Mohon tunggu...
Andi Harianto
Andi Harianto Mohon Tunggu... Freelancer - Kesederhanaan adalah kekuatan

Tinggal di Kota Kecil Bantaeng, 120 Kilometer, arah Selatan Kota Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sebotol Madu dan Telur Curian

28 April 2010   02:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:32 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kampung ini telah banyak berubah setelah sekitar sepuluh tahun berlalu. Jalan yang dulu kutempuh berjalan kaki atau naik kuda saat pulang kampung sejauh enam belas kilometer, kini sudah agak layak. Jalan yang dulunya berlumpur di musim hujan serta berlubang, berdebu dan berbatu curam di musim kemarau, kini sudah nampak tegar membentang ,karena konstruksi pengerasan dan sebagiannnya sudah beraspal kasar. Kategori layak ini, tentu menurut ukuran kampungku.

Walau berliku, menanjak dan bebatuan masih sedikit mengganggu, setidaknya motor ataupun truk sudah bisa mengangkut kemiri para pekebun untuk di jual di kota. Para kuda sudah istirahat, bahkan ada yang sudah dipecat sebagai pengangkut barang dan juga binatang transportasi yang melecetkan tulang pantat itu. Mobil kuda berkaki empat, sudah tak lagi mampu tersaingi oleh kuda-kuda penganggur itu. banyak diantara mereka tewas disembelih, untuk hidangan pesta walimah. Naas betul, nasib kuda-kuda bermulut seksi itu.

[caption id="attachment_128320" align="aligncenter" width="500" caption="Indah panorama alam kampungku. Jalan berliku, menanjak dan berbatu, sepanjang jalan diapit pegunungan Bontocani yang kokoh. (Foto Mudik: Andi Harianto)"][/caption]

Di rumah panggung ini, pagi terasa sejuk. Udara dingin, khas lembah kampungku tak menggangguku. Aku sudah terbiasa. Aku lahir disini, 31 tahun yang lalu, bermain gasing, berkelahi, menjerat burung puyuh, memancing ikan lele dan mencuri telur itik di sawah. Duh, masa kecil yang indah, ceriah, penuh petualang sekaligus belajar sedikit tentang nikmatnya telur itik hasil kejahatan terorganisir para bocah.

Teringat aku dengan seorang kawan kecil dulu. Namanya Olleng, posturnya kecil, berwajah tirus dan dialah yang bangga disebut prajurit si muka buruk. Obsesinya adalah menjadi tentara. Segala hal yang berbau militer sangat ia suka. Membuat senjata dari bambu, mobil perang pelepah pisang, pesawat terbang dari sobekan kertas buku pelajaran, adalah keahliannya.

Mungkin karena obesesi tentaranya itu, setiap hari ia membina raga nya, mengangkat batu di kedua tangannya, biar ototnya mengeras katanya. Halah…., kini aku baru sadar, sekuat apapun dia olah raga, sebesar apapun tendon tangannya dan se-ahli Habibie pun dia membuat pesawat, badannya yang kecil, tubuhnya yang pendek, tak membuat bakalan dia jadi tentara. He, Obsesi memang kadang tidak memperhatikan fisik. Akhirnya, jadilah sekarang Ia petani. Petani yang bersahaja, tidak kaya tetapi keluarganya begitu harmonis, memiliki dua anak dan berapa ekor sapi.

Dalam ukuran Olleng sahabatku, saya dia anggap sangat beruntung. Bisa ber sekolah di kota, mengecap bangku kuliah dan kini digaji oleh negara. Yah,… ukuran masyarakat yang umum menurutku. Para petani menganggap dirinya rendah, padahal dialah yang memberi makan orang kota, dan mungkin para petani lah yang membuat presiden menikmati nasi hangat di istananya. Kata “mungkin”, aku bahasakan karena bisa jadi para orang kaya, pejabat eselon tinggi, menteri atau bahkan mungkin presiden, bisa jadi memakan beras impor dari Thailand, yang tentu kualitasnya lebih bagus karena menteri pertaniannya mumpuni.

Olleng tak berharap kaya. Karena dia tahu, bahwa petani Indonesia yang di tanahnya, tongkat saja jadi tanaman dan lautannya berkolam susu, tetap saja harus membeli pupuk yang mahal. Sabang hari, Olleng melonjak girang. Di radio dia dengar beras naik harga, juga cabe keriting. Bahagianya bukan main, ehm…tak lama kemudian pupuk pun,juga naik banding. Mau memakai pupuk organik, tanah sudah terbiasa dengan pupuk dan racun pestisida. Mau apalagi, petani memang dilarang untuk kaya. Petani…, yah petanilah dikau. Mengapa negeri ini, justru menjadikan mata pencaharian petani sebagai NASIB.

Petani mungkin adalah nasib yang buruk, tetapi Olleng tetap saja bisa hidup. Pupuk melonjak berapapun harganya, Olleng tidak akan mati karena kelaparan. Sayur hijau, cabe, seledri, sere’, lengkuas tertanam subur di halaman rumahnya, memetiknya bisa sewaktu istrinya akan memasak. Mau ikan, mudahlah. Lele Dumbo dan Ikan Emas, yang tiga bulan lalu kuambilkan bibitnya dari kota, kini akan panen. Kalaupun tidak panen, terasi dan ikan kering yang harganya bisa dijangkau, akan terasa nikmat dengan nasi hangat di musim dingin ini. Tidak ada kolesterol berbahaya, yang kini banyak orang kota merenggang nyawa karena makanan enak berlemak. Malahan ada yang tak lagi mampu memakan nasi karena penyakit diabetes.

[caption id="attachment_128321" align="aligncenter" width="500" caption="Olleng Sahabatku, menatap nanar tebing menjulang, dari teras rumah panggung sederhana kami. Engkau petani, sangatlah mulia. (Foto: Andi Harianto)"][/caption]

Mari kita tinggalkan Olleng, teman pencuri telurku yang bernasib ‘petani’ itu. Petani tidak menarik untuk dikisahkan. Sudding namanya, Kami gelari dia prajurit jagoan dari korps ‘Pasukan Reaksi Cepat”. Ini sebutan Olleng untuk komplotan kami, para pencuri telur. Sudding adalah prajurit yang paling lihai mencuri telur. Pintar bersembunyi di pematang sawah, dan gerak tangannya sangat cepat memungut telur-telur Haji Sangkala yang juga adalah ayahnya sendiri. Aneh dan hebat menurutku, karena salah satu maling telur yang kami rekrut dalam komplotan kami, ternyata orang dalam. Musuh dalam selimut.

Yah, begitulah kisah bocahku saat itu. Sudding mungkin menganggap bahwa mencuri telur itu adalah hobby. Makan telur sembunyi-sembunyiyang dimasak dari kaleng cat lebih nikmat sambil ketawa-ketiwi, daripada harus menikmatinya di rumah. Mungkin pula Haji Sangkala, ayahnya yang pedagang Kemiri itu agak kikir. Lebih senang menjual telur daripada menyantapnya bersama Sudding anaknya di meja makan. Tidak tahulah aku, yang aku tahu kentut Sudding lah yang berbau telur paling busuk diantara kami. Memang tidak bersuara, hanya mendesir, tetapi aromanya seolah kiriman dari neraka.

Semakin kami gelari prajurit jagoan, pula ia semakin gila. Saking gilanya, ia mencuri kesiangan. Ketika itu pagi sudah menjelang dan kami para maling, terlambat bangun untuk merancang strategi nyolong telur. Biasanya kami mencuri di subuh hari habis shalat di masjid. Jam enam pagi, di hari minggu itu, Sudding yang merasa jagoan merayap bak tentara di pematang sawah, dan memulai ber-aksi memungut telur-telur itu.

Apes, ayahnya tiba-tiba datang. Cepat dia membenamkan dirinya di lumpur sawah, tetapi ayahnya keburu melihat anaknya, yang dia sangka terjatuh. Ayahnya berlari untuk menolongnya, tak lagi ia peduli sarung kesayangan shalat subuhnya harus penuh lumpur. Mungkin Ia berpikir anaknya pingsan karena tidak bergerak. Sambil berteriak-teriak dia mengangkat anaknya dari lumpur. Saya dan Olleng yang bersembunyi di semak-semak berdebar-debar. Saya bingung, teriakan Haji sangkala itu adalah teriakan marah, atau teriakan sejenis apa. Soalnya mukanya nampak sangat khawatir.

Akhirnya Sudding berhasil “ditolong” ayahnya. Sudding yang juga kelihatan bingung itu, membuatku tak kuasa menahan tawa, walau itu cekikikan tertahan. Olleng yang tidak memahami bahwa itu adalah lucu tetap saja ia keheranan. Sudding, saya dengar diumpatin sama Ayahnya untuk hati-hati kalau berjalan di pematang.

Setelah kejadian itu, kami kembali berkumpul dengan Sudding, tanpa telur tentunya. Ketawa kami meledak membahana setelah mendengar ceritanya. Ayahnya ternyata betul, mengira anaknya terjatuh dan pingsan, bahkan Ayahnya menasehati anak baik itu, agar kalau mau membantunya memungut telur jangan terlalu pagi dan jangan pergi sendiri. Wah….wah…..itulah untungnya kalau mencuri milik sendiri.

[caption id="attachment_128322" align="aligncenter" width="500" caption="Nun jauh di lembah bawah sana, sawah H. Sudding membentang. tempat kami para bocah, nyolong telur itik. (Foto: Andi Harianto) "][/caption]

Sudding, kini sudah jadi pedagang yang sukses. Iapun sudah menyandang haji di depan namanya. Dia adalah pedagang pengumpul hasil perkebunan. Komoditas kemiri, kakao, cabe dan bawang adalah dagangannya. Ia kaya dalam ukuran kampungku, karena itu dia diangkat sebagai bendahara Masjid kampung kami. Sekolahnya hanya tamat SMP, tetapi nasib kaya karena warisan otak dagang ayahnya membuatnya cukup berada. Ia pun terkenal dermawan.

Puang Olleng, Haji Sudding dan saya telah memilih jalan hidup kami masing-masing. Pilihan hidup itu bukanlah karena kami memilihnya, tetapi kondisi yang membuat kami memilih. Ini mungkin akan ditentang oleh pakar motivasi yang mengatakan bahwa tujuan (goal), mimpi (dream), dan visi (vision) itu adalah penentu sukses kita, dan itu harus dipupuk dari kecil. Aku menentangnya.

Puang Olleng dan Haji Sudding tak pernah bercita-cita jadi petani ataupun pedagang. Olleng terobsesi jadi militer dan Sudding ingin jadi polisi sewaktu kecil. Saya, yang walaupun kini bekerja, tetapi juga bukan karena cita-citaku waktu kecil. Dulu saya ingin jadi dokter. Cita-citaku itu bertahan sampai SMP. Di SMA, saya merasa bahwa pelajaran persamaan matematika, senyawa kimia, rangkaian DNA di Biologi itu sangat sulit. Aku menggugurkan cita-citaku jadi dokter, karean mata pelajaran itulah yang dibutuhkan dokter. Saya pun menurunkan standarku ingin jadi guru. Tetapi bukan guru Matematika, Fisika atau Biologi, tetapi guru bidang studi Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa dan Pelajaran Moral Pancasila yang sangat aku senangi.

Saat mendaftar kuliah, aku terpaksa memilih Fakultas Kesehatan Masyarakat, karena arahan guru ku. Cita-cita menjadi guru bubar, karena seharusnya saya mendaftar di Institut Keguruan dan Ilmu Kependidikan (IKIP), tapi justru aku masuk di Universitas Negeri Hasanuddin Makassar garena gengsinya. Pingin jadi dokter pun, pasti tidak jadi. Walau Ilmu Kesehatan dekat-dekat ilmunya dengan dokter, tetapi tetaplah berbeda. Satu Medis dan satunya lagi Non Medis. Akhirnya apa yang terjadi, aku drop out setelah tujuh tahun di bangku kuliah. Banyak alasanlah penyebabnya, tetapi tak aku mau ungkap di sini. Bilang saja BODOH, itu alas an yang paling masuk akal.

Menikah, adalah pekerjaan pertamaku. Saya sebut pekerjaan, karena hanya aktifitas yang melingkupi pernikahan yang aku kerjakan. Resmilah saya jadi pengangguran tak kentara, tetapi saya yakin tidak di daftar sebagai pengangggur oleh petugas statistic karena di KTP ku tercantum WIRASWASTA. Walau aku penggiat LSM, saya mengganggapnya bukan sebagai mata pencaharian, tak lebih sebagai wahana membuang cibiran sebagai penganggur.

Kini, kulalui semuanya seperti air yang mengalir. Cita-cita adalah penting, visi apalagi. Namun yang lebih penting adalah merubah cara berpikir kita. Lebih baik menjadi ‘Masyarakat Sampah’, yang dulu aku geluti di dunia NGO, membina para pemulung, daripada harus menjadi ‘Sampah Masyarakat’. Uang adalah ‘Pelayan’ dari kebutuhan-kebutuhan kita, bukan justru harus menjadi ‘pelayan’ yang menghamba karena ingin kebutuhannya terpenuhi. Uang itu gampang, tinggal dicari. Caranya ? yah, dicarilah….. bagaimanapun caranya, yang pasti itu tidak karena korup, bukan karena menjilat, juga bukan karena Markus.

[caption id="attachment_128334" align="alignright" width="225" caption="Pose seolah tampan, sok jumawa, dan berusaha nampak gagah. Inilah potretku kini. Halah...Ente, hanyalah mantan pencuri telur itik. (Foto: Andi Harianto)"][/caption]

Saya, yang adalah Mantan Korps Pencuri Telur Itik ini, adalah pekerja yang di upah oleh Negara, dibiayai Oleh Ibu Penjual Madu dan Ayah seorang Kepala Desa. Digaji oleh para petani seperti Puang Olleng dan dari pajak para pedagang seperti Haji Sudding. Aku bukan PNS, saya hanyalah pekerja AdHock lima tahunan pengawal demokrasi. apakah itu…….?. Kampungku, jauh dari kota tempatku kini berada, di Kota kecil Bantaeng.

Adalah, Kampung Lita, Desa MattirowaliE, Kecamatan Bontocani, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Kampung yang terpecil, berhawa dingin dan terletak di dataran paling tinggi Kabupaten Bone. Kesan tulisan dihiasi ornament bahasa yang sedikit Hiperbol, namun tak lepas dari subtasi kenyataan yang benar pernah terjadi.

Bontocani, adalah rangkaian kata berbahasa Bugis yang berarti Gunung Madu (Bonto: Gunung & Cani: Madu). Kampung kami adalah penghasil madu asli berkualitas tinggi, belum dikelola secara professional dan masih dipasarkan secara tradisional. Berminat ? AKU SANGAT BAHAGIA DAN INGIN MEMULIAKAN SIAPAPUN SAHABAT YANG BERKENAN DATANG KE KAMPUNGKU. Madu akan kupersembahkan gratis sebagai ole-ole, karena aku bukan pedagang juga bukan petani.

Andi Harianto

Bantaeng, 21 April 2010

Kisah Sebelumnya: Aku Tak Malu, Ibuku Penjual Madu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun