Mohon tunggu...
Andika D.H.
Andika D.H. Mohon Tunggu... -

Peserta terakhir soal asmara. Tinggal di gubuk kata tempat pemuda bernostalgia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tentang Hujan, Aku

22 Agustus 2014   01:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:55 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kukira hujan tidak lagi mau bertemu denganku, entah kenapa aku ingin bertemu dengannya sebelum keberangkatanku ke perantauan. Setelah hujan benar-benar turun, aku mengadu kepadanya, keluh kesahku, riang gembira, segalanya kusampaikan sampai tidak ada rasa di hati.

Bagaimana aku tidak gembira, karenanya aku lega, karenanya aku bahagia, dan karenanyapula aku bebas menceritakan semuanya tanpa ia marah-marah padaku, tanpa ia bosan mendengar kisahku, bahkan ia terus mengguyuriku dengan cintanya.

Apalagi hujan ketika malam, lengit gelap gulita, dengan lampu rintiknya berkilau mempesona. Dan aku kembali bercerita, tentang hidup, tentang mati, tentang waktu, tentang bagaimana menjadi manusia, tentang kegembiraan pepohonan. Aku sangat menikmati malam-malam seperti itu, meski kata orang kurang kerjaan. Haha, aku tidak peduli.

Suatu ketika aku bertanya kepada ibuku. Ibu, masih ingat kah Ibu ketika dulu aku dibiarkan bermain hujan, sampai anakmu jatuh sakit karena keseringan hujan-hujanan? Ibuku hanya tersenyum, memandangku lembut, seolah bliau ingin mengatakan sesuatu, namun hati tak kuasa mengatakannya padaku.

Setelah itu aku bertanya kepada kakak perempuanku. Kak, kenapa hanya kakak yang dimarahi ketika bermain hujan di pelataran rumah bersamaku dulu, padahal kakak lebih tua tiga tahun dariku. Namun kenapa yang kena marah, kena cubit, bukan kita berdua? Kakak perempuanku hanya berkata, tanya tuh sama Ibu.

Saat itu aku mencoba menafsir-nafsirkan jawaban dari pertanyaanku. Bahwa orangtuaku melihat kegembiraan saat-saat hujan datang, tidak pernah mereka temui seraut wajah sesuka itu. Bahkan ketika aku di perantauan, mereka sesekali menghubungiku untuk sekedar memberi tahu, bahwa di rumah hujan. Dan yang masih aku ingat perkataan beliau. "Di sini hujan, di sana hujan nggak," kata ibuku sayup-sayup dari dalam telfon.

Ah, entah lah. Ini sebatas catatanku tentang hujan.

Lumajang, 5 Agustus 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun