Mohon tunggu...
Andika D.H.
Andika D.H. Mohon Tunggu... -

Peserta terakhir soal asmara. Tinggal di gubuk kata tempat pemuda bernostalgia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selembar Kangen untuk Sahabatku

12 Februari 2015   09:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:21 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Teruntuk sahabatku yang sibuk.

Semoga tetap dalam lindungan-Nya.

Kudengar kabar dari teman tentang sahabatku yang pergi tanpa pamitan. Tak apa, itu bukan soal yang menyesalkan. Bagiku kamu hebat, lelaki yang pernah membuat perjalanan hidupku terwarnai. Aku tidak menyesali atas kepergianmu, itu sudah pilihan dari setiap manusia yang hidup. Bukankah kau pernah mengatakan bahwa hidup harus penuh dengan warna –mungkin kau lupa-, aku sangat senang mendengar lalu mengingatnya kembali sebagai bahan pengokohan diri manakala aku mulai letih dengan hidup. Begitu yang kurasakan, sampai saatini kata-katamu menyihirku untuk terus berambisi dalam mencapai suatu misi.

Sahabatku.

Aku tidak mengerti lagi jalan hidup ini, begitu menyiksa yang kulalui. Aku berada di ketinggian tanpa penyangga yang membuatku tegak menjulang. Aku berada di kota Benda yang membuatku pikun akan jalan pulang. Tanah-tanah yang kutanami lembayung dan air yang kutubuhi teratai begitu kesakitan.

Suatu ketika aku menulis puisi, tentang bagaimana kekecewaanmu yang akupun juga merasakan itu – meski kau tak pernah berujar padaku—. Aku tahu, rasa sakit yang melilit hatimu, aku tahu tawamu sekedar penyemangat bagiku, aku tahu tingkahmu seolah sedang memerankan opera cinta, aku tahu itu. Namun Sahabatku, kau tak menyadari itu. Dan aku hanya menulis puisi yang kuambil di kedalaman jiwaku.

Tak Heran

Pantas saja kau seperti itu

Aku tak heran

Melihatmu tertatih-tatih

Melawan derasnya luka

Sahabatku, aku telah lama menahan rasa ini

Pertih, bosan, kecewa

Tapi aku tak heran

Karena kita adalah abadi

Waktu begitu cepat merubah segalanya

Engkau dan aku adalah aksara

Yang terurai dalam bingkai yang berbeda

Sahabatku, aku tak heran

Ini bukan derama yang sedang engkau perankan

Di sini, aku melihat rinai senyummu

Pada lembaran-lembaran usang.

*Jawa Pos Radar Bromo, 19 Oktober 2014.

Sahabatku.

Kini tibalah saatnya aku merasakan semua yang pernah kau rasakan. Begitu berat budi ini menerimanya, hingga aku terkatung-katung dalam menyelesaikan sebuah misi. Begitu kejam semua ini, aku biarkan namun hati terus melawan, aku tinggalkan tapi aku tak bisa. Bagaimana aku bisa semudah belalang yang terbang menggunakan sayapnya, sedang aku terikat janji yang entah kapan berakhirnya. Aku letih dengan manis di mata namun pahit rasa di dada.

Sahabatku.

Maafkan aku, rupanya aku kalah dalam penyelesaian misi ini. Kini aku semakin tak peduli lagi dengan rengekan itu. Aku begitu menyesali manakala suatu ketika kulihat bangkai bangunan yang tak setegar lalu, seperti ketika kita meminum kopi dan menyulam sutra. Begitu akrabnya kita, lukisan-lukisan masa itu barangkali akan berhenti atau melesat lagi hingga membuat kita tersipu. Atau berhenti tanpa menyisakan apa-apa lagi. Entah, lelah sudah hati ini, semangat ini. Serasa tak ada guna lagi aku berada ditengah-tengah kemunafikan yang sedang kuhadapi.

Sahabatku.

Kutulis surat ini agar kita tetap bersama dan terus berkarya untuk memperindah warna-warni hidup kita. Sekalipun kita bukan siapa-siapa, bukan anak orang kaya. Maka, bukankah menulis adalah suatu keindahan dalam setiap diri penulisnya.

Sahabatku.

Kini aku telah menyelesaikan satu cerita, tentang perjalanan keluarga miskin yang teraniaya. Sang suami begitu menyiksanya selama tiga puluh dua tahun, tanpa memberi nafkah, tanpa apa-apa sebagai tanggung jawab kepala keluarga. Aku sangat senang, di tengah-tengah kepedihan ini aku masih bisa menulis dan meneruskan kebiasaan kita yang pernah kita bangun bersama, ialah BERKARYA.

Sahabatku.

Kuyakin, saat ini kau akan membalas suratku. Tapi biarlah surat ini menjadi saksi permusuhan kita selama ini.

Sahabatku.

Selamat berjuang di sana, tempat kau dilahirkan. Di sini tak usa kau tanya kabarku, cukup kau warnai hidupmu dan aku akan mewarnai hidupku.

Dari yang merindukanmu.

Andika D.H.

Probolinggo, 11 Februari 2015.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun