Mohon tunggu...
andikapbg
andikapbg Mohon Tunggu... Lainnya - Wirausaha

Hobi Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Problematika Perkawinan Campuran di Luar Negeri

27 Desember 2024   15:12 Diperbarui: 27 Desember 2024   15:17 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Logo Universitas Wijayakusuma Purwokerto (Google.com)

Oleh:

Andika Kurnia Sandi (23110111830)

Rafif Nakhwah (23110111854)

Rifqi Syarifuddin (23110111857)

Dr. Eti Mul Erowati, S.H., M.Hum.

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS WIJAYAKUSUMA PURWOKERTO

A. Pendahuluan

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan kaedah-kaedah perkawinan dengan kaedah-kaedah agama. Semua agama umumnya mempunyai hukum perkawinan sendiri.

Di era globalisasi sekarang ini, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan sangat pesat tanpa mengindahkan lagi batas-batas negara dan bangsa. Interaksi yang terjadi antara individu yang berbeda suku bangsa dan negara dalam berbagai bidang akan melahirkan hubungan- hubungan hukum khususnya dalam hukum perdata Internasional yang salah satu diantaranya adalah perkawinan campur.

Di Indonesia perkawinan campur terjadi dalam dua bentuk yaitu wanita Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan pria Warga Negara Asing (WNA), dan pria WNI menikah dengan wanita WNA. Perkawinan campur yang terjadi merupakan lingkup hukum Perdata Internasional karena dilangsungkan di luar negeri sehingga terdapat dua sistem hukum yang berbeda, yaitu hukum Indonesia dan hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan.

Menurut Prof. Zulfa Djoko Basuki, pakar hukum perdata internasional, mengaitkan perkawinan di luar negeri ini dengan Pasal 16 AB (Algemene Bepalingen van wetgeving), yang menyebutkan bagi warga negara Indonesia dimanapun ia berada akan tunduk pada hukum Indonesia."Untuk sahnya perkawinan diperlukan 2 (dua) syarat, yaitu syarat formal dan syarat materill. Syarat formal diatur dalam pasal 18 AB yakni tunduk pada hukum dimana perkawinan tersebut dilangsungkan (lec loci selebration). Jika di Negara dimana perkawinan dilangsungkan secara sipil, maka perkawinan dilakukan secara sipil.

Dalam penelitian ini, terdapat penegasan istilah bahwa perkawinan campuran adalah yang terjadi antara dua pihak pada negara Indonesia dan patuh dengan hukum yang berlainan, adanya kewarganegaraan yang berbeda dimana salah satu pihak memiliki kewarganegaraan Indonesia.

B. Pembahasan 

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974)

Perkawinan Campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. (pasal 57 )

Menurut Staatblad 1896 N0. 158. Pengertian Perkawinan Campuran Masa Pemerintahan Kolonial Beslit Kerajaan 29 Desember 1896 No. 23 Staatsblad 1896/158 (Regeling op de gemengde huwelijken", selanjutnya disingkat GHR) memberi defenisi sebagai berikut: Perkawinan dari orang-orang yang di Indonesia berada di bawah hukum yang berlainan (Pasal 1). Menurut Pasal 1 GHR tersebut, maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran yaitu:

  • Perkawinan campuran internasional, yaitu antara warganegara dan orang asiny, antara orang-orang asing dengan hukum berlainan, dan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri.
    • Perkawinan campuran antar tempat, misalnya seperti perkawinan antara seorang Batak dengan perempuan Sunda seorang pria Jawa dengan wanita Lampung, antara orang Arab dari Sumbawa dan Arab dari Medan dan sebagainya yang disebabkan karena perbedaan tempat.
    • Perkawinan campuran antar golongan (intergentiel). Adanya perkawinan campuran antar golongan adalah disebabkan adanya pembagian golongan penduduk oleh Pemerintah Kolonial kepada 3 (tiga) golongan yaitu: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Timur Asing; (3) Golongan Bumi Putera (penduduk asli) sehingga perkawinan yang dilakukan antar mereka yang berbeda golongan disebut perkawinan campuran antar golongan. Misalnya: (1) antara Eropa dan Indonesia; (2) antara Eropa dan Tionghoa; (3) antara Eropa dan Arab; (4) antara Eropa dan Timur Asing; (5) antara Indonesia dan Arab; (6) 5 antara Indonesia dan Tionghoa; (7) antara Indonesia dan Timur Asing; (8) antara Tionghoa dan Arab.
    • Perkawinan Campuran Antar Agama Perkawinan bagi mereka yang berlainan agama disebut pula perkawinan campuran. Adanya perkawinan beda agama dalam sistem hukum perkawinan kolonial disebabkan Pemerintah Hindia Belanda dalam hal perkawinan mengesampingkan hukum dan ketentuan agama. Perkawinan antar agama terdapat pertentangan dalam praktek dan banyak perkawinan dari masyarakat dan kaum agamawan namun oleh pemerintah kolonial tetap dipertahankan, bahkan pada tahun 1901 .M dianggap perlu untuk menambah GHR dengan ketentuan pasal 7 ayat (2) yang menetapkan bahwa "Perbedaan agama, tak dapat digunakan sebagai !arangan terhadap suatu perkawinan campuran." Penambahan ayat 2 pada pasal 7 GHR itu adalah akibat pengaruh konferensi untuk hukum Internasional di Den Haaq pada Tahun 1900.

Perbedaan yang ada di pembatasan kewarganegaraan tersebut, menjadikan perkawinan di antara pihak yang berbeda golongan (contohnya: Timur Asing dengan Bumi Putera) atau berbeda agama, namun terdapat persamaan dalam kewarganegaraan Indonesia, bukan termasuk perkawinan campuran versi Undang-undang No.1 Tahun 1974, tetapi jika menurut versi GHR adalah termasuk perkawinan campuran. Jadi, Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menjelaskan perkawinan campuran itu adalah:

  • "Seorang pria warga negara Indonesia kawin dengan seorang wanita warga negara Asing", atau
    • "Seorang wanita warga negara Indonesia kawin dengan seorang pria warga negara Asing

Permasalahan kewarganegaraan pada kasus diatas, menjadikan konsekuensi pada Pasal 58 bagi pihak yang memilih untuk perkawinan campuran dapat memiliki kewarganegaraan dari pasangannya serta dapat pula menjadi hilang kewarganegaraan. Hal tersebut berlaku dalam UndangUndang Kewarganegaraan RI.

  • Problematika Perkawinan Campuran
    • Masalah Pencatatan

Mengenai perkawinan campuran dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tidak ada ketentuan yang mengatur secara khusus tentang pencatatan perkawinan campuran. Dengan demikian apabila perkawinan dilangsungkan di Indonesia maka berlaku ketentuan pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan 9 ketentuan Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang antara lain disebutkan :

  • Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    • Pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain Agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tata cara pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9. Apabila pengaturannya demikian, maka mengenai pencatatan ini akan timbul masalah kalau calon suami atau calon Isteri bersikeras tetap mempertahankan keinginannya maka akan dicatat dimana, karena masalah perkawinan campuran pada Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang pencatatan perkawinan campuran, baik untuk perkawinan antar keyakinannya maupun perkawinan antar kewarganegaraan. Demikian dalam hal pencatatan perkawinan apabila pasangan tersebut beragama Islam, meskipun adanya perbedaan kewarganegaraan tetap dicatatkan di KUA. Sedangkan apabila pasangan tersebut beragama nonmuslim meskipun berbeda kewarganegaraan tetap pencatatannya di Kantor Catatan Sipil.
    • Masalah Harta Benda Perkawinan

Apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka ketentuan hukum material berkaitan dengan harta kekayaan diatur berdasarkan hukum suami, yaitu Undangundang No. 1 Tahun 1974. Namun harta benda perkawinan campuran ini apabila tidak dilakukan perjanjian perkawinan yang menyangkut harta perkawinan maka berkenaan dengan harta perkawinan ini akan tunduk pada pasal 35, dimana ditentukan, bahwa : Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masingmasing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Selanjutnya mengenai harta bersama ini dapat dikelola bersama-sama suami dan isteri, namun dalam setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama harus ada persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1)).

Sedangkan dalam hal harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya Pasal 36 ayat (2)). Apabila terjadi perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37), yang dimaksud hukum masing-masing pihak di dalam undang-undang Perkawinan ini adalah hukum agama, hukum adat atau hukum lainnya. Untuk Perkawinan Campuran akan munjadi masalah Hukum Perdata internasional, karena akan terpaut 2 (dua) sistem hukum perkawinan yang yang berbeda, yang dalam penyelesaiannya dapat digunakan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR ( Regeling of de gemengde huwelijken) S. 1898 yaitu diberlakukan hukum pihak suami. Masalah harta perkawinan campuran ini apabila pihak suami warga negara Indonesia, maka tidak ada permasalahan, karena diatur berdasarkan hukum suami yaitu Undang-undang No.l Tahun 1974. Sedangkan apabila isteri yang berkebangsaan Indonesia dan suami berkebangsaan asing maka dapat menganut ketentuan Pasal 2 dan Pasal 6 ayat (1) GHR, yaitu diberlakukan hukum pihak suami.

  • Status Anak

Mengenai anak ini, cukup banyak peraturan yang mengatur tentang anak, dan di lain pihak keberadaan anak tidak terlepas dan berhubungan erat dengan hukum perkawinan, hukum keluarga, dan hukum kewarisan. Dalam hal perkawinan campuran masalah status anak ini juga menghadapi permasalahan yaitu berkaitan dengan kewarganegaraan dari anak. Selain daripada itu dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 mengenai kedudukan anak telah diatur pada Bab 9 dalam Pasal 42 sampai Pasal 44 yang antara lain menentukan:

  • Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42).
    • Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat(1))
    • Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzinah dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut.
    •  Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan. Bertitik tolak dari pengaturan tersebut, jelas bahwa Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur mengenai anak hasil perkawinan antar bangsa Indonesia dengan bangsa asing karena dalam Pasal 42 tersebut hanya mengatur mengenai kedudukan anak. Selanjutnya dalam pasal 43 mengatur anak yang dilahirkan diluar perkawinan dan juga mengatur mengenai seorang suami yang dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bila mana ia dapat membuktikan bahwa isterinya melahirkan anak akibat perzinahan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Undang-undang Perkawinan hanya mengatur kedudukan anak hasil perkawinan antara warga negara Indonesia saja. Sedangkan apabila perkawinan campuran yang berbeda kewarganegaraan, masalah kedudukan anak atau status anak ini memang dapat menimbulkan permasalahan. Permasalahan yang timbul adalah apabila pihak isteri berkewarganegaraan Indonesia dan suami berkewarganegaraan asing, maka apabila mempunyai anak pihak isteri tidak mempunyai pilihan untuk memberikan kewarganegaraannya kepada anak. Kenapa demikian, karena Indonesia menganut asas keturunan (asas ius sanguinis) yaitu kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh keturunan daripada orang yang bersangkutan (si suami). Selain itu apabila si anak mempunyai kewarganegaraan dari bapak (asing) maka dalam proses pelaporan ke Kedutaan dan Kantor Imigrasi bukan perkara yang mudah, dan membutuhkan biaya yang cukup besar, bahkan ada negara tertentu si anak yang masih kecil harus dibawa untuk melaporkan kekedutaan.

  • Masalah Perceraian

Di dalam suatu perkawinan diharapkan tidak akan terjadi perceraian, karena dengan terjadinya perceraian akan menimbulkan berbagai permasalahan. Namun apabila tetap terjadi perceraian, maka perkawinan yang dilaksanakan di Indonesia dan pihak suami warga negara Indonesia, jelas syarat-syarat dan alasan perceraian harus berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia. yaitu dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dan khusus untuk pegawai negeri sipil berlaku pula ketentuan-ketentuan PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990.

Tetapi dalam hal Perkawinan Campuran yang perkawinannya dilangsungkan di Indonesia sedangkan pihak suami adalah warga negara asing dan mereka menetap di luar negeri, maka dalam hal ini akan timbul masalah Hukum Perdata Internasional lagi yaitu untuk menentukan alasan dan syarat perceraian tersebut demikian pula bagi mereka yang melangsungkan perkawinan di luar negeri. Putusnya perkawinan disebabkan kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Dalam hal perceraian hanya dapat dilakukan didepan pengadilan yang berwenang, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Selain itu untuk melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Disini jelas apabila perkawinan campuran dilakukan di Indonesia jelas alasan maupun akibat terjadinya perceraian berdasarkan ketentuan yang diatur di dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974. Bila perkawinan campuran yang di langsungkan di Indonesia namun tinggalnya di luar negeri atau perkawinannya dilangsungkan diluar negeri dalam hal ini belum ada pengaturannya.

C. Kesimpulan

Pelaksanaan perkawinan campuran pada umumnya sama dengan pelaksanaan yang dilakukan pada perkawinan biasa (tidak campuran). Namun ada beberapa syarat khusus bagi pihak pihak yang berbeda pada kewarganegaraannya, diantaranya adalah izin kedutaan dari negara asal pihak yang berbeda kewarganegaraannya yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk melakukan perkawinan. Pencatatan nikah memiliki peranan penting dalam perkawinan campuran, tidak hanya dianggap sebagai tertib administrasi saja, namun mempunyai kekuatan hukum yang bersifat mengikat dan jelas. Sebab pencatatan ini dijadikan sebagai penentu sah dan tidaknya suatu pernikahan diantaranya adalah pernikahan campuran, dimana dilakukan oleh pihak yang terdapat berbeda kewarganegaraannya.


 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun