Mohon tunggu...
Andika Hilman
Andika Hilman Mohon Tunggu... Dokter - Story-Writer and Content Specialist | Clerkship Doctor

Surabaya, 1995

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Indonesia Berbakat

17 Mei 2014   13:51 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:26 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Konsep kurikulum pendidikan 2013/2014 adalah melebihkan porsi pendidikan karakter dan pengembangan potensi yang dimiliki siswa. Saya setuju dengan ini. Tidak bisa dipungkiri, banyak anak bangsa kita yang berprestasi di kancah internasional dalam berbagai bidang, mulai dari science, robotik, film sampai fashion. Namun sampai saat ini negara kita belum bisa menjadi sorotan negara-negara dunia (selain dalam hal ‘banyaknya konsumen yang menjanjikan’). Masih ada yang salah dengan pendidikan di Indonesia. Kita belum bisa mewadahi pendidikan anak-anak kita secara maksimal, terutama dalam pengembangan minat dan bakat.

Seorang terapis terkenal Loretta Staples pernah berkata,"If you are clear about what you want, the world responds with clarity". Memiliki cita-cita sejak dini merupakan hal yang penting. Hal ini harusnya lebih diperhatikan oleh pemerintah dan para guru. Penting bagi siswa untuk menemukan minatnya sejak SD (Sekolah Dasar). Sistem pendidikan kita sebelumnya masih fokus terhadap ‘penguasaan semua materi’, bukan ‘pengenalan semua bidang’. SD seharusnya menyediakan banyak pilihan bidang peminatan dan memberikan siswa kesempatan untuk mengenali semuanya, sehingga siswa lebih cepat mengetahui cita-citanya. Sehingga di tahap pendidikan selanjutnya para tenaga pendidik bisa fokus untuk mengarahkan siswa mengembangkan bakatnya.

Kurikulum pendidikan seperti ini akan meringankan beban orang tua dalam mendukung anaknya. Zaman sekarang banyak sekali mahasiswa baru yang mengaku mengambil jurusan bukan atas dasar keinginannya, melainkan orang tuanya (dan mereka tidak setuju pilihan orang tua mereka). Para orang tua ini tentu ingin memberikan anaknya yang terbaik, sehingga mereka mengarahkan anaknya untuk masuk ke jurusan yang terkenal mampu menjanjikan masa depan cerah, seperti kedokteran, teknik, akuntansi. Orang tua juga menghindari bidang-bidang yang kurang familiar dan tidak menjanjikan kekayaan. Padahal menjadi seorang pesepak bola pun dapat menjanjikan masa depan cerah jika si anak memang berminat dan berbakat di bidang tersebut. Contoh lain kebingungan orang tua adalah anak yang dikursuskan bidang yang mereka kurang pintar di situ, bukannya pada bidang yang mereka pandai di situ. Misalnya adalah ketika si anak sering mendapat nilai matematika yang buruk di kelas, maka orang tua (karena takut anaknya tidak lulus) akan menguras uangnya untuk membiayai anaknya les matematika. Alangkah lebih bermanfaat sebenarnya jika orang tua fokus ke mengembangkan bakat dengan orientasi ke masa depan (profesi). Maka, pada pendidikan Sekolah Dasar perlu dikonsep agar anak mampu mengenali minat dan bakatnya, serta menentukan cita-citanya sejak awal.

Kementrian pendidikan mencoba membuat kurikulum yang tidak membebani, sehingga mereka memadatkan jumlah mapel (mata pelajaran) dan buku. Dalam hal ini masih banyak pihak yang kontra, terutama dalam integrasi mapel satu ke mapel yang lain. Tahun ini, mapel berkurang menjadi hanya Pendidikan Agama, PPKN, Matematika dan Bahasa Indonesia. Hal ini justru mempersempit pilihan siswa dalam menggali potensi dirinya. Jika kita lihat pada jenjang kuliah, pilihan jurusan yang ditawarkan secara umum adalah Matematika, IPA (Biologi, Fisika, Kimia), IPS, Sejarah, Agama, Bahasa dan Sastra, Seni, Olahraga dan Keterampilan/IT, dengan ekspansi yang masih luas lagi dalam setiap bidangnya. Mapel SD mungkin bisa mengelompokkannya menjadi seperti itu.

Sebenarnya bagaimanapun pengelompokannya, siswa harus mampu mengenal banyak hal dan memperbanyak wawasannya. Sistem pembelajaran yang ditawarkan harus jauh dari tekanan dan tuntutan untuk menguasai banyak bidang. Standarisasi soal ujian pun seharusnya berbeda setiap anak. Siswa yang dipandu oleh gurunya bisa memilih beberapa mapel yang ingin ia tekuni, sehingga soal ujian pada mapel tersebut yang dibuat lebih menantang. Mapel lain yang tidak perlu ia dalami akan mendapat soal dengan tingkat kesulitan yang lebih mudah (tentu dengan standar nilai di setiap tingkatan soal). Dengan model ujian seperti ini, kita bisa berlaku lebih adil terhadap mereka. Pendidikan pun berjalan jauh lebih efektif. Seperti kata Einstein,”Everybody is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its shole life believing that it is stupid”.

Mungkin ada banyak kekhawatiran jika model ujian “sefleksibel” ini, seperti salah satunya takut siswa akan kehilangan kesempatan untuk mengganti cita-citanya. Sebenarnya memang tujuannya adalah memfokuskan siswa untuk mengembangkan bakatnya untuk memudahkan ia memilih profesi nantinya. Namun siswa tentu masih bisa mengganti dan tetap mencoba hal-hal baru tanpa terpaku pada mapel pilihan dia. Kurikulum ini tidak mengotakkan siswa kepada beberapa bidang saja, melainkan memberikan siswa kesempatan seluas-luasnya untuk mencoba apa saja. Semua mapel akan ia ikuti, tetapi ia tidak dituntut untuk menguasai semuanya. Siswa tidak perlu mendapatkan nilai bagus pada semua mata pelajaran, tetapi wajib pada beberapa bidang pilihanya. Orientasi lulus pun adalah apakah ia telah menjalani pendidikan dengan baik atau tidak, serta telah sebaik apa ia mampu menguasai bidang pilihannya.

Sebuah gerakan tentu tidak bisa berjalan jika dilakukan tanpa melibatkan banyak orang. Perlu adanya kerja sama antara orang tua, kepala sekolah, guru sebagai tenaga pendidik, guru pendamping/guru konseling dan pemerintah. Orang tua bisa lebih membuka pikirannya terhadap masa depan anaknya. Guru pun begitu, tidak boleh kaku dalam mengajar dan mau mengembangkan diri agar dapat menguasai keterampilan mengajar yang baik. Guru konseling diperlukan untuk memantau siswa dari segi prestasi akademik maupun perkembangan karakter dan emosinya. Karakter dan emosi seorang anak sudah seharusnya ditangani dengan cara yang lebih profesional dan berlandaskan science daripada sekedar “tebak-tebak”. Pemerintah sendiri punya peran penting untuk memastikan bahwa pendidikan terjangkau, baik dari segi biaya, lokasi, jumlah sampai pada kesejahteraan guru. Dan yang terakhir, masyarakat juga harus ikut berperan dengan menjadi teladan bagi anak-anak serta memberikan harapan dan semangat positif untuk menyambut masa depan. Bagaimanapun, semua pihak harus ikut turun tangan dalam proses pendidikan.

Sebagai penutup, saya mau mengutip perkataan dari Anies Baswedan, penggagas gerakan ‘Indonesia Mengajar. Beliau bilang (dengan sedikit penyesuaian),”Saya merasa tema pendidikan ini sering dianggap tema kementerian. Coba lihat Singapura, Korea Selatan, Taiwan, Jepang! Mengapa mereka bisa hebat? Karena kepemimpinan nasional dan orientasi pembangunannya ada pada pengembangan sumber daya manusia. Jadi sudah saatnya Indonesia meneguhkan bahwa pendidikan adalah kunci untuk meraih janji kemerdekaan kita. Dan ini gerakan seluruh rakyat, bukan hanya pemerintah. Karena pendidikan harus menjadi gerakan, bukan hanya program”. Mari lukis masa depan bangsa lewat pendidikan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun