Kondisi di Indonesia masih sama menyeramkannya kala kasus pertama Covid-19 ditemukan, mungkin sedikit lebih baik karena tidak ada paranoia yang meresahkan, tetapi tidak beranjak menjadi sangat baik. Atau mungkin, penulis sangat naif ketika hanya melihat tolok ukur ke-"baik-baik saja"-an kondisi dengan parameter tunggal, yakni paranoia.Â
Akan tetapi, penulis tidak merasa salah karena memang tingkat paranoia terhadap Covid-19 sangat rendah yang tentu saja diiringi perbandingan yang sangat tinggi dari sisi masyarakat yang tidak percaya pada Covid-19 beserta peneliti yang jumlahnya sudah melampaui batas tidak wajar.
Baikah, di luar paranoia, penulis melihat indikator lain yang sudah dapat dikatakan "lumayan" seperti ranah kesehatan karena sudah memasuki fase vaksinasi---sampai saat essai ini ditulis, kasus aktif Covid-19 tidak berkurang, bahkan alat tes GeNose ditarik dari peredaran---yang mengejar target 1 juta dosis per hari, dan ranah ekonomi yang disinyalir akan mendatangkan banyak investasi dan pertumbuhan UMKM imbas dari disahkannya RUU Omnibus Law.
Apakah hal itu negatif? Tidak juga. Lalu, positif? Belum tentu. Kenapa demikian? Ya karena penjabaran penulis di atas disampaikan dengan sifat netral, alias penulis hanya menyampaikan fakta yang dapat dilihat di media, tidak menyertakan persuasi untuk menghakimi bahwa itu negatif atau positif.Â
Bagaimana cara menentukan fakta tersebut bersifat negatif atau positif? Tergantung bagaimana Anda membacanya dengan perspektif apa, apakah sebagai suatu mekanisme robot adikuasa yang besar atau sekrup kecil penunjang yang bahkan ketika patah dengan cepat diganti dengan yang lain?
Atau anda bisa melihat dengan kacamata yang lebih realistis, yakni sebagai siapa peran anda di dalam masyarakat sehari-hari? Sebagai korporat kah? Atau sebagai demonstran? Kalau anda mengidentifikasi diri Anda sebagai robot adikuasa-korporat, Anda akan mengglorifikasi bahwa Covid-19 telah ditangani sedemikian rupa dan itu berhasil, alhasil itu menjadikan dasar pada Anda untuk terus mendukung kebijakan yang berdampak secara makro seperti mendukung promosi pariwisata kala pandemi, pengesahan RUU Omnibus Law, pembijakan pembatasan mobilitas masyarakat kecil tapi tidak melakukan pembiayaan atau memberikan pembiayaan tapi dikorupsi dan melindungi pelakunya.
Sebaliknya, jika Anda mengidentifikasi diri Anda sebagai sekrup kecil pabrik-demonstran, Anda akan menyatakan bahwa pemerintah telah sangat gagal menghadapi pandemi.Â
Pengesahan RUU Omnibus Law sarat akan kepentingan oligark dan menyusahkan rakyat kecil, tidak adanya pemprioritasan kesehatan dan berfokus pada karantina wilayah serta memberi subsidi yang safe, komersialisasi pendidikan dan tidak adanya gagasan yang mumpuni terkait pendidikan daring berjalan beriringan, fasilitas kesehatan yang tidak menuju ke tingkat memadai yang mumpuni, dan sederet argumentasi lain yang mengglorifikasi bahwa pemerintah telah gagal sama sekali dalam menangani pandemi dan pemenuhan ha-hak rakyatnya.
Sebelum masuk lebih jauh, paling tidak dalam masa pandemi seperti ini terdapat 4 fase dalam masyarakat. Wulandari (2020) menjelaskan ada 4 fase dalam tata kehidupan sosial di masa pandemi ini, yakni: fear phase, learning phase, growth phase, dan enlightment phase.Â
Dengan adanya pandemi, kehidupan masyarakat berubah jauh lebih besar yakni seperti kehilangan norma dan nilai-nilai sosial di dalam masyarakat yang menurut Durkheim mengakibatkan anomie dalam masyarakat. Seperti misalnya fenomena panic buying yang seakan-akan umat manusia akan mati jika tidak mendapatkan barang vital yang diperebutkan pada awal kemunculan Covid-19.
Hal tersebut merupakan awal dari hilangnya sifat kemanusiaan yang menimbulkan ketakutan di masyarakat. Inilah yang disebut dengan fear phase (fase ketakutan). Lalu masyarakat memasuki learning phase, yakni fase belajar dari apa yang sudah terjadi sebelumnya, yakni semisal mulai memberlakukan social distancing, masyarakat mulai berpikir jernih dan mulai beradaptasi sedikit demi sedikit.Â