Hari ini tepat 88 tahun ikrar pemuda Indonesia yang menandai kebangsaan kita. Pemuda dari berbagai daerah yang kini menjadi Indonesia ini meletakkan fondasi dan pilar dasar bagi kebangsaan kita hari ini. Keadaan terjajah, perasaan senasib dalam ketertindasan, ketidakadilan, mendorong mereka untuk meninggalkan sekat perbedaan suku, agama, status sosial dan berbagai sekat yang berbau primordial lainnya.
Akan tetapi, ikrar yang dibuat dan dijaga selama 88 tahun ini seolah memudar oleh perbedaan cara pandang sempit dalam menentukan pilihan keberbihakan di pilkada. Terutama di Ibukota. Tempat dimana ikrar kebangsaan Indonesia itu disampaikan kepada dunia.
Di Ibukota ini, ada sejumlah pihak yang mendorong keadaan menjadi arena pertempuran antara pihak mendukung dan membenci penguasa Ibukota. Akibatnya, warga yang selama ini menyampaikan kritik terhadap kebijakan ibukota akan dikelompokkan sebagai pembenci (haters). Ya, pembenci. Kata sifat yang tak bernalar karena hanya berlandaskan emosi. Seperti ungkapan emosi dari seseorang yang sedang labil, “Gue gak suka aja, titik”.
Miris bukan. Sedih bercampur was-was. Julukan haters itu kemudian menjadi dominan dan efektif untuk menyingkirkan tiap-tiap kritik terhadap kebijakan yang menyengsarakan rakyat, korup dan melanggar prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih.
Kini ada pula yang menggoreng keadaan di ibukota menjadi seolah medan pertempuran antara Ahok (dan pendukungnya) melawan haters yang sedang mempersiapkan gerakan di tanggal 4 november 2016. Padahal, tidak semua yang kritik kebijakan Ahok selama ini adalah setuju dengan sebagian kelompok yang selama ini mempropagandakan khilafah.
Ahok, saat ini, sesungguhnya sedang menggunakan strategi sebagai korban. Ya sebagai korban. Ahok mencoba-coba untuk mengusik emosi publik melalui sentimen minoritas yang harus dibela.
Padahal, apa yang dikritik oleh publik selama ini tidak ada hubungannya dengan asal usul suku bangsa ataupun embel-embel primordialisme lainnya yang melekat dalam diri Ahok. Kritik terhadap Ahok yang muncul dan berkembang selama ini adalah berangkat dari kebijakan dan pernyataannya yang memihak kaum kaya.
Tak ada alasan kok bagi kita untuk benci terhadap tokoh-tokoh lain yang memiliki asal usul suku bangsa sama seperti Ahok. Justru tokoh-tokoh ini memiliki keberpihakan yang nyata terhadap mereka yang lemah. Tokoh-tokoh ini juga tak kurang-kurang untuk menunjukkan kesetiaannya terhadap bangsanya. Siapa yang mau menyangsikan sepak terjang Yap Thiam Hien, Kwik Kian Gie, Jaya Suprana. Kesetiaan tokoh-tokoh ini bisa disandingkan dengan Tokoh-Tokoh Tionghoa (Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, Tjio Djien Kwie) dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 lalu.
Semoga bisa menjadi bahan refleksi bersama kita di peringatan 88 tahun Sumpah Pemuda ini.
Siapa yang tak pilu, ngilu dan khawatir ketika mendengar dan membaca kata-kata sumpah serapah seperti “bunuh”, “potong” dan sebagainya berterbangan di dinding media sosial atau sudut-sudut perkumpulan orang-orang.
Sudah cukup pembelaan secara membabi buta terhadap sepak terjang Ahok. Salah ya dibilang salah. Karena kekuasaan yang absen dari kritik akan membuatnya menjadi otoriter. Otoritarianisme adalah benih awal bagi tumbuhnya fasisme di kemudian hari.