Mohon tunggu...
Andiko Setyo
Andiko Setyo Mohon Tunggu... -

primates, hominidae, homo, homo sapiens, sapiens andiko, sapiens sapiens pembebasan.\r\n\r\n-supermarketkata.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

(Bukan) Ayah Terbaik

17 Juni 2012   16:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:52 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ayah kami adalah ayah hebat. Dia seperti ahli dalam banyak hal.

Ayah adalah seorang montir. Kami sering bersama-sama mencoba memperbaiki sepeda kami. Kami memegang sisi as roda sepeda, sedang ayah mengencangkannya dengan kunci pas dalam genggamannya erat. Voila, sepeda kami telah kembali. Lalu ritual itu tiba, kami saling tos dengan baju penuh peluh.

Ayah adalah agen wisata yang hebat. Mengajak kami ke berbagai tempat wisata pada akhir pekan. Dia mengemudi sendiri, menceritakan lelucon lawas, sampai ia menjamin logistik untuk para peserta wisatanya. Kami tidak akan menemukan agen wisata sehebat ayah di tempat lain.

Ayah adalah pelatih sepak bola. Lapangan desa 100 meter dari rumah kami adalah stadion kami. Seperti biasa ayah akan memperlihatkan kepada kami bagaimana seharusnya pemain sepak bola bergerak. Saat mulai letih, ayah menyodorkan botol air mineral kepada kami sambil menceritakan nama-nama yang belum pernah kami dengar. Bambang Nurdiansyah, Runi Rere, Ricky Yakobi, banyak lagi. Kemudian kami pulang berlatih. Berlomba, berlari siapa yang paling cepat sampai rumah. Lagi-lagi kami selalu menang. Hahaha.. ayah tak pernah mengalahkan kami.

Ayah adalah seorang psikolog. Dia selalu ada waktu dan ruang untuk kami bercerita. Sekedar mendengar ocehan kami tentang perangai galak dari guru di sekolah. Atau cerita seorang murid perempuan pindahan ke sekolah kami, tentang apa yang harus kami lakukan untuk mengalahkan banyak saingan yang menaksirnya. Ayah selalu membuat kami lebih tenang setelah duduk bercerita dengannya.

Ayah adalah seorang kasir bank. Tidak seperti ibu yang bertanya ini itu kepada kami. Tak tahu kenapa ayah memberikan uang begitu saja kepada kami. Jika ia melihat anak tetangga asyik bermain tamiya dengan 10 temannya yang lain.

Ayah adalah pesulap yang handal. Masih ingat di ingatan kami bagaimana tiba-tiba jari-jarinya hilang seperti terputus. Atau membuat kami tercengang dengan uang logam yang bisa keluar dari telinganya. Lalu, ayah mengajarkannya. Kami menunjukan kepada teman di sekolah. Mereka terpesona, kami sedikit jumawa.

-Tapi cerita ayah kami, adalah cerita dari tiga kakakku, sepuluh tahun yang lalu. Sejak kelahiran kedua anaknya terakhir, dia bukan lagi ayah terbaik untuk kami. Untukku. Ia tak ada pernah lagi ada diantara keluarga.

****

Pertama, aku si bungsu lahir dari ibu.

Kedua, si sulung lahir dari istri barunya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun