Mohon tunggu...
A. Lili Evita
A. Lili Evita Mohon Tunggu... -

Mahasiswa pascasarjana Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, hobi menulis dan traveling.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ruang yang Terlepas dalam Kota Makassar

18 Maret 2016   18:36 Diperbarui: 22 Maret 2016   13:15 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Manre Kappara" salah satu tradisi makan dan menjamu tamu dalam budaya Bugis Makassar

Baru-baru ini, seorang teman memposting ulang laman majalah historia dengan judul “Benarkah usia kota Makassar 408 tahun?” di dinding facebooknya. Artikel itu ditulis oleh Eko Rusdianto pada 9 November 2015 lalu. Saya menangkap ada empat misi Eko dalam artikel yang dia sampaikan, Pertama sepertinya artikel Eko ini sedang berusaha melempar bola panas kepada masyarakat kota Makassar, untuk mempertanyakan ulang sejarah lahirnya kota Makassar. Tapi rupanya sebagian besar masyarakatnya, tidak terlalu peduli dengan sejarah, yang mereka senangi hanyalah nongki dan bermimpi tentang masa depan di pantai Losari. Kedua, sebenarnya Eko ingin menyinggung para sejarawan mengenai sumbangsih keilmuan mereka. Seringkali banyak orang yang belajar sejarah, lalu kemudian gagal mengaplikasikannya.

Padahal kalau boleh dibilang, sejarawan telah belajar dari masa lalu, dan seharusnya dari gejala yang ia peroleh, ia bisa mendesain dan meramalkan masa depan. Namun yang terjadi kebanyakan mereka yang belajar sejarah juga galau menentukan masa depannya.Ketiga, sebenarnya Eko ingin menyinggung pemerintah yang tidak delik dengan sejarah, begitu banyak jurusan sejarah yang dibuka, tetapi kemudian tidak diberi ruang dalam menentukan arah kebijakan pemerintahan. Dampaknya begitu banyak aturan yang diciptakan, tetapi di lapangan aturan itu mental, tidak bisa diaplikasikan karena masyarakat menolak atau menganggap itu tidak sesuai dengan kebutuhan dan tradisi mereka. Keempat, sebenarnya Eko sedang berusaha menantang para sejarawan, sejauh mana mereka telah memahami sejarah itu sendiri.

Nah, menakar dari isi artikel Eko, saya ingin menanggapi pernyataan Dias Pradadimara yang dikutip Eko, yang mengatakan bahwa perkembangan kota Makassar tidak boleh lepas dari tinggalan penjajahan Hindia Belanda, sehingga beliau berusaha mendekontruksi penetapan hari jadi kota Makassar pada 9 November 1607, dengan mengatakan bahwa penetapan hari jadi tersebut itu bisa mengaburkan data sejarah. Perlu diketahui bahwa pada 9 November 1607, merupakan momentum sejarah dimana Raja Tallo yang juga merangkap sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa I Malingkaang Dg.Nyonri (Sultan Abdullah Awwalul Islam) memeluk Islam, dan mengumumkan bahwa Islam adalah panutan agama kerajaan, namun golongan dan agama lain di dalam wilayah kerajaan mempunyai hak yang sama dan memiliki kebebasan dalam berniaga dan bermasyarakat.

Perlu diketahui juga bahwa tahun 1523 Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo bersekutu, yang kemudian hari disebut sebagai kerajaan kembar Makassar. Hubungan luar negeri Kerajaan Makassar ini, banyak diterima di Benteng Fort Roterdam (baca Jung Pandang), sama halnya menerima tamu dari Portugis, Spanyol,ataupun Belanda. Adapun untuk masalah internal masing-masing, kerajaan Gowa akan menyelesaikannya di Somba Opu dan begitu pula hubungan Tallo dengan daerah vasalnya diselesaikan di Tallo. Disini kita bisa melihat bahwa politik luar negeri itu lahir di Fort Roterdam, 

Namunpun segala aktifitas sosial dan ekonomi berada di Somba Opu dan Tallo. Keterbukaan inilah yang mengantarkan Kerajaan kembar ini berjaya di zaman itu. Menjadi sebuah kota yang kosmopolitan, dengan menganut sebuah sistem aturan yang dikenal sebagai panggaderreng. Sistem pangngaderreng ini diatur dalam suatu tatanan yang kuat yang saling mengikat, meliputi ade’(adat-istiadat), tentang bicara (peradilan), tentang rapang (pengambilan keputusan/kebijakan berdasarkan perbandingan dengan negara lain), tentang wari (sistem protokoler kerajaan, pelapisan daam masayrakat) dan tentang sara (syariat Islam).

Guys,, saya tidak ingin membuat kerutan di keningmu bertambah banyak setelah membaca tulisan ini. Cobalah menarik nafas dan menyeruput secangkir teh yang barangkali telah mendingin. Rekahlah senyummu,,dan coba lihat hijau di luar sana. Tanda cinta yang paripurna dariNYA.

Nah, saya lanjut yaa, Perubahan besar di Eropa sekitar abad 17-19, pasca revolusi sana dan sini, membutuhkan banyak anggaran untuk membangun kembali kota yang luluh lantah. Daerah koloni mereka saat itu menjadi sapi perahan yang paling mantap, untuk menguasai semua kantong-kantong ekonomi yang ada, mulai dari tambang, rempah, tekstil,semua dikanggangi oleh negara negara kapitalis itu. you know?? perubahan di Eropa saat itu berkembang baik dalam segi pengetahuan dan industri. 

Karena itu, bangsa-bangsa Eropa saling merebut kuasa di dunia ini, mencaplok seenaknya daerah-daerah yang dianggap manusianya masih kolot dan juga mengklaim daratan yang tidak berpenghuni untuk diperah dan dieksploitasi.

Apa yang terjadi di Indonesia di abad itu?terjadi perbudakan dan eksploitasi manusia. Invasi dan gelimang mayat dimana-mana. Seluruh kebun dan tambang ditangkup tanpa terkecuali dilakukan oleh VOC maupun pemerintah HB di estafet selanjutnya. VOC awalnya hanyalah organisasi dagang biasa milik pedagang-pedagang dari Belanda, namun kemudian menjadi eklusif karena diberi hak otonom oleh Belanda, yang mempunyai pasukan militer. Karenanya dengan congkak ia datang ingin menguasai Kerajaan Makassar yang saat itu sedang dipuncak kejayaan ekonomi maritimnya. 

Akhirrya musim pun berganti Kerajaan Makassar luluh lantah, Tersisa benteng Somba Opu yang berdiri menahan meriam VOC. Lalu VOC mengambil alih benteng Fort Roterdam (baca Jung Pandang) dimana ia pernah disambut dengan hangat, penuh hormat, Hanya tersisa benteng sebagai saksi perlawanan. Dua benteng yang tersisa adalah Benteng Somba Opu dan Benteng Fort Roterdam (baca Jung Pandang). Kedua benteng ini menjadi saksi kejayaan dan kepedihan di kota Makassar sekarang ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun