Dalam hidup, seringkali kita sampai pada persimpangan jalan, mengalami kebingungan dan galau dalam menentukan pilihan. Sebagai seorang guru, dan pegiat sebuah komunitas pendidikan, seringkali saya dihadapkan dengan pertanyaan dari anak didik mengenai dimana dia akan bersekolah berikutnya. Lanjut mondok dan menghafal Al Quran, lanjut sekolah SMA atau keduanya sekaligus, hingga memilih jurusan kuliah yang tepat dengan prosepek kerja dengan gaji tinggi.
Kiranya saya memaklumi pertanyaan mereka. Selama sekolah hampir tidak ada pelajaran yang membuat mereka berseri-seri dan menanti-nanti. Termasuk mata pelajaran yang saya ampu, matematika. Tapi dalang tidak pernah kehabisan lakon untuk disampaikan. Sesekali saya bercerita mengenai sejarah matematika dan memancing anak-anak untuk bertanya dan bertanya lagi. Dengan munculnya percakapan dan diskusi jam pelajaran matematika terasa sangat singkat. Tidak jarang mereka mencegat saya untuk mengobrol pada jam istirahat atau jam pulang. Saya merasakan hal ini sebagai sebuah keberuntungan karena dinantikan anak-anak untuk berdiskusi mengenai banyak hal. Namun, tetap saja hal ini tidak berperngaruh banyak untuk materi matematikanya. Dan lebih parah, seabrek mata pelajaran ini dianggap sebagai sebuah beban. Itulah mengapa sejak dulu anak-anak (mungkin juga kita) lebih suka mendengar bel pulang daripada bel masuk sekolah.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang memiliki visi misi dengan segala rupa, ternyata belum maksimal dalam membantu anak-anak mengenali dirinya, kelebihan dan kekurangan, minat dan potensi yang dimiliki. Sampai-sampai ia harus bertanya kepada orang lain mengenai makanan intelektual apa yang harus ia makan selanjutnya. Tak mengherankan jika data yang dirilis berbagai media menyebutkan bahwa 87% mahasiswa di Indonesia mengaku salah jurusan. Artinya jika dibulatkan 9 dari 10 anak muda kita salah memilih. Jika dimisalkan dalam populasi penduduk Indonesia yang begitu banyak dengan anak muda inilah yang sudah, sedang dan juga kelak akan menjadi komando arah Indonesia mengalami salah memilih apakah indonesia juga sedang hilang arah?
Dalam sejarah kelahirannya, pada masa kemerdekaan Indonesia sempat juga berada pada persimpangan jalan dalam mendefinisikan kebudayaan nasional. Para perintis kemerdekaan menyadari sebuah persoalan, bagaimanakah merumuskan kebudayaan nasional dari masyarakat majemuk seperti Indonesia? Bukankah sebelum kemerdekaan Indonesia, masyarakat hanya mengenal kebudayaan daerah atau suku bangsa masing-masing? Dengan lahirnya Indonesia, apakah warisan kebudayaan daerah harus dibuang digantikan sepenuhnya dengan kebudayaan baru yang diadopsi dari luar?
Polemik basis kebudayaan dari Indonesia merdeka ini diperdebatkan, dengan sedikitnya tiga tokoh terpenting beserta cara pandangnya yang sangat bertentangan. Sutan Takdir Alisjahbana dengan semangat dinamisme-nya yang memandang Indonesia perlu mempelajari bahkan meniru kemajuan barat dengan semangat intelektualisme, individualisme dan materialismenya. Sutomo dengan keberpihakannya pada pesantren yang melatih moral, mengembangkan karakter dan rasa tanggungjawab sosial. Sutomo menganggap kebudayaan dan pendidikan barat telah meracuni rakyat Indonesia dengan menghasilkan intelegensia yang tercerabut dari masyarakatnya, yang tidak memiliki cita-cita kebudayaan dan hanya tertarik pada pekerjaan-pekerjaan yang aman sebagai pegawai. Diantara keduanya, Sanusi Pane berusaha mengawinkan keduanya dengan membela ekistensi warisan budaya lama dan bersedia memperkayanya dengan unsur baru dari luar. Pada akhirnya, pandangan terakhir yang menjadi dasar dalam pembentukan kebudayaan Indonesia.
Dalam sebuah peradaban, upaya melestarikan budaya selalu mendapat tantangan dari perkembangan zaman. Arnold Toynbee dalam bukunya A Study of History (1947) menyatakan bahwa dalam proses perubahan kebudayaan terdapat sebuah teori radiasi budaya. Dalam pandangannya, peradaban terdiri dari tiga lapisan yang terdiri dari lapisan terluar yaitu teknologi, seni, etika hingga yang terdalam adalah agama. Kebudayaan yang lebih kuat akan meradiasi kebudayaan yang lemah dengan pengaruh yang secara parsial sesuai dengan lapisan-lapisannya. Sepertinya kita memang perlu melakukan refleksi apakah Indonesia memiliki budaya yang cukup kuat dalam menghadapi gempuran budaya luar. Dari sekian benda berteknologi tinggi disekitar kita, lebih banyak yang buatan Indonesia atau luar negeri? Dari sekian kesenian, sebagai contoh lagu, lebih suka menyanyikan lagu daerah atau lagu luar negeri? Dari dua lapisan ini saja, jawaban pertanyaan itu bisa membuat kita pusing kepala. Lalu bagaimanakah dengan lapisan berikutnya? Bagaimanakah kemampuan anak muda dalam membedakan dan menerapkan apa yang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, sopan dan tidak sopan, hak dan kewajiban moral, dan seterusnya.
Jika kita mau meneruskan atau mencari lagi, tentu ada banyak definisi dan teori kebudayaan lainnya. Dari berbagai macam definisi budaya, titik temunya ada dalam melihat kebudayaan sebagai properti kolektif seperti keyakinan kolektif, pengetahuan kolektif, nilai kolektif, perilaku kolektif, dsb. Properti kolektif ini dapat dilihat dimasyarakat dari fenomena-fenomena yang terjadi didalamnya atau melalui ucapan yang tanpa disadari begitu saja. Misalnya ucapan populer, mending nglorot timbang sekolah. Jika ditelusuri, dalam dokumen RKPD Kota Pekalongan tahun 2023 dikutip sebuah data BPS Kota Pekalongan mengenai Angka Partisipasi Murni (APM) pada tahun 2020 jenjang SMP 74,55% dan SMA sebesar 55,58%. Artinya jika dibulatkan, dari 10 orang anak ada 3 anak yang tidak SMP dan 4 anak tidak SMA. Dari ucapan popular itu, bisa jadi pilihan mereka untuk tidak sekolah karena mereka melihat banyak yang sekolah bahkan hingga kuliah pun ujungnya masih sulit cari kerja. Hal ini juga mengindikasikan bahwa sekolah tidak dipandang sebagai tempat transfer of knowledge, transfer of value, building character. Padahal kita tahu pengetahuan, nilai dan karakter itulah yang menjadi property kolektif pembentuk kebudayaan.
Berdasarkan pengalaman dan percakapan dengan murid-murid saya. Anak muda sebagai pribadi dan seorang anggota masyarakat, selalu memiliki impian dan keinginan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik, entah dirinya sendiri atau lingkungan sekitarnya. Sebagian dari mereka tidak mampu berkembang karena tidak mendapatkan dukungan dan ekosistem yang tepat. Namun, banyak juga yang mengikuti berbagai kegiatan dan komunitas untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat mereka. Komunitas dapat memiliki peran penting dalam perkembangan anak muda. Komunitas ibarat oase bagi anak muda untuk mempelajari suatu hal dengan menyenangkan, kontekstual dan sesuai kebutuhan. Mereka akan terus mempelajari hal-hal baru dan menganggap belajar sebagai suatu kebutuhan. Sehingga secara tidak sadar, mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Berbeda dengan sekolahan, komunitas lebih cair, terbuka dan inklusif bagi siapa saja yang ingin bergabung. Begitu juga di Omah Sinau Sogan.
Omah Sinau Sogan memiliki beberapa bidang seperti seni teater, musik, sejarah dan pendidikan. Di bidang pendidikan ada Sokola Sogan yang menyelenggarakan kegiatan belajar kontekstual, berbasis minat bakat dan sesuai kebutuhan untuk anak usia dini hingga dewasa. Sejak 2019 -- sekarang, Sokola Sogan masih konsisten menyelenggarakan kegiatan belajar tanpa memungut biaya dari peserta didiknya dan tersebar di 4 wilayah kota Pekalongan. Kegiatan pendidikannya juga disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekitar. Di Slamaran terdapat PAUD karena banyak anak usia dini yang tidak sekolah, di Panjang terdapat bimbel untuk anak-anak SD karena keluhan orang tua yang sulit mengajari anak-anaknya ketika pandemi, di Kramatsari ada ngaji Al Quran untuk ibu-ibu yang ingin belajar membaca Al Quran dan di Medono yang merupakan pusat kegiatan Sokola Sogan dengan berbagai kegiatan belajar seperti teater, puisi, menulis, musik, parenting, diskusi pendidikan, matematika, utbk, toefl, writing, speaking, calistung (SD), paud, amtsilati dan minton ceria yang semuanya menggunakan model prasmanan. Artinya anak-anak bebas mengikuti kegiatan belajar sesuai keinginan dan kebutuhan. Hal ini menjadi penting bagi anak-anak untuk mengenali minat, bakat dan potensi yang mereka miliki sehingga kelak tidak binggung dalam memilih jurusa kuliah dan lebih jauh dalam mendeskripsikan kemampuan yang dimiliki. Dari program seni, menulis dan ekonomi mereka juga diajak untuk melihat potensi ekonomi dan memperoleh pendapatan dari kemampuan yang mereka miliki.
Mulai Juli 2022, Sokola Sogan menginisiasi program kebaikan, yaitu kontribusi wajib bagi setiap peserta didik untuk melakukan hal-hal baik sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing. Misalnya saja peserta PAUD yang menyirami tanaman, memberi makan hewan peliharaan, anak calistung (SD) yang membantu membersihkan rumah, cuci piring dsb. Dengan ini diharapkan menumbuhkan sikap bertanggungjawab. Sedangkan anak jenjang SMP, SMA dan Mahasiswa yang menjadi fasilitator belajar untuk adik tingkatnya. Untuk menjadi fasilitator mereka dibekali bagaimana cara mendidik dan mengajar dengan baik. Selain itu mereka diajak untuk berlatih berfikir kritis melalui kegiatan diskusi pendidikan. Melalui hal ini diharapkan muncul sikap voluntarisme dan gotongroyong dalam diri mereka. Jika komunitas semacam ini direplikasi di berbagai kampung maka dapat saling mengisi dan menguatkan bersama dengan lembaga pendidikan formal dalam upaya transfer of knowledge, transfer of value, building character yang merupakan properti kebudayaan. Dan tentunya tidak adalagi ucapan,Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!