Gerakan radikalisme agama yang sebenarnya dimulai dengan intoleransi kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang berlatarbelakang pendidikan agama yang minim dan kemudian mendapat ilmu setengah-setengah dan kemudian gemar memperjudice orang dengan istilah yang tak layak dalam sebuah dengan keberagaman yang kompleks.
Diantara mereka ada juga umat yang merasa bertobat dan menemukan "jalan keluar" justru pada faham transnasional yang konservatif dan tidak sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan kita. Banyak dari mereka ini mengata-ngatai orang dengan istilah kafir, musrik dll. Bahkan banyak dari mereka yang menilai negara adalah tougut dan layak untuk diserang.
Karena itu pada era 2010-2015 banyak sekali letupan-letupan yang dilakukan oleh penganut radikal yang ditujukan untuk umat yang berkeyakinan berbeda. Beberapa pengamat agama menyakini bahwa yang melakukan adalah umat yang belum dewasa dalam beragama. Kita bisa melihat bagaimana surat wasiat yang ditulis oleh wanita muda yang menyerang markas besar kepolisian. Terlihat dia memahami Islam dengan pengetahuan yang minim sehingga bisa menafikan negara dan hal-hal baik yang dilakukan keluarga kepada masyarakat.
Agama satu dengan agama lain tidak bisa dipersandingkan soal kebenaran. Agama A misalnya menyakini bahwa garis lurus adalah sebuah kebenaran, sedangkan agama B menyakini garis yang bergelombang adalah sebuah kebenaran. Kita tidak bisa memakai kebenaran yang kita yakini untuk menguji kebenaran yang diyakini oleh orang lain. Apalagi, dengan ukuran personal itu mereka menyerang sana sini dengan dampak yang tidak sedikit.
Mungkin kita ingat bom Surabaya dimana pelakunya terlihat sebagai pihak yang sangat fanatic  dan melihat umat lain sebagai musuh yang harus dibinasakan. Seperti yang kita lihat bahwa dia akhirnya sang ayah sebagai inisiator sekaligus eksekutor memutuskan bahwa seluruh anggota keluarganya harus bertindak sebagai pelaku bom bunuh diri atas tiga gereja yang meledak nyaris bersamaan waktunya di Surabaya. Peristiwa tahun 2018 itu tidak dilupakan oleh banyak orang.
Tentunya ini jauh dari karakter bangsa kita dimana toleransi amat diperlukan. Kita berada di negara dimana keberagaman amat sangat kental dan perlu untuk menghargai penganut agama lain. Dalam konteks ini fanatisme berlebihan tidak diperlukan dan  para pihak dengan ilmu agama terbatas, layak untuk berlajar dari banyak pihak soal moderasi beragama dan toleransi. Dengan begitu kita bisa mewujudkan negara yang kuat dengan keberagaman yang kompleks.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H