(Catatan: Artikel ini adalah lanjutan dari artikel sebelumnya, yang juga membahas Inferiority Complex dalam lingkup kehidupan sosial, bernegara, dan sebagainya. Artikel sebelumnya dapat dibaca disini: Inferiority Complex: Penyakit Akut Indonesia)
Sebagaimana yang saya tulis di artikel sebelumnya, Inferiority Complex juga bisa terjadi di dalam kehidupan beragama/kehidupan spiritual, khususnya di Indonesia. Baik secara personal maupun berkelompok. Disini saya akan membahas dari sudut pandang netral, bukan dari segi agama manapun. (Peringatan: artikel ini panjang!) Pertama-tama kita coba lihat fakta di lapangan. Di era informasi ini, mudah sekali bagi suatu hal untuk dikenal/diketahui semua orang. Mahkluk hidup dan benda mati bisa jadi terkenal dengan cepat, asalkan objek tersebut memang:
- Punya "nilai jual".
- Di-”promosi”-kan dengan tepat dan gencar.
Contoh gampang, coba lihat salah satu murid Eyang Subur; berapa lama waktu yang dibutuhkan sih untuk mengubah dia jadi selebritis? Nggak sampai 2 minggu! (Meskipun saya heran, apaan sih “nilai jual”-nya?) Hal yang sama berlaku pada agama-agama. Agama-agama, dari jaman baheula sampe sekarang selalu giat di-”promosi”-kan, karena toh agama memang punya “nilai jual” yang tiada tanding (tentu saja: surga). Kalau Apple bersaing dengan Blackberry, Samsung, HTC untuk menarik konsumen, maka analogi yang sama bisa diaplikasikan pada kasus ini: Agama-agama juga bisa dibilang bersaing, mana yang bisa menarik “konsumen” paling banyak. Lalu, bagaimana caranya supaya sebuah agama bisa menarik “konsumen” sebanyak mungkin? Kan nilai jual-nya sama-sama surga? Nah, disinilah gunanya poin ke-2: promosi yang tepat dan gencar. Disinilah setiap setiap “merek” berusaha untuk:
- Meyakinkan “calon-konsumen” bahwa “merek” mereka lah yang terbaik.
- Meyakinkan “konsumen” untuk tidak berpindah ke “merek” lain atau membuat mereka yakin bahwa mereka sudah memilih “merek” yang tepat.
- Last but not least, menurunkan nilai jual “merek” lain.
Kita ambil permisalan lagi: ada konsumen HP X yang minder pada konsumen HP Y (misalnya karena fitur HP Y yang tidak ada pada HP X). Tentu si pengguna HP X akan berusaha untuk naik ke “level” yang sama dengan HP Y, bisa dengan dua cara: pindah ke “merek” Y atau dengan memamerkan fitur HP X yang tidak dimiliki oleh HP Y, dimana nantinya pengguna HP Y akan menyerang balik, dan seterusnya. Disini sudah mulai terlihat gejala pertama Inferiority Complex: dimana suatu pihak berusaha secara berlebihan untuk mendapat apresiasi pihak lain. Dengan analogi yang sama, seorang penganut agama X juga bisa minder pada penganut agama Y karena berbagai macam alasan. Ini memicu munculnya Inferiority Complex, dimana si penganut agama X akan mencoba untuk naik ke “level” yang sama dengan penganut agama Y. Tujuannya sama, untuk mencari apresiasi pihak lain. Nah, yang perlu digaris-bawahi adalah kedua poin yang berkaitan ini:
- Memamerkan “fitur” yang tidak dimiliki oleh pihak lain.
- Mencari apresiasi dari pihak lain.
Beda dengan HP, agama-agama yang memiliki penganut terbanyak sekarang, adalah “produk” akhir, karena mereka muncul pada jaman dulu dan sukses menarik banyak “konsumen” sampai sekarang. “Produk” akhir tentu saja berarti, tidak akan ada modifikasi/update lagi pada produk tersebut. Agama-agama terbesar di-dunia ini tidak akan lagi di modifikasi/di-update. Karena apabila penganut memodifikasi agama, maka dia melanggar hak cipta Tuhan, sebagaimana “konsumen” HP yang mengubah sistem HP tersebut. Maka dari itu yang bisa dilakukan oleh seorang penganut agama hanyalah poin pertama: memamerkan “fitur”-nya. Dan tidak heran kalau ada penganut yang berani mencoba memamerkan fitur bohongan/melebih-lebihkan fitur yang ada, untuk mencapai poin ke 2: mencari apresiasi dari pihak lain. Disini terlihat gejala Inferiority Complex ke-2: kompensasi/pengapresiasian secara berlebihan pada suatu hal (baik nyata maupun bohongan). Disini Inferiority Complex masih dalam taraf pribadi/personal. Bukti nyata adalah berita/informasi hoax yang menyangkut agama, dimana orang-orang dengan mudahnya percaya tanpa berpikir. Saya pernah melihat artikel hoax yang menyatakan bahwa seorang ilmuwan menemukan sebuah fenomena yang cocok dengan hal yang ada di agama X. Padahal setelah mencari-cari, ilmuwan tersebut tidak ada di dunia ini. Lucunya, nama ilmuwan itu berbau Latin, tapi di fotonya dia berwajah Oriental. Dan ternyata diketahui bahwa orang di foto itu adalah dosen di Amerika. Masih banyak contoh lain seperti artikel pseudoscience, cocoklogi, dan sebagainya. Dan yang saya lihat, kebanyakan reaksi pembaca artikel semacam itu, 70% adalah sebagai berikut:
- “Tuh kan agama saya yang paling benar dan hebat!”
- “Mana agama/Tuhan kamu? Gak punya bukti begini kan?”
- (*mengucapkan puja-puji kepada Tuhan mereka*)
- (*menjelek-jelekkan Tuhan agama lain*)
Orang-orang naif ini tanpa meragukan kebenarannya, malah langsung menyebarkan artikel tersebut ke orang lain. Disini Inferiority Complex sudah mencapai taraf berkelompok, dimana orang-orang berusaha bersama untuk memamerkan “merek”-nya secara berlebihan/dengan berbohong demi mendapat apresiasi orang lain. Lho, kata siapa niatnya mencari apresiasi? Bisa saja mereka memang berniat baik, untuk mengajak yang lain untuk ke surga? Apa salah kalau mereka bangga atas agamanya dan mengajak orang lain ke agamanya supaya sama-sama masuk surga? Nah, inilah yang penting. Saya hanya memaparkan fakta yang ada di lapangan, dimana banyak sekali penganut agama yang cenderung memiliki Inferiority Complex. Tidak masalah jika anda bangga pada kepercayaan anda lalu menyebarkannya. Entah untuk mencari apresiasi atau anda memang berniat baik, yang tahu cuma anda sendiri. Tapi apakah pantas jika seseorang menyiarkan agama berdasarkan kebohongan/fakta yang dilebih-lebihkan dari yang sebenarnya? Apakah untuk beriman yang “gratis” saja anda harus rugi dengan berbohong? Apa anda tidak berpikir bahwa anda justru sedang menurunkan “nilai jual” agama anda di mata orang lain? Jika anda seorang pemercaya, tentu harusnya anda tahu bahwa tidak ada kepercayaan yang mengajarkan untuk berbohong. Nothing good comes from lying. Pahamilah, bahwa bangga pada sesuatu bukan gejala Inferiority Complex. Gejala Inferiority Complex adalah anda berbohong atau menmbanggakan suatu hal secara berlebihan demi apresiasi. Jika anda bangga pada kepercayaan anda dan menyebarkannya dengan niat baik, good news: anda tidak memiliki Inferiority Complex. Memang, saya rasa wajar saja jika Inferiority Complex ini mewabah secara luas di masyarakat, karena belakangan ini sains sedang berkembang pesat. Jujur saja, fakta-fakta ilmiah yang muncul sejauh ini memang nyatanya kebanyakan hanya mendukung pihak non-religius. Ini merupakan prestasi konkrit yang membuat para penganut agama jadi galau luar biasa. Jadi wajar sekali jika seorang penganut agama pindah ke pihak non-agama atau mencoba untuk naik ke “level” yang sama dengan pihak non-agama, dengan fitur yang sama yaitu sains. Tapi toh tidak harus dengan cara berbohong/membelokkan fakta, kan? Kalau bicara secara pribadi, saya tidak pernah mengkait-kaitkan sains dengan agama. Menurut saya, jika Tuhan yang Maha Perkasa memang ada, tentu Tuhan tidak akan “bekerja” atau tidak akan “mematuhi” hukum alam yang sama dengan kita. Kalau Tuhan memang ada, maka nalar kita seharusnya tidak akan sampai untuk memahami “dimensi”-Nya. Jelas dong, misalkan anda jadi Tuhan yang Maha Bisa, apakah anda mau dikuasai oleh hukum alam yang menguasai ciptaan anda? Bukannya itu malah mereduksi sifat “Maha Bisa” anda? Dengan artikel ini, saya harap saya bisa mengajak pembaca sekalian untuk tetap bangga & setia pada apa yang anda percayai, tapi jangan sampai jadi bodoh. “Konsumen” yang pintar selalu mengecek kebenaran “produk”-nya sebelum mempromosikannya ke orang lain. Jika kepercayaan lain punya “fitur” yang tidak dimiliki kepercayaan anda, tidak perlu minder. Pada dasarnya, semua objek punya fitur istimewanya masing-masing. Mau tetap berpegang pada kepercayaan anda atau mau pindah, merupakan pilihan anda. Beda dengan HP, kepercayaan masih bisa anda miliki dengan gratis, sampai kapanpun. Masih banyak orang cerdas yang bisa menyebarkan kepercayaannya tanpa paksaan, tanpa menjelek-jelekkan penganut kepercayaan lain, tanpa harus berbohong/membelokkan fakta. Mereka inilah yang harusnya dicontoh. Inti dari tulisan ini sangat simpel sekali: kepercayaan bukan ajang pamer/kompetisi. Anda Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, Shinto, Ateis, Agnostik atau apapun, anda bebas mempromosikan “merek” anda sebaik mungkin. Pesan saya:
- Jangan sekali-kali mempromosikan kepercayaan anda dengan niat mencari apresiasi atau dengan niat menjatuhkan kepercayaan lain. Sekali lagi, kepercayaan itu gratis. Apa yang anda dapat sih dengan memamerkan barang gratisan?
- Promosikanlah kepercayaan anda tanpa kebohongan dan tanpa paksaan. Jika “calon konsumen” lain memutuskan untuk tidak memilih “merek” anda, toh itu pilihan mereka kan?
Toleransi dalam beriman yang sebenarnya adalah membiarkan orang lain untuk memutuskan, “merek” apa yang akan mereka gunakan, tanpa harus mengurangi kepercayaan/ibadah anda dan tanpa harus menurunkan “nilai jual” kepercayaan lain. Demikian dan terimakasih. Kritik dan saran sangat diterima: Twitter: @andiihsandi Email: andiihsandi@gmail.com Blog pribadi: Jurnal Dodol: Catatan Pelajar Ingusan di Negeri Orang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H