Pulau Sumbawa merupakan sebuah pulau yang terletak di Propinsi NTB, telah didiami manusia sejak zaman glasiasi (1 Juta tahun yang lalu), dan mengawali masa sejarahnya mulai abad 14 Masehi ketika terjadi hubungan politik dengan kerajaan Majapahit yang saat itu berada di bawah kepemimpinan raja Hayam Wuruk dengan Maha Patihnya yang terkenal, Gajah Mada (1350-1389) Gajah Mada terkenal dengan sumpahnya, yaitu Sumpah Palapa, yang tercatat di dalam Pararaton. Pada saat itu di Sumbawa terdapat kerajaan Dewa Awan Kuning (1350-1389) dipimpin oleh raja Majaruwa yang menganut kepercayaan Hindu terakhir, yang kemudian memeluk agama islam.
Beralinya agama Dewa Majaruwa ke agama Islam berkaitan dengan adanya hhubungan kerajaan Sumbawa dengan kerajaan islam pertama di Jawa, yakni kerajaan Demak (1478-1597). Pada tahun 1623, kerajaan Dewa Awan Kuning di Sumbawa takluk kepada kerajaan Goa dari Sulawesi Selatan. Dengan takluknya kerajaan Dewa Awan Kuning kepada kerajaan Goa justru membuat kedua kerajaan memiliki hubungan diplomasi yang sangat erat. Hubungan dengan kerajaan Goa kemudian diperkuat dengan perkawinan silang antara raja Sumbawa, Mas Dini, menikah dengan puteri raja Tallo pada tahun 1650. Kemudian pada 29 Juni 1684, Mas Bantam, pendiri kerajaan Sumbawa dinasti Dewa Dalam Bawa bergelar Sultan Harunnurasyid I (1674-1702), menikah dengan putri raja Goa. Selanjutnya, putera kedua Sultan Harunnurasyid I, Mas Madina, yang kemudian menjadi raja dengan gelar Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I (1702-1723), menikahi puteri raja Goa lainnya.
Pernikahan silang antar kerajaan ini dapat dikatakan sebagai perkawinan politik antar kerajaan Goa dengan kerajaan Sumbawa.
Hubungan baik antara kerajaan Dewa Angin Kuning Sumbawa dengan kerajaan Goa, Sulawesi Selatan bukan hanya berdampak baik pada penghuni kerajaan saja melainkan juga berpegaruh pada sistem religi atau kepercayaan masyarakat. Masyarakat Sumbawa yang pada kala itu beragama Hindu, mulai beralih kepada agama Islam.
Sultan Harunnurasyid I, Mas Madina, yang kemudian menjadi raja dengan gelar Sultan Jalaluddin Muhammad Syah I (1702-1723) berkuasa selama (tiga) 3 abad di tanah Sumbawa dan meninggalkan sbuah peninggalan yang sangat bersejarah sampai saat ini berupa rumah istana Sumbawa atau Istana Dalam Loka.
Istana Dalam Loka merupkan Istana peninggalan Kesultanan Sumbawa yang hingga kini masih berdiri kokoh di jantung Kota Sumbawa Besar. Istana yang terbuat dari kayu tersebut diklaim sebagai istana kayu terbesar di dunia. Istana Dalam Loka dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Jalaluddin III yang merupakan sultan ke 19 Kesultanan Sumbawa di era Dinasti Dewa Dalam Bawa pada tahun 1885.
Istana itu menjadi simbol peradaban adat dan budaya Islam bagi tau (orang) dan tana (tanah) Samawa. Pada masanya kala itu sultan sumbawa menjalankan roda pemerintahan di Istana Dalam Loka.
Memakai bahasa Sansekerta dalam penyebutannya, Dalam berarti Istana sedangkan Loka berarti Rakyat. Sehingga Dalam loka Adalah istana rakyat karena dibangun atas prakarsa dan bentuk kesetiaan rakyat kepada sultannya. Karena sultan yang memimpin dengan adil dan bijaksana, inilah semacam sumbangsih rakyat kepada sultan. Hingga kini istana dalam loka tetap menjadi milik kesultanan dan rakyat sumbawa dan tidak bisa dimiliki atau diwariskan kepada siapapun.
Selain menjadi istana, Dalam Loka sekaligus berfungsi sebagai pusat pemerintahan. Sebagaimana yang telah lazim diketahui oleh banyak pihak baik oleh kalangan peneliti dan budayawan bahwa istana ini memiliki banyak keunikan. Misalnya saja jumlah tiangnya sebanyak 99 buah, kalau orang menghitung jumlah tiangnya hanya 98 maka sering muncul pertanyaan di mana tiang yang ke 99 nya. Oleh karena itu perlu dijelaskan bahwa dalam tradisi pembangunan rumah bagi masyarakat Sumbawa. Dalam hal ini rumah panggung apalagi di istana, dikenal sebuah tiang yang disebut tiang ngantung sebagai salah satu tiang utama.
Tiang utama tersebut ternyata tidak berada dan berderet di antara 98 tiang yang menopang megahnya bangunan Istana Dalam Loka. Tiang 99 ternyata berada di ujung atap depan yang disebut Bangkung sebagai mahkota utama. Bangkung adalah perpaduan antara unsur manusia, tumbuhan dan hewan karena dalam ajaran islam yang dianut oleh kesultanan dan masyarakat Sumbawa kala itu dan hingga sekarang bahkan oleh para ulama bahwa haram hukumnya mengukir manusia dan binatang secara utuh. Oleh karena itu secara teori seni rupa menggunakan konsep heraldis atau sesuatu yang disemukan.
Di dalam konsep ini, di bagian kepala bangkung adalah kepala manusia yang berdiri tegak tidak merunduk dan tidak mendongak. Badannya binatang tetapi dipadukan dengan motif tumbuh-tumbuhan. Tiang ngantung sekaligus berfungsi menjadi tiang penyeimbang Dalam Loka. Termasuk hal-hal lain di dalam loka memiliki makna filosofis terhadap simbol yang ada. Bahkan orang tua yang paham dengan dalam lokal mengatakan seluruh tiang mempunyai nama dan itu menjadi kebanggan seluruh Tau dan Tana Samawa di manapun berada.
Semangat pembangunan Istana Dalam Loka pada hakekatnya melambangkan Asmaul Husna atau nama-nama Allah yang agung. Selain itu juga istana ini mengandung nilai filosofi yang seluruhnya mengandung nilai Islam. Misalnya jumlah tangga 13 dan ada yang 17. Dalam kajian fiqih islam dikenal 13 rukun sholat dan 17 rakaat solat lima waktu sehari semalam. Karena inti budaya sumbawa adalah adat barenti ko syara’ dan syara’ barenti ko kt berpegang kepada syara’ (syariat islam) dan syara’ berpegang kepada kitabullah atau Al-Qur’an.
Seiring berjalannya waktu, sejak dibangunnya istana baru, pada tahun 1932 (istana kerjaan yang sejak tahun 1954 difungsikan sebagai rumah dinas “Wisma Praja” Bupati Sumbawa), keadaan Bala Rea sebagai bangunan utama dari komplek Istana Dalam Loka, sudah tak layak ditempati dan mulai ditinggalkan keturunan kerjaan sebagai penghuninya sehingga terlantar begitu saja. Maka tak heran bila ketika mulai dipugar kembali oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan pada tahun 1979, melalui Proyek Sasana Budaya-Budaya sejak tahun anggaran 1979/1980 sampai dengan tahun anggaran 1984/1985 ,kondisinya sedemikian memprihatinkan semak belukar menutupi keseluruhan areal istana ini.
Setelah rampung dipugar, berdasarkan rekomendasi Direktorat Purbakala melalui surat No. 005/c.1/F5.1/43 tertanggal 2 April 1993, pemerintah Kabupaten Sumbawa memanfaatkannya sebagai museum daerah dengan nama “Museum Dalam Loka”. Istana yang yang kini telah berubah menjadi museum terbuat dari kayu ini diklaim sebagai istana kayu terbesar di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H