“Insentif Bapak, seharusnya jauh dari apa yang dianggarkan, tetapi karena ini bahagian dari ibadah sosial kita, biarlah Tuhan membayar sisanya nya di kemudian hari nanti. Sebuah bayaran yang tak akan sebanding dengan dunia dan segalah isinya".
(Catatan Sang Komisioner Bagian 1#)
[caption id="attachment_271979" align="aligncenter" width="500" caption="Berjibaku dengan lembaran isian formulir"][/caption]
Pagi itu, saya membawakan bimbingan teknis pemungutan dan perhitungan suara di Kecamatan Gantarang Keke, Kabupaten Bantaeng. Para KPPS, penyelenggara pemilu tingkat TPS nampak serius mengerjakan format latihan isian formulir C1. Saya tahu mereka bingung cara mengisi format, soalnya pemilu kali ini adalah pemilu yang lumayan rumit. Berkali-kali aku menjelaskan, mereka belum paham juga. Saya mulai gusar, dan siap-siap mencerca............., tetapi kemudian saya tersadar dan mulai membatin;
Haruskah aku gusar kepada mereka yang hanya digaji oleh negara Rp. 225.000 pada hari pemungutan suara, haruskah aku marah atas ketidak tahuan mereka, sementara SDM tentu berjarak dan haruskah aku nampak pongah kepada mereka sementara pekerjaannya, tuntutan pidananya, kesejahteraannya, dan bahkan resiko yang bakal mereka hadapi sangat tidak sebanding dengan insentif yang mereka dapatkan
Aku tak boleh gusar. Tidaklah aku memiliki hak untuk marah kepada mereka. Tenaga, pikiran dan beban psikis pada hari 'H' pemilu semuanya terbebani kepada mereka. Mereka pahlawan demokrasi, KPPS lah yang akan menentukan pemilu ini berkualitas, merekalah yang akan mendudukkan anggota dewan kita yang terhormat. Merekalah yang secara tidak langsung melantik presiden yang mulia. Singkatnya, KPPS adalah penyelenggara bagi terpilihnya para pemimpin bangsa ini, yang tentu dan mungkin pemimpin yang terpilih nanti, tak akan pernah mengenal mereka, dan mungkin juga tak akan peduli terhadap apa yang mereka telah kerjakan dan rasakan pada hari H Pemilu.
Salah seorang, diantara mereka bertanya, " Pak, saya lihat di anggaran, dana untuk makan kami hanya buat makan siang saja, sementara perhitungan suara sudah dipastikan sampai larut malam. dan sangat mungkin sampai dini hari. adakah solusi bagi kami ?". Aku tercekak, tersentak dan tak mampu menjawab dengan segera. Betul kata mereka, ada sesuatu yang kurang manusiawi. Aku membatin, mengumpulkan energi kearifan untuk menjawab pertanyaan yang tidak aku harapkan ini. Apa daya, bukan saya yang menentukan anggaran........, aku mencoba sekenanya menjawab:
"Saya tahu Pak, pekerjaan dan resiko berat yang akan Bapak hadapi tidaklah sebanding dengan imbalan yang akan Bapak dapatkan”. Sebenarnya jawabku tidaklah menyentuh inti pertanyaannya, karena jujur aku sendiri bingung menjawabnya. Untuk tidak lagi mereka memburu jawabanku, saya kemudian menambahkan,bahwa perluorang tahu, kitalah yang menyelenggarakan pemilu yang hanya lima tahun sekali ini, kitalah yang akan mendudukkan wakil rakyat, dan kitalah yang akan menentukan siapa presiden lima tahun ke depan. Hanya karena Bapak dan Ibu sekalian, maka pemimpin bangsa ini hadir. Pemimpin yang arif dan bijaksana, tentu akan membawa kesejahteraan buat rakyat. kitalah yang mencatat kan suara mereka dan menetapkan pemenang. Jawabku menyemangati.
Terlihat diantara wajah-wajah mereka diliputi semangat. Petugas TPS tidak hanya dari kalangan anak muda, tetapi juga diantaranya banyak yang sudah berumur. Mungkin karena pengalamannya, maka mereka tetap dipercaya menjalankan tugas mulia itu. Sebelum perekrutan KPPS, saya teringat dengan salah seorang tetangga yang sudah cukup berumur dan tak layak menurutku jadi KPPS, datang ke rumah untuk dilibatkan sebagai penyelenggara. “Pak, saya berharap direkrut jadi KPPS, saya butuh pekerjaan buat sedikit menambah uang sekolah anak-anak” kata tetangga baik ku itu. Saya tidak menerima atau menolaknya, karena memang bukan KPU yang menentukan KPPS, tapi rekomendasi dari Kepala Desa.
Ingat tetanggaku itu, sayapun kembali memberi spirit moral kepada mereka, saya menyatakan, Kalau KPPS adalah sebuah 'pekerjaan', maka imbalan yang Bapak akan dapatkan tidaklah cukup mengepulkan asap dapur mereka. Jangan anggap ini sebagai 'pekerjaaan', tetapi jauh dari itu, tugas ini adalah ibadah sosial. dan lebih penting lagi adalah pahala jari'ah. “Insentif Bapak, seharusnya jauh dari apa yang dianggarkan, tetapi karena ini bahagian dari ibadah sosial kita, biarlah Tuhan membayar sisanya nya di kemudian hari nanti. Sebuah bayaran yang tak akan sebanding dengan dunia dan segalah isinya". jawabku, menambahkan. Aku mencoba menyentuh nurani mereka, bahwa pekerjaan tidak hanya dinilai manusia, tetapi lebih dari itu, Allah SWT. aku melihat seorang ibu, yang juga adalah ketua KPPS disebuah desa terpencil,mengusap titik air yang berlinang dipelupuk matanya. Saya tidak tahu, apakah mereka terharu dengan pekerjaan mulia mereka, ataukah karena mereka mulai berpikir, hanya sedemikianlah negaraku mampu membayar tugasku,tak apalah – Aku akan bekerja buat negaraku semoga ada balasan yang jauh lebih mulia dari itu.
Semua terdiam, dan aku pun tak tahu apakah jawabanku tadi sesuai sepadan dengan pertanyaan nya. Bagi masyarakat Bantaeng yang secara umum berprilaku santun, bertanya tentang gaji memang hal yang tabu. Mereka malu mempertanyakannya, tetapi aku tahu ada sesuatu yang miris dihati dan benak mereka, sehingga mereka berani menyatakannya . Setelah menjawab pertanyaan Bapak tadi, aku lanjutkan penjelasanku, dan kulihat mereka demikian bersemangat untuk mengetahui alur proses di hari 'H', aku gembira dan kamipun mulai melupakan semua yang berbau rupiah.
Petugas TPS bagiku adalah pahlawan demokrasi yang tak perlu diberi tanda jasa. Mereka tak lagi membutuhkannya, kecuali perhatian yang lebih baik untuk pemilu selanjutnya. Tulisan ini, mari kita anggap bukan penyelenggara pemilu yang menuliskannya, tetapi sosok manusia biasa yang realistis dengan keadaan. Aku hanya ingin mereka dipedulikan, ingin beban dipundak mereka diringankan dan tentu aku sangat marah jikalau mereka dianggap tak becus mengurus pemilu ini.
Jujur, Santun dan Mendidik adalah prinsip dan karakter kita sebagai penyelenggara pemilu. Ciptakanlah TPS yang sejuk buat para pemilih, layani para calon legislator kita dengan lebih baik, berilah kebanggaan buat bangsa tercinta ini. Buktikan, bahwa 'pengabdian' lebih baik daripada 'pekerjaan', keikhlasan lebih bersahaja daripada pamrih. Peluhmu adalah keringat pahlawan sejati yang tak pernah mau lelah sebelum semua pekerjaan tuntas. Ingat, jangan tergoda dengan iming kesejahteraan dan ajakan untuk curang. Pidana di dunia dan pedihnya siksa hari pembalasan adalah kerugian yang sangat besar, jangan sia-siakan !. Sukses, bahagia dan sejehtera selalu buatmu sahabat..................
Bantaeng, 23 Maret 2009
[caption id="attachment_271981" align="aligncenter" width="500" caption="Pesan KPPS di TPS sederhana mereka"][/caption] Untuk Petugas Pemungutan Suara yang sakit dan meninggal dunia, Baca Disini, Di Sini, Di Sini dan Di Sini juga Di Sini Foto-Foto: Dokumentasi Pribadi Andi Harianto
http://kpubantaeng.blogspot.com
---------------
Tulisan ini adalah catatan harian seorang anggota KPU,beberapa hari menjelang hari pemungutan suara Pemilu Legislatif Tahun 2009. Tulisan ini adalah bahagian dari draft Buku: “Catatan Tersisi Sang Komisioner; Pemilu ini hampir saja Membunuhku” yang sementara dalam tahap penyusunan. Penulis adalah editor penerbitan buku ini. Terharap koreksi dari sahabat kompasianer.
----------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H