Mohon tunggu...
Muhammad Tri Andika Kurniawan
Muhammad Tri Andika Kurniawan Mohon Tunggu... -

Lecture,Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meneropong Koalisi PDIP-GERINDRA 2014

23 Desember 2013   11:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"A Prince never lacks legitimate reasons to break his promise" (Niccolo Machiavelli) Meski pemilu presiden 2014 masih 7 bulan lagi, namun turbulensi politik antar partai serta para calon presiden sudah sangat terasa sejak sekarang. Dengan waktu yang masih agak panjang, berbagai kemungkinan masih sangat bisa terjadi. Sehingga, memprediksi siapa bergabung dengan siapa serta bagaimana pola relasi yang terjalin, terkadang masih terlalu prematur jika dibicarakan saat-saat ini. Tapi, dinamika pemilu 2014 ini memiliki legacy dari pemilu 2009 yang tidak bisa dilepas.  Sehingga, adanya kini adalah periode dimana yang lalu telah membentuknya. Meski sudah banyak silaturahim antar partai yang mencoba membangun hubungan satu sama lain, namun bisa dipastikan mayoritas hubungan antar partai saat ini sifatnya masih Hubungan Tanpa Status (HTS). Saling mendekat, namun masih tidak jelas apa komitmennya. Saling terbuka, tapi belum banyak yang bisa berbagi, Tetapi, tidak demikian halnya untuk hubungan PDIP dan GERINDRA. Walau pilpres baru tahun depan, tapi sesungguhnya status hubungan kedua partai ini sudah ditentukan 5 tahun silam. Namun, apakah status tersebut masih terus di-update atau malah out of date, adalah hal yang menjadi pertanyaan banyak orang termasuk saya. Legacy 2009 Hubungan PDIP-GERINDRA menemukan chemistry-nya pada momen pilpres 2009. Di 2009, ketika hampir semua partai Islam, PKS,PPP,PKB, dan PAN akhirnya lebih memilih menjadi pengikut SBY-Budiono, pilihan PDIP-Megawati untuk mencari kawan koalisi semakin terbatas. Tersisa saat itu ada Golkar, GERINDRA, dan HANURA yang masih setia menunggu pinangan dari PDIP. Namun, akhirnya opsi untuk jalin koalisi dengan Golkar harus ditutup juga setelah di antara Megawati dan Jusuf Kalla tidak ada yang mau mengalah menjadi calon orang nomor dua di kursi pemerintahan. Bagi Jusuf Kalla, jika hanya kembali menjadi calon wakil presiden barangkali tidak perlu berpasangan dengan Megawati, Ia bisa lakukan itu dengan SBY dan kemungkinan besar akan kembali memenangkannya. Di sisi lain Megawati pun tidak akan sedia kiranya maju hanya untuk menjadi calon wakil presiden. Menjaga darah Soekarno untuk tetap di posisi no 1 adalah harga yang tidak bisa ditawar saat itu. Mundurnya Golkar dari bursa pasangan PDIP, membuat PDIP harus memilih untuk berkoalisi dengan GERINDRA atau HANURA. Dua partai baru yang diinisiasi oleh para jenderal. Dari sisi relasi, tawaran Megawati untuk ditempatkan sebagai calon presiden dari koalisi sepertinya bukan hal yang sulit diterima oleh GERINDRA dan HANURA. Namun, pemilu presiden adalah event yang syarat modal finansial. Di satu sisi, hadir sebagai partai baru yang didukung kekuatan modal dana yang kuat, menjadi daya tarik tersendiri bagi partai yang ingin berkoalisi dengan GERINDRA. Di sisi lain, berperan menjadi oposisi selama lima tahun sejak 2004 telah membuat PDIP kering. Tak ayal jika PDIP tidak cukup kuat untuk menanggung biaya politik sendirian. Di sinilah Prabowo hadir untuk bisa memenuhi apa yang dibutuhkan Megawati. Dengan back up adiknya Hasyim Djojohadikusumo,  Prabowo-Gerindra bersedia menanggung biaya politik pilpres dengan porsi yang lebih besar. Dan setelah melalui sebuah proses "closed door bargaining", pilihan PDIP akhirnya jatuh pada GERINDRA, bukan HANURA. Tidak Wiranto melainkan Prabowo. Bagi Prabowo, selain menjadi cawapres mendampingi Megawati, garansi dukungan PDIP atas posisi sebagai capres 2014, adalah insentif yang juga akan diterima atas premi politik yang telah dikeluarkannya di pilpres 2009.  Inilah yang menjadi point utama dalamclosed door bargainingyang dijalin kedua belah pihak di Batu Tulis, Bogor 2009. Namun, perkembangan politik saat ini nampaknya akan memberikan pengaruh besar bagi hubungan kedua belah partai yang sudah dirajut sejak 2009. Hasil survey politik sebagaimana yang digambarkan oleh banyak lembaga survey, mengisyaratkan kuat bahwa PDIP setidaknya akan masuk menjadi dua besar partai pemenang pemilu 2014. Ditambah dengan fenomena Jokowi yang semakin menguatkan posisi PDIP untuk hadir sebagai the rulling party. Perkembangan inilah yang diduga akan banyak mempengaruhi hubungan PDIP-GERINDRA di 2014. Atas dasar perkembangan itu dikaitkan dengan adanya warisan perjanjian 2009, lantas mau dibawa kemana hubungan PDIP-GERINDRA 2014? Kunci di Megawati PDIP memang belum memutuskan secara resmi capres dari partainya; Jokowi atau bukan Jokowi.  Namun, apakah itu dikarenakan PDIP masih menjaga pesan perjanjian Batu Tulis (mendukung Prabowo), atau karena ada faktor lain yang membuat PDIP belum berani memutuskan capres yang akan diusungnya? Saat ini sebenarnya tidak ada alasan bagi PDIP untuk menunda pengumuman Jokowi sebagai capres yang akan diusungnya. Banyak lembaga survey memprediksi, justru dengan mengumumkan pencapresan Jokowi sebelum pemilu legislatif, akan berpengaruh sangat signifikan bagi perolehan suara PDIP di April nanti. Bahkan, skenario maksimumnya bisa membuat PDIP sebagai majority party yang mampu memperoleh 50% suara. Tapi menariknya, kenapa Megawati belum memutuskannya dan baru akan mengumumkannya setelah April nanti? Dalam kondisi ini, Megawati memegang peran kunci. Dan bagi Megawati, barangkali situasi inilah yang paling aman dan nyaman bagi. Aman, karena Megawati tetap dipandang setia menjaga hubungannya dengan Prabowo-Gerindra. Nyaman, sebab Megawati sedang memainkan perannya (exercising power) yang sangat penting sebagai Ketua Umum partai, dimana dirinya "menikmati" benar prosesi yang tengah berlangsung. Sikap Megawati yang menunda pengumuman capres PDIP hingga pileg nanti nampaknya dapat membuat GERINDRA sedikit tenang. Setidaknya hal ini bisa menandakan bahwa Megawati masih belum lupa perjanjian lima tahun silam dengan GERINDRA. Namun, bukan berarti pula Prabowo bisa tenang dan tidak mawas diri. Sebab, ketika kepentingan Megawati-PDIP untuk mengusung Jokowi sebagai capres semakin solid, apapun bisa dilanggar atas nama peroleh kuasa. Sedikit yang bisa bertahan tetap tegar dalam sikap dan janji, manakala aroma kuasa telah tercium. Sebagaimana yang pernah diucap oleh Niccolo Machiavelli ;"A Prince never lacks legitimate reasons to break his promise".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun