[caption id="attachment_145119" align="alignright" width="344" caption="uang malu"][/caption] Banyak bicara, salah satu syarat menjadi politisi.Apakah banyak bicara yang saya maksud hanyalah pemanis di bibir saja, biarlah pembaca memaknainya. Diam adalah emas, diam berarti tak dapat pemilih bagi penggiat politik. Politisi perlu bujuk rayu, dan janji meyenangkan. Semoga apa yang saya catatkan, bukan sekadar asal bicara.
Ditemani sajian kopi tanpa penganan, saya lebih menjadi pendengarpembicaraan seorang kawan yang ketika pagi di jam kantor itu bertandang ke tempat kerja saya.
Sebenarnya, tak tepatlah menjadikan kantor dijadikan mirip obrolan warung kopi. Karena kepincut untuk tahu lebih dalam, obrolan ngolor ngidul itu saya jadikan referensi buat tulisan nyerocos ini. Siapa tahu berguna.
Kawan ngobrol saya adalah pengurus teras salah satu Parpol tingkat Kabupaten. Sepanjang pembicaraan, banyaklah Ia mengeluhkan wakil rakyat yang berasal dari partainya. Menurutnya, tidak ada “konstribusi” berarti anggota DPRD itu ke partainya. Dari nada bicaranya yang kecewa, hamper saja dia berkata “Sialan.....!“
Konstribusi apa yang dimaksud? umum kita ketahui, bahwa memang anggota legislative yang duduk di kursi wakil rakyat dibebani semacam “setoran” ke partainya, tentu dengan nilai yang telah mereka sepakati. Setoran itu sumbernya dari mana? kita tahulah darimana dan sejumlah berapa pendapatan anggota dewan. Ada setoran yang diregulasikan tertulis, ada pula yang tidak. Tergantung jurus masing-masing Parpol.
Ingatlah saya dengan kasus M. Nasaruddin yang belakangan ini perlahan terkubur. Nyanyiannya banyak menyebut teman partainya. Dalam benak publik pasti tahu, Nasaruddin korup karena sejumlah uang yang disetorkan ke partai atau pun koleganya di partai. Simpulan sementara, setoran itu penyebab korupsi. Kolusi dan nepotisme sudah pasti.
“Tunggu dulu, tak semuanya setoran penyebab korupsi” kata kawan saya, saat saya mendebatnya. Alasannya memang logis, bahwa karena Partai lah maka seorang anggota dewan duduk di legislatif. Wajar dong, ia menyetor uang untuk pengembangan partai. Betul juga, anggota dewan kan uangnya tentu lebih banyak dari anggota parpol yang tak lolos menikmati kursi.
Tentang bagaimana bentuk pengembangan partai yang dimaksud kawan saya itu, saya tak mau banyak tanya. Anda pun mungkin tahu, geliat partai baru akan muncul saat Pemilu atau Pemilukada menjelang. Setahu saya, tugas partai dalam undang-undang itu banyak. Salah satu diantaranya yang paling penting adalah melakukan Pendidikan Politik kepada masyarakat. Tentang tugas Parpol, saya tak mau menggurui kawan bincang saya, saya sudah tebak (mungkin) dia kurang memahami.
[caption id="attachment_145120" align="aligncenter" width="630" caption="x"][/caption]
Miriplah ketika Johar Arifin terpilih jadi ketua PSSI. Gossipnya, beliau menjanjikan satu milyar uang untuk setiap Pengurus Provinsi yang memilihnya. Karena janjinya tak dipenuhi, PSSI saat ini kembali kisruh. PSSI sekarang sama menjengahkankan dengan PSSI kemarin. PSSI mirip Parpol yang sarat konflik kepentingan dan (mungkin) permainan uang.
Alasannya sih pembinaan, jikalau itu adalah pembinaan maka bagi saya setiap PSSI provinsi memilih atau tidak memilih sang calon harus dong mendapatkannya. Akh, ada-ada saja, Bola dan Parpol memang beda-beda tipis di republik ini, seperti kata pepatah, habis manis sepak bola. Wah, Kok lari ke Bola!? mari kita kembali ke perbincangan kawan saya itu.
Karena calonnya di DPRD tak menyetor seperti yang diharapkan, maka perbincangan itu focus tentang strategi bagaimana dia akan melakukan pergantian antar waktu. Saya ketika itu sedikit menggurui, bahwa PAW saat ini tak hanya asal copot, ada aturan ketat yang tak boleh menyia-nyiakan suara rakyat yang memilihnya. Kalaupun berhasil dicopot Si ter PAW bisa mengajukan gugatan.
Namanya saja politisi, celah kecil pun bisa dilalui. Mudah saja,anggota dewan yang dimaksud dianggap tak loyal ke partainya. Alasan tak loyal, walau standar mengukurnya tak jelas akan dijadikan alas an untuk menjungkalkan anggota dewan yang kurang setoran itu. Selanjutnya, terpilihlah nomor urut di bawahnya dengan jumlah suara yang minim waktu Pileg kemarin.
Kalau nomor urut di bawahnya yang ternyata disetting menggantikan, maka cukup menjadikan nomor urut atas dijadikan tidak aktif di partai. Siapa yang akan aktif, kalau partainya sendiri baru berkegiatan menjelang Pemilu atau Pemilukada. Lagian mantan Caleg bersangkutan sudah jengah karena memendam kecewa saat tahu tak terpilih.
Dengar-dengar, Rancangan Undang Undang Pemilu akan mengembalikan suara terbanyak menjadi nomor urut. Alasannya, banyak loyalitas yang bekerja sebagai pengurus partai malah tak terpilih. Mereka dikalahkan oleh calon yang banyak uangnya. Setelah terpilih, calon yang banyak uang itu malah focus mencari uang untuk menggantikan bea kampanye. Wah!
Lalu bagaimana dengan suara rakyat? apakah dengan mudahnya diabaikan. Walau mereka juga memilih karena uang? Bagi saya suara terbanyak tetap lebih demokratis. Kalau Partai tak mau kecolongan, selektiflah memilih calon, jangan sekadar mencari orang baru yang popular dan banyak uang. Bisa jadi lembaga legislative kita dipenuhi para juragan, artis, tetua adatdan tuan tanah.
Akan lebih parah lagi kedengkian pengurus parpol yang tak terpilih jikalau setoran yang terpilih tak bisa memenuhi kantong. Akankah negeri ini dipenuhi transaksi kepentingan yang dibayar dengan uang? Bagi saya inilah sebab utama sulitnya korupsi diberantas, karena proses politik kita sarat dengan setoran tak resmi.
Pada situasi ini, saya menjadi sepakat dengan Dahlan Iskan saat sesi wawancara dengan salah satu tivi swasta yang saya lupa kapan dan tivi apa yang menyiarkannya. Menteri BUMN hasil reshuffle ini mengatakan, ketika pemerintah dituntut politisi untuk desentralisasi, justru Parpol sendiri sangat terpusat. Demikian kira-kira kata Dahlan Iskan yang tertangkap kuping seksi saya kala itu.
Betul juga, calon gebernur, bupati, walikota harus mendapat persetujuan partainya di tingkat pusat. Bahkan pusat bisa mem veto calon di daerah. Ketika intervensi itu bisa dilakukan, maka proses terpilihnya calon juga sarat dengan transaksi kepentingan yang kita tahu bayarannya seperti apa.
Ketika para politisi di senayan menggugat mega skandal Century, wisma atlet, Perpajakan dan yang lainnya, maka proses di parpol sendiri sarat dengan benih korupsi, semisal setoran tadi. Bukan saja setoran dari gaji, tetapi pula dari bagi hasil proyek seperti misalnya yang terjadi pada diri Nasaruddin. Proses terpilihnya calon ketua di Parpol, juga umum kita tahu ada suap berseliweran di sana. Siapakah yang teriak apa?
Bantaeng, 28 November 2011
Sumber gambar : sentraldemokrasi.com, introidegumilang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H