Sebagai seorang guru, saya seringkali merasakan perasaan-perasaan aneh. Saya menyebutnya perasaan tengah-tengah. Ya mau bagaimana lagi, wong saya juga tidak tau kata apa yang bisa mewakili perasaan saya ini.
Jadi begini, ada saat dimana saya merasakan posisi sebagai murid dan guru sekaligus dalam satu waktu. Ketika tiba saat-saat seperti ini, biasanya saya inginnya menangis karena teringat guru-guru yang sudah mendidik saya dan bagaimana saya mendidik murid-murid saya.
Ada beberapa kejadian yang saya ingat betul. Pertama ketika ada pertemuan MGMP matematika di smp saya dulu. Saya selalu mencoba menghindar atau cari-cari alasan supaya tidak hadir. Bukan apa-apa, saya tidak kuat jika harus duduk sejajar, dalam satu forum dengan guru-guru yang dulu mengajari saya matematika. Rasanya pingin nangis saja. Apalagi sedang mendalami peran sebagai guru honorer.
Coba kalian bayangkan masa kecil kalian, dengan segala tingkah laku yang mbongko itu, kepada guru honorer. Saya sadar, bahwa dulu kepala saya tidak pernah dijitak itu adalah buah kesabaran yang luar biasa dari seorang guru. Untuk itu, saya selalu mendoakan kebaikan beliau-beliau sekeluarga.
Apalagi dengan beban pengalaman diskusi-diskusi mengenai ruwetnya pendidikan di negara ini. Saya membayangkan. Rasanya beliau masih mau menjadi guru, masih mau ngemong anak-anak, masih mau mulang, dan tidak hanya meninggalkan LKS di kelas saja, itu sudah hal yang istimewa.
Tapi kalau gurunya PNS/ASN ya di bawah itulah, ya. Walaupun status PNS itu tidak menjamin sejahtera karena biasanya sudah tergoda utang, kemudian tiap bulan dapat potongan sana-sini.
Sampai tiba saat saya ditunjuk sebagai sekretaris MGMP matematika, ada momen dimana saya harus mendatangi acara di sekolah saya dulu. Saat masuk gerbang dan memarkirkan motor supra, hati saya sudah bergetar. Ingin nangis, tapi saya tahan karena malu.
Saat berada di depan meja registrasi, mata saya sibuk mencari nama-nama guru yang dulu mengajar saya. Beliau-beliau sudah hadir. Saya memilih duduk di belakang. Mengamati dimana beliau-beliau ini duduk. Kemudian mengirimkan doa dan mengikuti acara sebagaimana mestinya.
Selesai acara, saya mengelilingi sekolah. Mengenang masa-masa ketika takut berangkat sekolah ketika malamnya Chelsea kalah bertanding. Atau berangkat gasik hanya untuk menghadang dan membalas fans-fans Manchester United ketika Chelsea menang. Itu kenangan yang sulit dilupakan. Termasuk bermain bola di lapangan, main voli, hujan-hujanan, dihukum guru, hingga duduk di samping masjid sekolah sambil mengenang tempat mengamati seseorang yang dikagumi. Sungguh indah.
Ada juga momen lainnya, sekitar satu setengah tahun yang lalu, ketika selesai mata kuliah yang memusingkan dan daring, saya ingin sekali ke SMA. Tidak tahu kenapa.