Bagi negara berkembang seperti Indonesia, bukanlah hal yang mengherankan ketika dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik terkait jumlah penduduk miskin yang pada September 2020 berjumlah 27,54 juta penduduk.Â
Walaupun jumlah ini diklaim adalah imbas dari pandemi Covid-19, tapi jumlah sebanyak ini bukanlah sesuatu yang dapat diwajarkan. Seakan-akan tidak ada instrumen yang tersedia untuk menunjang mobiltas sosial naik bagi masyarakat.
Masyarakat secara umum sebenarnya sangat bisa menaikkan status sosialnya menjadi bukan masyarakat miskin lagi. Saluran untuk hal tersebut adalah, misalnya, melalui lapangan pekerjaan.Â
Lapangan pekerjaan akan memberikan gaji untuk akhirnya masyarakat bisa sejahtera. Tapi perlu diingat bahwa kita tidak hidup di dunia ideal yang segala sesuatunya berjalan sesuai dengan keinginan dan kehendak kita.
Dalam dunia yang tidak ideal ini, masyarakat sangat sulit bersaing untuk mendapatkan pekerjaan, terutama masyarakat kelas menengah dan bawah.Â
Keahlian yang dimiliki menjadi "senjata utama" dalam memeroleh pekerjaan yang nantinya secara kontinu menaikkan status sosial masyarakat.
Timbul pertanyaan sederhana dan mendasar, bagaimana masyarakat mendapatkan instrumen yang menjadi "senjata utama" tersebut? Apabila dilihat dari kacamata yang objektif, maka lembaga pendidikanlah yang menyediakan beragam instrumen seperti pengetahuan, keterampilan, keingin-tahuan, bahkan ideologi.Â
Setelah itu, muncul pula pertanyaan yang membuntuti berikutnya, ketika sudah ada instumen pendidikan yang berfungsi sebagai penyedia instrumen mobilitas sosial, lantas mengapa masih banyak masyarakat miskin? Jawabannya adalah pendidikan di Indonesia tidak berada dalam pendirian yang ideal.
Permasalahan kesenjangan dalam ranah pendidikan telah menjadi hambatan yang struktural. Istilah struktural tercipta karena istilah kultural tidak lagi relevan dalam menggambarkan permasalahan yang kompleks ini.Â
Siswa malas tidak akan memiliki gaji besar karena siswa pintarlah yang akan mendapatkannya berkat ketekunan yang ia jadikan kebiasaan dalam belajar adalah situasi yang kultural.Â
Namun yang menjadi permasalahan struktural adalah ketika siswa pintar yang miskin tidak memiliki peluang besar dalam meraih kesejahteraan nantinya karena peluang tersebut telah diambil terlebih dahulu oleh siswa yang malas dan kaya.