[caption id="" align="aligncenter" width="318" caption="Ilustrasi (Kompas.com)"][/caption]
Toraja,
Tulisan ini didasarkan pada pengalaman pribadi penulis selama berliburan di Tana Toraja. Waktu itu berkenaan dengan acara Toraja Internasional Festival 11-13 Agustus 2014. Tiba di kota Makale kira-kira jam setengah enam pagi, dengan bus Bintang Prima. Perjalanan dari Kota Makassar ke Kota Makale menghabiskan waktu delapan jam.
Saya menanti seorang kawan SMA yang sudah enam tahun tak berjumpa. Pada awalya saya khawatir, mengira akan banyak agen ojek yang rese mengganggu saya di subuh itu. Tapi ternyata tidak,dugaan saya salah. Hanya satu kali berujar “ Maaf Pak saya menunggu jemputan” . Mereka yang menawari saya jasa ojek langsung pergi, tak ada riuh atau tanya-tanya yang lebih lanjut. Apalagi berusaha mengganggu, apalagi saat itu saya memang tidak mengeri bahasa yang mereka gunakan.Saat itu saya sungguh terkesan.
Pagi itu, suasana kota Makale sangat dingin. Baju yang saya kenakan tidak mampu membendung dinginnya kota Makale. Menusuk hingga ke kulit, menilik suhu di smartphone 15° celcius. Saya sungguh menggigil kedinginan. Sejauh memandang kota Makale, daerah ini dikelilingi oleh gunung-gunung dan hamparan tanah yang subur. Indah dan sejuk sekali.
Tak lama berselang, sahabat saya Ceri datang, saya sangat bahagia. Ia datang masih lengkap dengan piyama dan jaket tebalnya. Kukatakan padanya saya kedinginan. Ia pun tertawa sembari mengajakku ke rumahnya yang terletak tidak jauh dari tempatku menunggu. Selama saya di Makale, saya tinggal, nebeng di rumah Ceri yang terletak di lingkungan pasar.Tinggal selama beberapa hari disana, menjadi suatu hal menarik bagi saya.
Dari sini saya bisa melihat dan mengamati hal-hal unik yang menjadi aktifitas orang Toraja. Ada beberapa hal yang bagi saya sugguh berkesan dan unik selama tinggal disana. Orang Toraja gemar mengunyah sirih (Mang’ngota= bahasa bugis ;Ma’pangngan=bahasa Toraja). Suatu kebiasaan bagi nenek moyang yang telah lama tidaksaya temukan lagi. Di sepanjang pasar saya dengan mudah menemukan bahan-bahan mengunyah sirih, lengkap dengan alat penghalusnya. Bahan-bahannya terdiri dari buah pinang, daun sirih, kapur, bolu buah dan daun sembako. Ada dua cara yang biasa mereka lalukan sirih, pertama ada yang ditumbuk menggunakan pipa kecil dan ada juga yang dengan mengunyahnya langsung. Caranya mudah, Buah pinang, dan buah bolu dimasukkan ke dalam daun sirih lalu dikunyah, setelah itu memasukkan kapur dan daun sembako. Ramuannya ini tidak paten, merunut pada kebiasaan masing-masing orang. Seorang nenek tua kira-kira berumur kira-kira 80-an yang saya temui dipasar mengatakan bahwa kebiasaan ini menyenangkan baginya rasanya itu manis dan gurih.
Anthony Reid dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga mengatakan bahwa kebiasaan mengunyah sirih ini telah tersebar di India Selatan dan Cina Selatan pada abad ke 15. Diduga kebiasaan ini berasal dari Asia Tenggara. Sirih telah menjadi bagian yang sangat penting dalam upacara ritus dan kehidupan sosial bagi orang Asia Tenggara. Berbagai catatan menyebutkan bahwa baik lelaki dan perempuan memiliki kebiasaan ini,mengambil buah pinang dan sirih lalu mencampurnya dengan kapur yang diperoleh dari kulit kerang lalu dikunyahnya . Mulut mereka tidak pernah lepas dari kunyahan sirih ini. Apabila menerima tamu, mereka menjamunya tidak dengan teh akan tetapi dengan buah pinang. Di setiap rumah orang seringkali bekerja membulat-bulatkan buah pinang dengan daun sirih. Butir-butir yang disiapakan di dalam kotak , yang kemudian disiapkan untuk dikunyahnya sepanjang hari. Mengunyah sirih ini tidak hanya dilakukan di dalam rumah, tapi juga biasa dikerjakan di jalanan,saat mereka berbicara. Paada intinya mereka seringkali mengunyah sirih tidak mengenal dimana dan kapan.Karena itu mereka dikatakan selalu “memamah biak”.Rupanya ada anggapan yang tumbuh menganggap bahwa mengunyah sirih itu menyejukkan hati, berhenti memakannya akan membuat mereka mati.Begitulah kebiasaan mengunyah sirih ini menjadi akrab bagi orang-orang di Asia Tenggara, termasuk orang Toraja. Sirih ini telah menjadi bagian tersendiri dari kehidupan masyarakat Toraja.
Selain dari itu, hal unik lain lagi yang juga saya temui pada masyarakat Toraja yakni kebiasaan gemar melakukan sabung ayam (ma’pabitte manu). Seringkali saya menemui orang-orang di pagi hari, sibuk menenteng ayam di pasar. Benak saya saat itu berpikir, mungkin mereka sedang ingin menjual ayam. Tapipun saya jarang menemui mereka saling tawar menawar harga ayam. Lama penasaran tentang hal ini saya menanyakan kepada teman saya, lalu ia berkata bahwa mereka adalah orang-orang yang baru kembali dari tanah lapang untuk mengadu ayam. Ada kepuasan tersendiri bagi mereka sepulaang mengadu ayam. Mereka begitu bangga memerkan ayam-ayam jago mereka pada teman-teman yang mereka temui di pasar. Orang Toraja terkhusus para tetua seringkali berbelanja ke pasar dengan kebiasaan menggantung pun mengaitkan keranjang mereka di dahi. Menjuntai di punggung mereka. Kadang kala mereka memakai timpo (sarung yang dililit di kepala). Jika di daerah-daerah lain pada umumnya orang menunjung bakul atau menggendongnya. Maka masyarakat asli, khususnya para tetua ini mengaitkan keranjang mereka di dahi mereka. Berjalan dengan bakul yang mengokoh di punggung mereka. Kebanyakan orang orang Toraja ini memiliki postur tubuh kecil kisaran 150-an cm.
Sungguh menyenangkan berada disana, Toraja tidaklah hanya mengenalkan kepadaku tentang rambu solo (upacara kematian) yang bisa menghabiskan dana hingga milyaran rupiah, melainkan juga kebersahajaan di dalam melestarikan budaya dan adat istiadat sebagai satu bagian dari hidup jiwa raga mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H