Sudah terlalu mainstream sekarang jika berbicara soal sepakbola Sleman dari sudut pandang supporter. Koreo? Kreativitas? Cukup buka saja google maka ada ratusan bahasan menarik seputar Sleman Fans. Lalu pernahkah terlintas membuka kata kunci PSS Sleman di google? Abaikan jika itu soal suporternya, tapi bacalah soal tim nya. Yang terbaru tentu soal mundurnya pelatih senior, Sartono Anwar. Dan menjadikannya sebagai orang keempat dalam 1 setengah musim yang meninggalkan pos pelatih.
Boleh dibilang, jika di Italia Palermo bisa gonta ganti pelatih 5 kali dalam semusim, mungkin PSS juga bisa melakukannya. Tapi tak perlulah berpikir sejauh itu, karena memang tradisi klub-klub di Indonesia identik dengan ganti pelatih setiap musim, bahkan mengganti pelatih di tengah musim berjalan jika tak sesuai target. Kultur sepakbola negri ini memang tak ubahnya di serie A, yang mengutamakan hasil.
Contoh seperti Salahudin di Barito atau Warta Kusumah di Persipasi, hanyalah anomali. Pasang surut pretasi Persipasi sama sekali tak menggoyahkan seorang Warta berpikir meninggalkan tim begitu sebaliknya manajemen. Begitu pula seorang Salahudin, yang butuh 2 musim di divisi utama untuk membawa Barito juara divisi utama dengan materi tim yang tak sementereng kontestan lain.
Kembali ke PSS, lalu bagaimana klub dengan pendukung luar biasa ini? Jawabannya sepele sedang hobi gonta ganti pelatih. Sejak bangkit dari tidurnya musim lalu, tercatat sudah 4 orang menduduki jabatan pelatih. Hanafi belum memulai musim sudah terdepak, walau di tahun kemarin sukses membawa perseba juara divisi 1. Lalu Yusack Sutanto menyerah di pertengahan musim. Berikutnya pelatih lokal Lafran Pribadi yang tak berlanjut di musim ini. Paling terakhir, tentu sosok sekaliber Sartono Anwar yang ikut mengibarkan bendera putih.
Padahal di awal musim ini, Sartono dibekali persiapan panjang dan kebebasan memilih materi tim. Apa susahnya menangani tim seperti PSS ini? Sebegitu besar dan sarat prestasi kah Elang Jawa? Sebegitu bintang kah pemain-pemainnya? Pertanyaan yang mungkin berlebihan, tapi tak ada salahnya sesekali mengkritisi klub yang selalu dipuja-puja di blog ini.
Menjinakkan Local Idol
Jangan menyebut diri Sleman Fans jika tak tahu sosok pahlawan lokalnya, AH8 alias Anang Hadi, satu-satunya pemain sekaligus idola jutaan fans Sleman yang menghuni tim paling lama. Kalau AS Roma punya Totti, maka PSS punya Anang Hadi. Sosok mereka jika disandingkan pun sebelas dua belas. Peran mereka bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi menguntungkan, di satu sisi merugikan. Jangan pernah mencadangkan Totti kalau masih mau aman melatih Roma, itu yang dialami Claudio Ranieri. Ibaratnya sekali saja bentrok dengan kapten kota abadi itu maka seluruh fans akan memojokkan anda.
Ego seperti itulah yang ditakuti akan menjangkiti PSS. Untuk itulah diperlukan cara khusus untuk menjinakkan sang local hero, agar kemampuan terbaiknya bisa keluar. Seperti di musim ini, di laga pra musim, Sartono memainkan pola 3-4-3, dengan tridente Moni-Sakti-Mudah. Seiring waktu berjalan, formasi itupun berubah ke 3-5-2, formasi seperti saat PSS sebelum 2012. Di formasi itu seorang Anang Hadi bisa bermain optimal, dan sering menyumbang gol dari lini kedua.
Tugas baru pun diemban Anang musim ini, setelah berganti-ganti ban kapten di pra musim, wahyu, waluyo, sakti, pilihan pun jatuh pada sang maskot. Pengalamannya di PSS diharapkan dapat menularkan semangat yang “PSS Sekali” pada seluruh skuad tim.
Tipikal Anang sebagai gelandang serang yang produktif coba dimanfaatkan Sartono musim ini. Dengan ban kapten yang melingkar di lengannya, serangan ditumpukan padanya. Sayang kengototan Sartono pada formasi 3-5-2 kurang membawa tuah pada permainan PSS. Sang kapten pun belum sama sekali menyumbangkan gol.
Masih perlu pendekatan yang tepat, agar sang kapten bisa kembali produktif. Di musim lalu, PSS punya Juan Revi yang berperan penting pada mobilisasi lini tengah dan menutup semua areal lapangan. Sehingga seorang Anang bisa bermain leluasa di sepertiga lapangan lawan.
Siapapun pelatih baru PSS nanti, sepertinya perlu untuk menggali lebih banyak potensi sang idola agar kemampuannya meledak, mengingat jargon “no local hero no party” yang kental di PSS. Jadi buat pelatih baru, tolong buat sang kapten bernomor 8 itu bisa berkontribusi maksimal untuk tim.
Mengasah Mental tandang
Kekalahan di Stadion Ketonggo menjadi puncak kekesalan Sleman Fans. Lebih-lebih Super Elja tiba-tiba merosot ke dasar klasemen, dengan menyisakan 2 pertandingan kandang daripada kontestan lain, yang membuat manajemen seperti tak kuasa menahan malu. Puncaknya seperti sudah diketahui, dengan mudahnya Sartono menyerah dan memilih mundur.