Radikalisme Digital dan Ketuhanan Yang Maha Esa
Era digital telah mengubah secara drastis cara masyarakat Indonesia berinteraksi dan mengakses informasi. Dengan tingkat penetrasi internet yang mencapai 73,7% dari total populasi pada tahun 2024, kita dihadapkan pada fenomena baru yang cukup mengkhawatirkan: penyebaran paham radikal melalui dunia maya. Media sosial dan berbagai platform digital kini menjadi ruang bagi pertarungan ideologi, di mana kelompok tertentu memanfaatkan teknologi untuk menyebarluaskan pemikiran ekstrem mereka.
Radikalisme digital memiliki karakteristik yang berbeda dari bentuk radikalisme konvensional. Penyebarannya jauh lebih cepat, sulit untuk dideteksi, dan jangkauannya lebih luas. Yang lebih mengkhawatirkan, kelompok muda menjadi sasaran utama karena mereka aktif dalam dunia maya dan masih berada dalam fase pencarian jati diri. Propaganda ekstremis dikemas dalam bentuk konten menarik seperti meme, video pendek, atau narasi viral yang mudah diterima tanpa disaring secara kritis.
Situasi ini menjadi tantangan tersendiri bagi implementasi sila pertama Pancasila, "Ketuhanan Yang Maha Esa". Nilai utama dalam sila ini mengajarkan kita untuk:
Menjalankan Moderasi Beragama
Di tengah derasnya arus informasi yang sering kali memuat narasi provokatif, moderasi beragama menjadi hal yang penting. Moderasi bukan berarti mengurangi kadar keimanan seseorang, melainkan menjalankan agama dengan bijaksana serta tetap menghormati perbedaan.Menjaga Keharmonisan dalam Keberagaman
Indonesia adalah rumah bagi berbagai agama dan kepercayaan. Di tengah gempuran narasi yang mencoba memecah belah masyarakat atas nama agama, menjaga keharmonisan menjadi semakin relevan.
Untuk menghadapi tantangan ini, dibutuhkan strategi yang mampu mengintegrasikan nilai-nilai religius dengan literasi digital. Salah satu solusi yang dapat diperkuat adalah pengembangan cyber dakwah moderat, yang melibatkan tokoh agama serta komunitas daring. Para ulama dan pemuka agama perlu memiliki keterampilan dalam menyampaikan pesan keagamaan yang damai dan inklusif melalui platform digital dengan cara yang relevan bagi generasi muda.
Kesenjangan Digital: Menguji Keadilan Sosial di Era Modern
Transformasi digital membawa perubahan besar dalam berbagai aspek kehidupan, tetapi juga menciptakan paradoks baru dalam keadilan sosial. Di tengah euforia revolusi industri 4.0, muncul jurang digital yang semakin lebar. Masalah ini tidak hanya berkaitan dengan akses terhadap internet, tetapi juga mencakup kesenjangan dalam literasi digital, kepemilikan perangkat teknologi, serta kemampuan untuk memanfaatkan teknologi demi meningkatkan kesejahteraan.
Meskipun penetrasi internet di Indonesia cukup tinggi, distribusinya masih belum merata. Wilayah perkotaan menikmati konektivitas yang stabil dan cepat, sedangkan banyak daerah pedesaan masih kesulitan mendapatkan akses internet yang layak. Lebih dari itu, kesenjangan digital telah menciptakan lapisan baru dalam masyarakat, di mana mereka yang memiliki akses dan keterampilan digital memiliki lebih banyak kesempatan dibandingkan mereka yang tidak.
Hal ini bersinggungan langsung dengan sila kelima Pancasila, "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", yang dalam konteks digital mencakup: