Mari kita kembangkan layar kebudayaan dan dengan diterangi sinter (lentera) sejenak. Beberapa pucuk surat layanan konsumen mungkin sudah pernah anda layangkan ke alamat langit. Manakala anda bertanya-tanya tentang maksud dari sebuah paradoks keturunan. Atau orang-orang disekeliling anda yang bergumam. Maksudnya paradoks keturunan (saya menyebutnya dogma), Mas? Gak yambung deh dengan judul wayangnya?
Begini, kadangkala beberapa orang – untuk waktu yang sangat lama saya sudah nggak begonoan lagi – mempertanyakan hingga menghela nafas tentang nasib/bawaan yang pasti diterima jika kita bersaudara kakak-adik. Yang konon anak mbarep itu biasanya bertanggung jawab, berketrampilan, lugas, bisa jadi dihormati, dan konon juga rela berkorban. Sedangkan anak ragil biasanya tidak terlalu berkemampuan, dibayang-bayangi kakak diatasnya, anut grubyuk, nedho nrimo, seolah-olah masa depan bergantung dari saudara yang lebih tua (kalau nggak boleh dibilang, nunggu welas).
Nah, saya kasih salah satu sketsa dari cerita mahabaratha. Wisanggeni dan Abimanyu. Sedikit melencong sih, tapi dua kesatria ini putra dari don juan-nya dunia wayang. Arjuno a.k.a Permadi a.k.a Janoko.
Wisanggeni adalah anak dari Dewi Dersanala puteri dari Bethara Brahma. Cerita Internsional jika Arjuna itu digandrungi oleh wanita sejagad, bahkan sampai kolong kahyangan. Bidadari pun “kepincut” juga. Wisanggeni adalah kesatria tanpa tanding. Mempunyai kesaktian tiada tara, kebal dengan senjata jenis apapun (yo jelas! Kalau mitologi Yunani.. mungkin Hercules kali ya..). Namun Wisanggeni mempunyai watak yang keras dan kasar. Tidak bisa berbicara halus (ngoko). Grusa-grusu. Tidak kenal rasa takut bahkan sekalipun bangsa dewa.
Sedangkan Abimanyu adalah anak dari Sembadra. Dibandingkan kesaktian dari Wisanggeni, Abimanyu kalah jauh dengan Wisanggeni. Namun Abimanyu mempunyai watak yang berbeda jauh juga dengan Wisanggeni. Abimanyu adalah kesatria yang pintar, cerdas, bertata karma, dan digdaya.
Alkisah, dua kesatria “brengsek” Wisanggeni bersama Ontoseno menggugat negara Astina yang dikabineti oleh Duryudono dan resi Durno dengan agresi militer yang ngobrak-ngabrik keratin Astino. Terus nasib Duryudono dan Durno? Mereka kabur duluan…… karena aksi “kudeta baik” itu tidak menemui pihak otoritas Astina. Maka diadakan sayembara dengan secara bergantian Wisanggeni, Ontoseno, Abimanyu duduk di singgasana dan yang pemilihannya tergantung oleh gajah keratin (patner yang menjadi tunggangannya Pandu sebelum wafat) yang bernaman Antisuro. Pemirsa tahu siapa yang terpilih ? betul secara sah dan meyakinkan Abimanyu yang terplih lolos fit and proper test, karena sifat-sifatnya tersebut.
Biar nggak terlalu mbulet kita berpindah ke beberapa sins perang kolosal Bharatayudha yang termasyur itu. Wisanggeni dianggap menyalahi kodrat. Karena Wisanggeni adalah keturunan Dewa, karena itu perang Bharatayudha bisa menjadi tidak “fair”, karena hanya dengan seorang Wisanggeni kurawa group mampu dimusnahkannya sendiri. Sehingga Prabu Kresna pada saat menjelang perang Bharatayuda meminta Wisanggeni untuk mati sebagai tumbal negara. Permintaan ini dipenuhi oleh Wisanggeni dengan tulus.
Lalu, Abimanyu? Abimanyu bernasib tragis. Abimanyu gugur di perang Bharatayudha. Ia mati dihajar para kurawa-kurawa.
Hmm… bagaimana anda memaknai kisah dua satria Wisanggeni dan Abimanyu yang sama-sama berdarah Arjuno? Jika saya telah memeras sari pesan yang bisa saya peras dari cerita tersebut, sehingga “ngait” dengan dua paragraph dari urutan paling atas. Perasan saya berujunag pada pertanyaan. Masihkah kita akan bertanya-tanya lagi tentang kenapa Tuhan menjadikan kita anak yang pertama, atau anak yang terakhir, atau anak yang nomer sekian? Bagi saya itu tidaklah hal yang penting lagi. Lihatlah bagaimana Wisanggeni dan Abimanyu. Dua saudara yang berkemampuan dan berwatak yang berbeda satu sama lain mampu berperan sebagai seorang satria.
Perasan saya tersebut kemudian menghasilkan bilasan sebagai berikut. Berbuatlah yang terbaik dengan apa yang kita mampu, menempatkan segala sesuatunya dengan tepat, dan menjadi diri sendiri. Tetapi jika kita masih mempertanyakan lagi tentang paradoks keturunan kembali? Maka kita adalah manusia paling lucu yang hidup dalam dunia kekonyol-konyolan.
Eh iya, sebaiknya jangan bergegas menggulung layar anda, jika anda keluarkan wayang-wayang anda. Saya akan menonton kok……