Beberapa tahun lalu, sebuah organisasi penelitian yang menekankan soal keadilan dan kesetaraan antara mayoritas dan minoritas,  yaitu SETARA Institute menemukan bahwa bahwa pada bulan  September pada tahun itu, terdapat empat kasus menonjol yang bertone intoleransi yang terjadi.
Pertama, penolakan pendirian bangunan rumah ibadah, penolakan penggunaan rumah sebagai tempat ibadah, hingga penyegelan tempat ibadah. Jika melihat data tahunan, jumlah pelanggaran tersebut sangat tinggi.
Lalu pada tahun 2019,  Imparsial menemukan 31 kasus pelanggaran  Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KKB) yang diberitakan media dalam kurun waktu 2018-2019. Sementara SETARA menyebut selama kurun setahun terakhir terjadi 200 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan!
Ini menunjukkan bahwa keberagaman dan kebebasan karena keberagaman itu belum bisa dinikmati semua warga. Alih-alih menurun, sampai tahun 2024 saja ada beberapa peristiwa yang bertone intoleransi yang terjadi di Indonesia, baik di Jakarta maupun di beberapa daerah. Bahkan ada kecenderungan meningkat. Hal ini tentu berseberangan dengan konstitusi yang kita sepakati sebagai warga negara Indonesia.
Ini tidak lepas dari ceramah-ceramah agama (baca: dakwah) yang dilakukan oleh ulama. Seringkali para penceramah menyampaikan ajaran tanpa konteks, melainkan teks, alih -alih menyampaikan kebenaran. Jika tanpa konteks, memang seringkali kebenaran dipandang sebagai kebenaran mutlak tanpa mengingat orang lain yang punya keyakinan berbeda, yang punya kebenarannya sendiri.
Para penceramah juga sering menyampaikan dakwahnya yang tekstual itu dengan cara tidak baik. Karena akan tidak ada habisnya jika kebenaran pada dua atau lebih keyakinan itu dipertentangkan, karena masing masing akan bersikeras bahwa jalannyalah adalah sebuah kebenaran. Dan jika pertentangan itu terjadi, yang ada adalah konflik.
Padahal di negara kita yang multikultural dan demokratis, beberapa hal harus diperhatikan agar tidak terjadi konflik. Jika sang pendakwah menerangkan hal-hal penting dan merupakan kebenaran dalam agamanya namun berbeda dengan kebenaran yang diyakini oleh pihak lain, ada baiknya jika mic dimatikan. Namun yang terjadi, seringkali pendakwah tetap mengatakan dengan lantang bahwa kaumnya yang masuk surga dan yang lain akan menempuh jalur neraka, dan itu dikatakan Melalui mic. Itu akan menghasilkan pertentangan lalu ada konflik.
Ada baiknya pendakwah yang kebanyakan merupakan tokoh agama harus bisa menempatkan diri menjadi agen kebaikan, bukan semata-mata pembawa kebenaran buta. Dalam setiap dakwah di negara kita yang multikultural, umat dan tokoh muslim seharusnya membawa Islam yang  rahmatan lil 'alamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H