“Anda tak perlu angkat senjata. Cukup jangan korupsi saja. Itu sudah menolong negara kita” -- Basuki Tjahaja Purnama --
Sebagai orang yang tinggal di pinggiran Jakarta. Setiap hari harus seperti kutu loncat, ke sana ke mari untuk sesuap nasi dan mengisi dompet dengan recehan. Tidak gentar dan tidak pula takut serta tidak lagi putus asa (meski kadang kerap putus, tetap menyambungnya kembali). Jakarta ya pilihannya itu.
Meski banyak orang bilang, hidup di Jakarta itu keras bro!. Di Jakarta lu engga boleh gengsi, kalau lu pengen hidup. Hingga ada ungkapan populer setengah peribahasa : “Jakarta lebih kejam daripada ibu tiri”. Tak membuat Jakarta sebagai kota yang dijauhi apalagi ditakuti. Malah-malah menjadi magnet yang menarik orang untuk beradu (domba) tentang nasib. Malah-malah menjadi gula yang mengundang para sesemut untuk berebut (ribut) tentang manisnya kehidupan.
Jakarta itu Unyu.
Bagi saya Jakarta itu Unyu (boleh dibaca dengan ada akhiran ‘k’ menggantung). Ada yang bilang unyu adalah suatu ungkapan sebuah perasaan gemas yang udah maksimal. Ada yang bilang unyu itu berasal dari bahasa sanskerta yang berarti anjing, yang biasanya untuk ngatain. Namun ada juga yang bilang unyu pada dasarnya merupakan suatu bakat sejak saat orang itu dilahirkan alias bawaan. Entahlah apapun itu yang penting bukan diartikan aku wahyudi saja xixixixi. Lalu mengapa saya sebut Jakarta itu unyu?.
Agaknya lebih nyaman saya menyebutnya demikian. Sebagai representasi dari Jakarta sebagai ibu kota negara dengan banyaknya problem yang mengepungnya. Namun pada saat yang sama masih menjadi kota yang akan selalu dielu-elukan keberadaannya. Karena sekitar 70% perputaran uang nasional berada di Jakarta. Atau sekitar 2500 triliun rupiah tiap bulannya uang beredar di ibukota ini. Mengagumkan.
Jakarta sebagai ibukota merupakan etalase Indonesia sebagai sebuah negara. Wajah Indonesia sebagai negara sangat tercermin dari Jakarta sebagai ibukota, termasuk orang-orang yang ada di dalamnya. Maka sebagai upaya membangun Jakarta tidak saja tentang bangunan fisiknya saja tapi yang lebih esensial adalah bangunan mental masyarakatnya. Karena masyarakat Jakarta itu emang unyu-unyu orangnya. Menggemaskan. Ingin sekali mencubitnya. Namun pada saat yang sama juga ingin menampolnya, hihihi..
Fakta dan data empiris di lapangan banyak berbicara dan membuktikan Jakarta itu memang unyu. Seperti tau-tau parkir liar yang tiba-tiba nongol. Padahal sebelumnya tidak ada di sana saat kita mau parkir kendaraan. Sim salabim, tiba-tiba terdengar nyaring peluit sambil kasih aba-aba keluar. Nyiapin uang barang 1000-2000 perak.
Kota dengan penduduk 10 juta lebih ini (BPS, 2015) memang sangat sumpek ketika hari kerja. Belum tambahan dari kota penyangganya yang bisa mencapai 2 juta orang tiap harinya. Bisa dibayangkan ruwetnya di jalan raya untuk menuju singgasana (baca: kantor). Apalagi jumlah kendaraan di Jakarta lebih banyak dari pada jumlah penduduknya.