Mohon tunggu...
Andika DianTetuko
Andika DianTetuko Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Saya adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, yang suka membuat tulisan tentang perkembangan hukum di Indonesia pada masa ini

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Stigma Mahasiwa Perempuan yang Berpakaian Terbuka Dinilai Buruk pada Lingkungan Kampus di Indonesia

13 Oktober 2023   13:59 Diperbarui: 13 Oktober 2023   14:03 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Stigma Mahasiwa Perempuan Yang Berpakaian Terbuka Di Nilai Buruk Pada Lingkungan Kampus Di Indonesia

Dalam masyarakat patriarki menilai buruk perilaku perempuan di ukur dari pakaian yang dia pakai, seperti perempuan yang memakai pakaian terbuka.

Mengapa?

Dalam lingkungan kampus mahasiswi yang mengenakan pakaian terbuka seperti rok diatas lutur, atasnya yg tidak menutupi dadanya sepenuh, atau memakai drees slim fit yang membuat bentuk badan dari perempuan itu terlihat menimbulkan berbagai perbincangan dari mahasiswa-mahasiswi hingga dosen sekelilingnya.
Sebagian mahasiswa-mahasiswi hingga dosen, terkadang langsung membuat penilaian hingga berkomentar seperti "Mengundang" tanpa memikirkanya terlebih dahulu.

Pada dasarnya berpakaian (fashion) merupakan hak dari setiap individu, terlepas dari norma agama. Fashioin sendiri merupakan ekspresi yang sedang popular di waktu, masa, tempat atau dala konteks tertentu. Karena seseornag akan lebih tampil percaya diri dengan pakaian yang dikenakan atau fashion. Dalam Peraturan Perundang-Undangan Indonesia pun tidak ada yang mengatur tentang tata cara berpakaian yang menyeluruh atau seperti Syariat Islam. Maka tidak ada yang salah dalam berpakian dalam kehidupan sehari-hari, semua kembali kepdaa selera dan kriteria individu dalam berpakaian.

Kemudian menurut peraturan perundang-undangan pada pasal 28I UUD RI 1945 menyatakan bahwa:
1)Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk kemerdekaan pikiran dan hati Nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan huku, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun
2)Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminastif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu
3)Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dhormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban
4)Perlindungan, permajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tenggungjawab negara, terutama pemerintah
5)Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokrasi, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Maka dari pernyataan ini dapat mendukung bahwa cara berpakaian terbuka oleh perempuan bukan tolak ukur keburukan seseorang.

Kemudian bagaimana dengan kasus pelecehan seksual yang dikarenakan perempuan mengenakan pakaian terbuka?

Berdasarkan survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) menyimpulkan bahwa pakai terbuka yang dikenakan perempuan tidak menjadi penyebab pelecehan seksual. Hasil dari survei KRPA dalam jumpa pers busana yang dikenakan saat responden mengalamu pelecehan seksual ada lima jenis yaitu: rok, hijab, baju lengan panjang, seragam sekolah, dan baju longgar. Hasil survei tertinggi dari survei tersebut ada di pakaian hijab yaitu 17 %. Maka hal ini berbeda dengan mitos yang timbul di masyarakat.

Kemudian dari survei KRPA para saksi saat terjadinya pelecehan seksual, para korban mengaku bahwa banyak saksi yang mengabaikan pelecehan seksual tersebut dan bahkan malah menyalahkan korban ketika terjadi pelecehan seksual. Namun banyak pula yang membela korban dan berusaha menenangkan korban setelag kejadian tersebut.

Dari hal ini sudah 92% korban pelecehan seksual mengaku merasa terbantu setelah dibela. Maka dari data survei ini pelecehan seksual pada dasarnya murni 100% karena niat pelaku atau dalam hukum pidana disebut means rea. Dimana adanya kejahatan didasarkan niat pelaku saat melakukan sebuah perbuatan seperti kesengajaan, kelalaian yang disengaja atau kesalahan pengetahuan yang patut.

Padahal jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomro 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atasa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada pasal 5 ayat (1) bahwa korban berhak untuk:
1.Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;
2.Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
3.Memberikan keterangan tanpa tekanan;
4.Mendapat penerjemah;
5.Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
6.Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
7.Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
8.Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
9.Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
10.Dirahasiakan identitasnya;
11.Mendapat identitas baru;
12.Mendapat tempat kediaman sementara;
13.Mendapat kediaman baru;
14.Memperoleh pengantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
15.Mendapat nasihat hukum;
16.Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir, dan/atau
17.Mendapat pendampingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun