Mohon tunggu...
Andika NugrahaFirmansyah
Andika NugrahaFirmansyah Mohon Tunggu... Guru - Aktif di Sokola Sogan, Komunitas Belajar berbasis minat dan bakat.

Seorang pembelajar yang berteman dengan anak-anak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teman Saya yang Katanya Penyair

8 November 2024   15:43 Diperbarui: 8 November 2024   15:56 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Pribadi Penulis

Agaknya saya senang melihat Bay, teman saya, menjadi pemateri pada sebuah acara diskusi sastra yang diadakan sekumpulan mahasiswa di sebuah kampus. Sebetulnya tingkat kesenangan itu bisa naik sedikit. Tapi, mau bagaimana lagi, memang begitulah adanya. Saya dilarang Bay untuk menghadiri acara itu karena suatu alasan yang saya rasa itu dibuat-buat saja: supaya tidak kicep. Menjengkelkan.

Saya mencoba menawar. Paling tidak, jika saya tidak boleh datang, saya masih diperbolehkan melihat tulisan yang ia susun untuk disampaikan pada acara tersebut. Alhamdulillah diberikan. Untuk itu saya mencoba berterima kasih dengan memberikan apresiasi melalui tulisan ini.

Siang ini, beberapa jam sebelum acara, Bay sibuk membolak-balik halaman demi halaman buku Rendra yang berjudul Memberi Makna pada Hidup yang Fana. Buat bekal, begitu katanya. Ia merasa sungkan jika hanya ngetuprus ngalor-ngidul tanpa bahan dan dasar. Maklum, pada acara itu Bay disandingkan dengan Om Edi Haryono, Editor Burung Merak Press. Sungguh beruntung mereka yang bisa ikut menghadiri acara itu.

Saya kenal betul Bay. Sebelum membuat tulisan ia mencoba mengorek-ngorek lagi luka lama yang ia rasakan. Mungkin lebih tepatnya update rasa sakit. Supaya dapet vibes-nya. Begitu kira-kira katanya.

Beberapa penyair yang saya kenal memang begitu. Belum afdol di sebut penyair kalau belum pernah merasakan patah hati. Apalagi karena mantannya akan menikah sebentar lag. Ditambah ijika kalian lihat tubuh kurus, wajah tirus dan matanya yang disayu-sayukan itu. Ah lengkap sudah bekalnya untuk menjadi penyair.

"Tidak enak rasanya, kalau dianggap penyair tetapi tidak tampak menderita."

Begitu kata Mas Agus Noor.

Rasanya memang cocok apa yang dikatakan Mas Agus Noor dengan keadaan teman saya itu. Tapi Mas, mohon ijin menambahkan. Bay itu bukan hanya tampak menderita. Ia memang menderita Mas. Dan Ruwet juga.

Kalau tidak begitu, teman saya yang katanya penyair ini, tidak mungkin tiba-tiba istiqomah menjadi jamaah di Masjid Raudhoh. Alhamdulillah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun