangkap. Lagi-lagi, setelah kasus tersebut viral dan diketahui seluruh netizen.
Entah sampai kapan, penanganan kasus hukum masyarakat harus melalui prosedur "viral" dulu baru ditindak.
Tentunya kasus diatas dan serentetan kasus-kasus konsumen lainnya telah melanggar aturan Hak Konsumen untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, sebagaimana Pasal 4 angka 4 Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Selain itu, Konsumen juga berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, sehingga pelaku usaha wajib memiliki ittikad baik dalam menjalankan usahanya. Pelaku usaha wajib sadar mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehigga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Pemerintah Indonesia melalui aturan Undang-undang Perlindungan Konsumen berupaya memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum untuk konsumen. Sehingga, bukan hanya aturan saja yang dibentuk, namun juga keberadaan Lembaga pendukung seperti Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.
Konsumen seharusnya bukan hanya cukup menikmati barang dan jasa yang ia butuh atau inginkan. Namun, konsumen wajib mengetahui Hak dan Kewajiban mereka yang dilindungi Undang-undang, serta memahami bagaimana penyelesaian sengketa yang di alami. Konsumen seharusnya mengetahui keberadaan BPSK sebagai Lembaga yang dapat menyelesaikan sengketanya dengan cepat dan lebih murah. Jika ia mengalami kerugian yang cukup banyak, dapat segera melaporkan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang terdapat di kota terdekatnya.
Sayangnya, sosialisasi terkait Lembaga ini mungkin masih belum cukup masif sehingga konsumen masih merasa buntu dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan posisi dirinya sebagai konsumen. Bahwa Pemahaman Lembaga peradilan bukan hanya seputar pengadilan umum, namun juga terdapat badan diluar pengadilan yang putusannya juga memiliki kekuatan hukum yang sah dan mengikat. Di sisi lain, keberadaan Lembaga ini hanya terbatas pada beberapa kota tertentu saja, sehingga menjadi tugas pemerintah untuk memberikan solusi agar lembaga penyelesaian sengketa dapat di akses dimanapun.
Asas Fiksi Hukum yaitu Presumption iures de iure mewajibkan semua orang tahu hukum dan tidak membebaskan diri nya dari aturan hukum walaupun ia belum mengetahui. Tentunya, hal ini menjadi alasan kuat tentang bagaimana fungsi Lembaga terkait yang telah diamanahkan undang-undang agar berjalan untuk memasifkan informasi, serta peran akademisi untuk membantu terwujudnya konsumen yang kritis dan berdaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H