Mungkin sebagian masyarakat sudah tidak asing lagi dengan salah satu jajanan Viral ini. Sejak tahun 2019 hingga 2020, Ciki Ngebul (Cikibul) atau Ice Smoke sudah bisa ditemukan di beberapa pusat perbelanjaan. Jajanan kekinian dengan keunikan asap yang mengepul pada jajanan tersebut membuat daya tarik bagi para konsumen, terkhusus anak-anak.Â
Cikibul merupakan makanan ringan dengan tekstur renyah seperti jajanan ciki pada umumnya. Perbedaannya, kemasan Cikibul identik dengan menggunakan gelas plastik dan ukuran snack nya sedikit lebih besar dan menimbulkan asap yang disebut sebagai Nitrogen cair.
Jajanan viral ini ternyata diketahui telah muncul sejak tahun 2019, masih belum banyak masyarakat maupun pemerintah yang menyadari bahwa ternyata makanan ini berbahaya bagi kesehatan karena mengandung bahan yang menyebabkan konsumen keracunan. Kebanyakan baru memahami setelah satu persatu korban bermunculan.Â
Faktanya, melalui laporan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menyebutkan, pada Bulan Juli 2022 terjadi kasus pertama yang dilaporkan akibat mengkonsumsi Cikibul. Korban yang masih belia dan berasal dari Kabupaten Ponorogo Provinsi Jawa Timur menderita luka bakar pada sekujur tubuh setelah menikmati jajanan Cikibul. Â
Kemudian di susul laporan di tanggal 19 November 2022, UPTD Puskesmas Lewuisari, Kabupaten Tasikmalaya, melaporkan telah terjadi Kondisi Luar Biasa (KLB) Keracunan Pangan dengan jumlah kasus 23 anak akibat mengonsumsi Cikibul.
Kejadian yang berulang dalam kurun waktu 1 tahun akhirnya menggerakkan Kementerian Kesehatan untuk mengeluarkan himbauan melalui  Surat Edaran Nomor KL.02.02/C/90/2023 yang menjelaskan bahwa penambahan Nitrogen Cair pada produk pangan siap saji yang tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) dapat menyebabkan gangguan kesehatan atau keracunan pangan.
Kasus seperti ini bukanlah yang pertama. Di tahun yang sama, Pemerintah juga menetapkan Kejadian Luar Biasa pada anak-anak sebagai korban penderita ginjal akut akibat penggunaan obat sirup. Hal ini mengakibatkan pemerintah harus menarik edaran beberapa obat yang diduga mengandung zat yang berbahaya.
Konsumen Berhak Atas Konsumsi Makanan yang BermutuÂ
Kesehatan adalah Hak Asasi Manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Berdasarkan Pasal 111 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) menyebutkan bahwa Makanan dan minuman yang dipergunakan untuk masyarakat harus didasarkan pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Apabila tidak sesuai, maka pemerintah berhak untuk melarang edarannya, menarik dari peredaran dan mencabut izin edar serta menyita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan UU Kesehatan ini juga didukung oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan juga mengatur pada Pasal 86 agar Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan wajib memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan. Apabila tidak memenuhi mutu pangan dan pangan tercemar, maka orang tersebut dapat dikenakan sanksi administratif berupa Denda, Penghentian sementara dari kegiatan produksi dan/atau peredaran, Penarikan pangan dari peredaran oleh produsen, Ganti Rugi dan/atau pencabutan izin.
Catatan Merah Perlindungan Konsumen
Selain UU Kesehatan dan UU Pangan, sejak tahun 1999 Pemerintah juga telah merilis aturan terkait Perlindungan Konsumen sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Selama 23 tahun Undang-undang ini berjalan, maka seharusnya Konsumen mendapat ruang perlindungan. Keberadaan UUPK adalah upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Selain melarang pelaku usaha untuk memproduksi dan memperdagangkan barang/jasa yang tidak memenuhi standar yang dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan, UUPK juga mengatur Hak dan Kewajiban Konsumen maupun Pelaku Usaha.
Berdasarkan Pasal 4 UUPK, Konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Sehingga, sudah sangat jelas jika dalam menjalankan kegiatan usahanya, Pelaku Usaha wajib untuk berittikad baik dan memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.Â
Kesadaran terhadap informasi terkait kondisi dan jaminan barang tentu menjadi tanggung jawab bersama. Sebagaimana konsumen juga wajib untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.
Undang-undang juga secara tegas mengatur sanksi pidana bagi pelaku usaha yang nakal. Berdasarkan Pasal 62 UUPK, Pelaku Usaha yang melanggar larangan produksi dan perdagangan barang/jasa dapat dikenai sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah).
Kasus Cikibul ini menjadi catatan merah Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bagaimana tidak? Pada umumnya kerugian konsumen yang sering terjadi berupa harta yang suatu saat mungkin akan didapatkan lagi.Â
Tapi, bagaimana jika kerugian sudah berupa nyawa?. Kasus ini memperingatkan kita semua bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan Undang-undang baik dari tataran Pemerintah hingga sosialisasinya pada Pelaku Usaha dan Konsumen. Kurangnya pembinaan dan pengawasan pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab atas jaminan hak-hak konsumen menjadi catatan penting agar segera dilakukan perbaikan sistem.
Sampai Kapan Harus Menunggu Viral Dulu, Ditindak lanjuti kemudian?
Pengawasan pemerintah sangat penting sebagai upaya perbaikan sinergitas pelaksanaan UUPK dan peraturan perundang-undangan lainnya agar dapat terlaksana dengan baik di seluruh Indonesia. Bahkan Jabatan Menteri atau Menteri Teknis dapat secara sah untuk turun langsung menindak siapapun yang melanggar ketentuan undang-undang.
Kasus Cikibul sejatinya bukan hanya kelalaian pelaku usaha, namun juga Pemerintah. Keberadaan lembaga Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sudah seharusnya dimaksimalkan agar manfaatnya juga dapat dirasakan oleh masyarakat.Â
Walaupun pada faktanya kedua lembaga ini masih saling tumpang tindih terutama pada sisi pengaduan konsumen. Jika pemerintah serius menjalankan amanah perlindungan konsumen maka lembaga ini akan lebih serius untuk diperhatikan.Â
BPSK harus menjadi lembaga pertama yang menindak segala penyelewengan aturan Perlindungan Konsumen juga menjadi lembaga yang proaktif dalam menjalankan kegiatannya di daerah-daerah. BPKN melalui kebijakannya juga perlu bersinergi secara maksimal dengan fungsi BPSK dan Lembaga Perlindugan Konsumen Swadaya Masyarkat (LPKSM).
Apakah harus ada korban-korban selanjutnya akibat dari kegagalan implementasi aturan? --
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H