Saya, Liza, seorang mahasiswi post-graduate di salah satu universitas di selatan Prancis. Ini sudah tahun kedua saya untuk menuntut ilmu di Negara yang terkenal dengan minuman anggurnya. Di sela-sela kesibukkan kuliah tentu saja seperti layaknya mahasiswa Indonesia lainnya, saya pun menikmati hari libur dengan berjalan-jalan ke tempat-tempat baru. Namun bedanya, ketika semua wisatawan asing lebih memilih untuk mengunjungi Paris, terutama sang la tour Eiffel (Eiffel tower), saya pribadi lebih memilih berkeliling ke kota-kota prancis dimana terdapat istana-istana nan indah dan megah. Mungkin karena sejak kecil orang tua saya membiasakan saya membaca buku cerita tentang fairy tale, akibatnya saya sangat mengagumi hal-hal yang berbau istana atau bangunan-bangunan zaman medival, it takes me back to my childhood memory.
In the castle I dream, kalimat pertama yang membuat saya selalu bermimpi, berkhayal, dan terus melangkah.. Setiap menginjakan kaki disana, sejuta pertanyaan pun datang di benak saya, apa yang pernah terjadi di dalamnya, apa saja yang pernah tergores didindingnya, dan yang terpenting adalah di istana-istana megah ini pernah tinggal mereka si penguasa dunia, mereka si putri cantik dan mereka si pangeran dengan pasukan berkudanya. Kali ini saya akan membawa teman-teman semua ke negara dengan ribuan chateaux (read: istana).
Sebelum memperkenalkan beberapa chateaux yang sudah pernah saya kunjungi, ada baiknya untuk membedakan jenisnya. Biasanya yang disebut chateaux disini adalah istana dalam arti sebenarnya (castle) atau benteng pertahanan (fortress).
So let me take you to my first visit… Tour Barberousse (Read: Red Beard Tower), berada di tengah-tengah Gruissan village, departemen Aude, selatan Prancis. Masih terlihat puing-puing meriam di kaki bukit di samping rawa-rawa yang dipenuhi oleh burung Flaminggo ketika musim semi hampir berakhir. Saya pun berjalan di gang-gang kecil pedesaan menuju gereja di tengah-tengah desa tersebut, ya... tangga naik untuk masuk ke atas menara ini memang terletak tepat di belakang gereja tua di desa ini. Jumlah anak tangga yang cukup banyak tidak mematahkan semangat saya untuk sampai ke atasnya, segera terbayar ketika kita dihadiahkan pemandangan hamparan indahnya laut mediteranian. Bangunan yang didirikan sekitar abad ke-10 ini konon digunakan sebagai benteng pertahanan yang tepat terletak di dekat pelabuhan untuk menghadang segala invasi ke kota Narbonne.
Masih di departemen yang sama, kali ini saya akan menceritakan tentang kemegahan la cité de Carcassonne yang mengelilingi kota Carcassonne. Istana yang mulai dibangun selama abad ke-6 merupakan istana kepemilikan Kerajaan Visigoths di kawasan Rousillon yang merupakan perluasan dari Kingdom of Spain. Sampai akhirnya pada abad ke-18, kawasan ini memutuskan bersatu dengan Kingdom of France. Jika selama ini saya hanya sering melihat film-film zaman medieval melalui layar lebar, istana ini lebih dapat menceritakan segalanya. Seperti halnya di zaman medieval, wujud dari istana ini sangatlah megah, pusat industri, dagang, dan semua kegiatan lainnya terletak di kawasan istana ini, dikelilingi oleh tembok-tembok besar, sebuah jembatan penghubung dan gerbang nan megah menjadi pintu masuk kedalamnya. Kini, la cite de Carcassonne, menjadi tempat wisata favorit turis-turis domestik maupun mancanegara, keindahannya memang sudah terdengar ke pelosok dunia. Ketika masuk ke dalamnya kita akan dimanjakan dengan suasana medieval seperti layaknya fairy tale. Selain itu, aktivitas kota dan perdagangan penduduk kota Carcassonne semua berada disana. Kita bisa menikmati makanan tradisional Catalan, pernak-pernik medieval era lengkap dengan para penjaga toko yang tak jarang berkostum a la penduduk kerajaan. Pada saat musim panas yang dimulai di awal bulan juli, tempat ini disulap menjadi tempat festival budaya dan musik. Tepat di hari nasional Prancis pada 14 juli, tempat ini menjadi salah satu pilihan favorit untuk menikmati festival kembang api. It’s truly magnificent!
Now let us look to another medieval castle! It is going to be Villefranche de Conflent! Dibangun pada abad pertengahan dan masih berdiri megah sampai saat ini, dikelilingi kemegahan rangkaian pegunungan Pyrenée. Sebuah benteng pertahanan untuk menjaga perbatasan dan melindungi kerajaan dari serangan musuh di zaman pemerintahan Raja Louis XIV, Sébastien Le Prestre de Vauban, seorang insinyur pertahanan Perancis-lah yang membangun benteng pertahanan ini. Bisa dibilang benteng kokoh ini memiliki banyak kesamaan arsitektur seperti la cite de la Carcassone yang telah saya ceritakan sebelumnya, mungkin karena sama-sama berdiri pada medieval era. Pintu masuk yang terletak di atas sungai kecil yang mengalirkan air dari pegunungan Pyrenée, melembutkan kekokohan sang benteng pertahanan. Rumah-rumah yang menempel satu sama lainnya, yang kini dijadikan tempat penjualan aneka souvenir, restoran dan kafe-kafe kecil, memanjakan para turis wisatawan asing maupun domestik menjadi lebih santai ketika berjalan-jalan. Keramahan para penjualan dan para wisatawan pun membuat saya semakin tidak ingin pergi dari tempat ini, salah seorang penduduk daerah tersebut sempat menghampiri saya dan bertanya Negara tempat saya berasal, Je suis Indonésienne! (read: Saya orang Indonesia). Mereka pun terlihat terkagum-kagum seolah-olah saya adalah orang Indonesia pertama yang mereka temui di kota kecil ini. Inilah salah satu alasan mengapa saya lebih memilih tinggal di Perancis bagian selatan, kehangatan yang dimiliki penduduknya membuat kita nyaman di Negara yang terkenal dengan keindividualannya.
Sebelum beralih ke Perancis bagian utara, kali ini saya ingin mengajak untuk melihat château lainnya di sebuah pulau kecil bernama island of If dalam rangkaian kepulauan Frioul, yang terletak di laut mediteranian tidak jauh dari Marseille, Perancis. Inilah Château d’If! Pulau ini menjadi terkenal setelah sempat dijadikan sebagai settings dari Alexandre Dumas’ Adventure di dalam novelnya The Count of Monte Cristo. Novel yang menceritakan seorang tahanan yang bisa melepaskan diri dari tahanan dengan selamat. Oleh karena itulah dalam perkembangannya, benteng ini kemudian dijadikan penjara yang terisolir di tengah laut karena dirasa cukup mustahil bagi para tahanannya untuk kabur dari pulau yang berada di tengah lautan yang cukup berbahaya. Berbeda dengan benteng atau istana lainnya dimana para turis akan dimanjakan dengan berbagai kudapan tradisional dan toko-toko souvenir menarik, di Château d’if, kita hanya bisa menikmati keagungan sejarah dengan didampingi oleh suara ombak yang menderu. Untuk dapat bisa mengunjungi Château d’If, saya hanya mengeluarkan 15 euro saja untuk tiket kapal ferry yang akan mengantar kita kesana dan menjemput kita kembali ke Vieux Port , Marseille (read: Pelabuhan Lama, Marseille).
What is next? Now I will take you to the big beautiful stunning Chateau de Versailles! Siapa yang tidak mengenal keindahan istana bermahkotakan emas yang sempat menjadi tempat tinggal Ratu nan cantik Marie-Antoinette. Istana ini merupakan saksi bisu kejayaan French Monarchy hingga runtuhnya monarchy di masa pemerintah Raja Louis XVI. Saat itu jam 8 pagi saya sudah berada di kereta RER C dengan tujuan Château de Versailles, ya, untuk mengunjungi istana ini memang dibutuhkan waktu dari pagi hingga sebelum matahari terbenam di akhir musim dingin. Patung raja Louis XIV yang berdiri kokoh tepat di depan gerbang istana, seolah-olah menggambarkan keagungan dan kemegahan istana ini. Walaupun udara dingin masih cukup terasa menusuk raga, tapi rasa itu rasanya hilang begitu saja begitu kita dimanjakan dengan keindahan langit-langit istana bak lukisan di atas awan. Ada untungnya juga saat itu bertepatan dengan akhir liburan musim dingin, sehingga saya benar-benar bisa menikmati keindahan setiap sudut istana tanpa harus berdesak-desakkan dengan turis lainnya. Tempat pertama yang membuat saya terkagum-kagum adalah altar suci The Royal Chapel, tempat ini merupakan tempat yang digunakan pernikahan sang permata cantik dari Austrian Monarchy, Marie-Antoinette dan Raja Louis XVI, sebuah pernikahan yang dirancang untuk memperlancar hubungan bilateral Monarchy. Sayang disini hanya bisa menikmati The Royal Chapel ini dari kejauhan, karena saya menggunakan fasilitas European Union Students, sehingga hanya dapat menikmati beberapa tempat yang dibuka untuk umum.
Namun, kekecewaan itu segera berakhir ketika saya memasuki the Hall of Mirrors, sebuah ruangan besar yang menghubungkan antara ruangan satu dengan yang lainnya, biasa dijadikan tempat berpapasannya para penghuni istana. Seperti namanya, the Hall of Mirrors ini memiliki 357 cermin yang menghadap ke jendela-jendela besar khas istana kerajaan. Ruangan ini pun sesekali dijadikan tempat ceremonial kerajaan seperti salah satunya adalah the masked ball for the wedding of the Dauphin, which is the future Louis XVI and Marie-Antoinette. Di tempat ini pula telah terjadi penandatanganan perjanjian bersejarah Treaty of Versailles, sebagai tanda berakhirnya Perang Dunia ke-I.
Rasanya 1000 kata tidaklah cukup untuk menceritakan perjalanan mengagumkan saya di Château de Versailles. Saat itu saya menaiki sebuah kereta kecil yang dapat mengantar kita berkeliling melihat luasnya taman Château de Versailles dan melihat anomali dari kemegahan sang istana. Pemberhentian pertama kereta kecil ini pun tertuju pada The Grand Trianon, apartement yang dahulu digunakan oleh Raja Louis XIV sebagai tempat sang raja menghabiskan sisa hidupnya bersama sang mistress Madame de Montespan. Pemberhentian kedua saya tertuju pada The Marie-Antoinette’s Estate, inilah yang saya bilang sebagai anomali istana. Di tengah kemegahannya, bangunan ini begitu sederhana bak rumah putih salju di negeri dongeng. Apartemen ini merupakan sebuah hadiah dari Louis XVI atas kecintaannya kepada sang Ratu Marie-Antoinette. Di tempat inilah sang Ratu bebas mengekspresikan kehidupan pribadinya tanpa diatur dengan etiket istana. Ditambah lagi tidak sembarang orang yang bisa datang ke tempat ini tanpa adanya undangan khusus dari sang Ratu. Kecintaannya pada segala hal yang berbau alam, membuat Marie-Antoinette membangun peternakan kecil dan rumah botani yang kemudian menjadi sumber bahan-bahan makanan kerajaan. Dibalik semua cerita mengenai ke-glamour-an Marie-Antoinette yang dibenci rakyatnya di akhir masa hidupnya, jika kita perhatikan lebih seksama, the Queen’s Hamlet ini menggambarkan begitu sederhananya sang Ratu. Bisik angin berbicara bahwa Marie-Antoinette adalah korban dari etiket Monarchy, diusianya yang begitu belia disaat dia diharuskan menemani sang Louis XVI untuk memerintah kerajaan sepeninggal Louis XIV. Kesendiriannya-lah yang membuat dia beralih menghibur dirinya dengan menghabiskan uang kerajaan untuk mengadakan pesta, menghambur-hamburkan uang dengan bermain di casino, dan membeli pakaian mahal, yang merupakan salah satu penyebab kebencian rakyat padanya, dan dia-pun dijuluki « Madame Déficit » (read : nyonya defisit) Many people said she was just a victim of French Revolution.
Voila! Hope you guys enjoy our « petites vacances aux Châteaux en France » (read : liburan kecil di istana-istana Prancis). So, dream your dreams, catch your dream, never give up for what you believe and just believe that it will definitely come true!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H