Mohon tunggu...
Andika Hilman
Andika Hilman Mohon Tunggu... Dokter - Story-Writer and Content Specialist | Clerkship Doctor

Surabaya, 1995

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Yes You, Butterfly

18 Agustus 2014   09:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:16 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Angin tidak berhembus romantis, tapi bibir tersenyum puitis. Kaki tidak terasa ringan, tetapi mataku pergi terbawa angin. Aku tidak tahu aku di mana sekarang, mau ke mana sekarang, atau nanti, atau kapan mati. Hati membawaku ke sini, surga duniawi. Ternyata surga itu besar ya? Bersih lagi! Dan hmm... Agak sepi. Tidak banyak memang yang tahu jalan ke sini. Mungkin sengaja sepi. Surga tidak menyenangkan kalau ramai. Berisik! Mungkin takut pelanduk-pelanduk liar di sini terusik.

Aku berjalan di atas keramik. Warnanya putih, halus dan cantik. Seperti kamu, seluruh keindahan yang teramu. Kamu rempah-rempah cinta dan aku mencicipinya. Aku menyesal telah melakukannya. Aku terlalu bahagia.

Lagi-lagi mataku berputar mengawasi gedung ini. Menjaga ekspresi seakan tiada hal terjadi. Padahal senyum mengembang mau pecah. Padahal lampu, tapi sangat cerah. Padahal mesin, tapi membuat kulitku dingin. Tidak ada tujuan. Tanpa arah kuberjalan. Seharusnya mereka menumbuhkan pohon uang di sini. Banyak sekali makanan yang mau kubeli.

***

Lampu perlahan diredupkan. Secercah cahaya yang sedari tadi ditunggu akhirnya dinyalakan. Cahaya ini menarik. Seperti kamu, penghangat jiwa berhati baik. Sampai susah kuberkata-kata di hadapanmu. Ah, aku malah teringat kejadian itu.

Aku baru sadar. Cahaya telah berpendar, namun tetap gelap. Terik surga sudah terlelap. Aku sendirian di ruangan yang besar ini. Salah, ada penghuni lain yang tidak peduli. Kami sama-sama sedang menikmati kesendirian. Sendiri yang ada teman. Sendiri yang ada rindu. Pada bahagia. Pada segala hal di masa lalu. Pada harapan. Permintaan yang tidak pernah dikabulkan.

Tidak ada yang namanya jin dalam botol. Jin tinggal dalam sepatu, bukan botol. Manusia sok tahu. Aku diberitahu oleh mata kepalaku. Sampai mulutku terdiam membisu. Tidak ada yang pernah percaya kata-kataku. Aku hanya angin lalu. Atau mungkin, anak tangga yang bau.

***

Gelap.

Surga tutup jam 9 malam. Aku pulang. Ke neraka pikiran. Tempat di mana kenyamanan hanyalah ilusi, bahagia tidak pernah bertahan serta mimpi harus terkubur dalam-dalam. Beruntunglah penghuni dunia, mereka hanya saling membohongi diri sendiri. Di neraka, semua hal membohongi kami.

Tidak ada cahaya harapan di neraka. Tidak ada. Bahkan jin sepatu pun tidka berani masuk. Artinya, tidak akan ada permintaan yang dikabulkan. Kami bertarung dengan pikiran. Makan dengan pikiran, minum dengan pikiran, sampai pikiran melahap kami. Tetapi kami tidak mati. Kami tetap hidup, lalu makan lagi, minum lagi, dilahap lagi. Begitu terus sampai pikiran bosan.

Berhenti? Tidak. Cuma istirahat.

***

Pada akhirnya surga berakhir dalam maya. Dan yang bisa kuingat cuma cahaya. Lumayan untuk hiburan. Kenang-kenangan. Tidak ada manusia yang tidak peduli, tidak apa. Aku pun sebentar lagi pergi. Bahkan rambut pirangku sudah tercukur rapi. Artinya, tidak ada harapan lagi.

Ini, aku. Gara-gara kamu. Terbang tak tahu arah. Kamu kupu-kupu, aku butiran debu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun