Banyak yang belum bisa negara berikan kepada rakyat Indonesia. Banyak yang semakin apatis terhadap adanya eksistensi “negara”. Banyak pemuda penganggur, kriminil berlatar miskin, dan rakyat terpinggir yang bahkan benci dengan “Negara”.
Ramadhan-Lebaran, dan Hakikat Beragama dalam Konteks Berbangsa dan Kenegaraan
Bagi umat Islam yang sedang menjalankan bulan suci Ramadhan, pertama-tama saya ucapkan selamat beribadah. Semoga kemenangan Lebaran teraih dengan sebesar-besar kemuliaan dari Tuhan.
Bulan puasa, menurut sudut pandang pemula seperti saya, setidaknya mengandung pengertian bahwa ini adalah masa resmi olah kebatinan. Olah kebatinan melalui penempaan wujud-badan, wujud pikiran. Menahan dengan sengaja dorongan-dorongan untuk segenap keinginan makan, ucapan lisan, keinginan dengan lawan-jenis, sikap hidup berlebihan, dan hal-hal semacamnya yang intinya adalah kemampuan dalam pengendalian.
Saya tidak respek dengan bulan puasa yang bergeser jadi bulan belanja. Baiklah, berbelanja adalah hak tiap mereka yang punya kemampuan berbelanja. Dan, saya lebih setuju lagi apabila bulan puasa dimaknai dengan harfiah “bulan tidak cengeng fasilitas, bulan tidak cengeng dimaklumi, bulan tidak memupuk ambisi pamer di Lebaran nanti”.
Masa-masa di mana sebagai bangsa baru yang belum seabad ini tak hayal adalah semacam “puasa akbar” yang seyogyanya terdukung, terkuati dengan kegagahan Ramadhan tiap tahunnya. Umat Islam sewajarnyalah menempatkan diri sebagai garda terdepan memperkukuh semangat kebangsaan yang terpotensi luntur terhajar oleh tantangan-tantangan jaman.
Sebagai cacah terbesar di Indonesia, umat Islam harus bisa memanifestasikan kemampuan pengendalian dalam semangat ramadhan. Jumlah umat yang besar tidak boleh hanya mandeg pada tataran jumlah KTP Islam belaka. Apalagi, cuma sekedar memenuhi permintaan konstitusi untuk diwajibkan memilih satu di antara sekian pilihan agama resmi yang diijinkan.
Baik umat Islam, insya Allah, baiklah negara kita ini. Maaf, bukannya ini adalah ajakan untuk besentimentil dengan SARA, sama sekali bukan. Tulisan ini hanya sekedar mengajak saudara-saudara muslim Indonesia tersegarkan kembali dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekan. Bhinneka Tunggal Ika, kaya dan sejahtera dalam keberagaman. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan segenap komponen bangsa yang lain. Berlomba-lomba bekerjasama dalam kebaikan. Bersatu dalam semangat luhur saling membaktikan kemampuan.
Apatisme Berkenegaraan
Kembali ke kalimat pembuka tulisan, ujian bangsa ini tidak boleh kita abaikan. Kenyataannya, bangsa dengan umur belum se-abad ini betul-betul mengalami ujian luar biasa. Isu perpecahan, isu kemerosotan ekonomi, isu keamanan-ketertiban, isu harkat dan martabat bangsa. Berlanjut dengan isu disfungsi pemerintah dan sistem kenegaraan. Ya, inilah kenyataan yang tak boleh kita sepi, atau kita tinggal lari.
Apatis (ketidakpedulian) adalah salah satu cara manusia menanggapi keadaan. Kemiskinan, kebodohan, dan tak termilikinya kebutuhan dasar hidup memang berpeluang besar menjatuhkan harkat kemanusiaan. Maka bagaimana kita bisa gagah dalam (igauan?) kemerdekaan, bila sesungguhnya hakikat kemerdekaan belum betul-betul seluruh rakyat rasakan.