Mohon tunggu...
Andi Harianto
Andi Harianto Mohon Tunggu... Freelancer - Kesederhanaan adalah kekuatan

Tinggal di Kota Kecil Bantaeng, 120 Kilometer, arah Selatan Kota Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Jenderal M Jusuf Saat Negara Terancam

23 Juli 2011   15:49 Diperbarui: 4 April 2017   17:31 20445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seolah masih seperti tiga puluh tahun lalu. Jalan raya sepanjang Kajuara menuju Watampone masih beraspal sempit. Di kiri kanan jalan, nampak rumah warga berdiri sederhana, tak ada bangunan mencolok dan berkesan mewah. Bahkan, masih kita temui rumah-rumah panggung yang adalah bangunan khas Bugis Makassar. Jalan yang menghubungkan Kabupaten Bone dan Kabupaten Sinjai ini adalah jalan poros propinsi. Saya melaluinya minggu lalu, saat mengantar Ibunda yang sakit menuju tanah kelahiran saya di Kabupaten Bone.

Jalan dan Pesawahan di Sekitar Rumah Kerabat Almarhum Jenderal Jusuf

Menempuh perjalanan yang cukup jauh dari Bantaeng, mengharuskan saya membunuh kebosanan dengan memandang bebungaan, pohon , rumah dan segala bentuk yang tertangkap mata lelah saya sambil menikmati hentakan mobil yang sesekali terperosok di lubang kecil. Sepertinya, memang jalanan butuh perhatian pemerintah propinsi Sulawesi Selatan.

Memasuki perbatasan Kajuara, saya tak melihat tulisan di gerbang perbatasan, seperti yang pernah saya temui di Kota Pare-Pare, Sulsel. “Di Kota ini Lahir Baharuddin Jusuf Habibie, Mantan Presiden Republik Indonesia”, demikian tertulis membanggakan di gerbang kota yang digelari Bandar Madani itu. Siapa tidak bangga, jikalau di tanahnya pernah lahir sosok pemimpin besar yang begitu dicintai.

Sebagai warga Sulsel, saya tak pernah melewatkan tulisan itu setiap kali melalui gerbang kota Pare Pare. Menyusup rasa kagum dan cinta tak terlukiskan pada tokoh Habibie, yang saya yakin pula banyak dicintai warga Indonesia lainnya. Di Kajuara, saya bersedih. Bukan karena tak tertuliskan sesuatu di gerbang yang hanya Ibu Kota kecamatan itu, tetapi teringat salah satu tokoh nasional yang juga pernah lahir di tempat itu.

13114336491246029397
13114336491246029397
Jenderal M. Jusuf; Panglima Para Prajurit

Jenderal M. Jusuf adalah nama yang saya maksud. Mantan Panglima TNI ini salah satu saksi kunci perisitiwa Supersemar bersama dua rekan jenderal nya yang lain, Basuki Rahmat dan Amir Machmud. Selain itu, mantan kepala BPK dan Menteri di jaman Orba ini, juga berada di balik kontroversi penumpasan DI/TII di Sulwesi. Jederal Jusuf sendiri, mantan ajudan Letkol Kahar Muzakkar, yang adalah pimpinan pemberontakan di Sulawesi Selatan ketika itu.

Pada peristiwa Supersemar, banyak rahasia di dalamnya, demikian halnya kontroversi Kahar Muzakkar, apakah betul meninggal atau tidak. Semua tak terungkap, sampai beliau membawa rahasia keselamatan Negara itu ke liang lahat. Dalam pesan sebelum wafatnya, almarhum tak ingin dimakamkan di taman Makan Pahlawan.

Jenderal yang akrab di panggil di kampungnya Panglima Usu’ itu, hanya ingin dibaringkan bersama rakyat kebanyakan di pekuburan Islam Panaikang Makassar. Beliau dimakamkan berdampingan dengan putra satu-satunya yang lebih dahulu meninggal karena kecelakaan. Pemakaman itu, tepat berada di samping taman Makan Pahlawan, tempat koleganya di zaman perjuangan dulu dikuburkan.

Saat beliau meninggal, saya masih kuliah, tepatnya 8 September 2004. Jalan sepanjang Urip Sumoharjo-Perintis Kemerdekaan, macet total.

Mendung tebal di musim kemarau saat itu seolah turut bersedih. Bersama teman-teman, saya berjalan dari kampus Unhas menuju TPU Panaikang. Satu maksud, ingin memberi penghormatan terakhir kepada tokoh, yang dikenal begitu peduli dengan kesejahteraan tentara di barak-barak prajurit. Atmadji Sumarkidjo mengabadikan sosok bersahaja ini dalam bukunya Jenderal M. Jusup Panglima Para Prajurit.

Apa yang saya saksikan ketika itu, bukanlah iring-iringan mobil mewah, tetapi rombongan truk sekampungnya dari Bone yang ingin turut menyatakan dukanya. Jarak antara Kajuara dan Makassar sekitar 200-an kilometer. Karena macet, truk-truk pengangkut gabah itu tak sampai ke tujuan sampai kemudian hujan rintik turun sesaat setelah selesai pemakaman. Banyak orang yang hanya bisa mengintip haru pusaranya dari luar pagar.

Yah, saya kembali mengingatnya saat melewati kampung Jenderal Jusuf ketika itu dan saat para elit negeri ini saling membongkar rahasia. Menebar desas-desus, ghibah bahkan fitnah. Terlalu banyak kebohongan yang telah menebar dan dianggap biasa. Ada pengacara tenar yang bilang, bahwa jikalau tersangka “anu” yang telah buron itu membongkar rahasia, maka keselamatan Negara bisa terancam.

13114348271671419765
13114348271671419765
Saat Bernarsis Sendiri, sambil memotret di sepanjang jalan Kecamatan Kajuara, Bone

M. Jusuf hanya diam, Beliau yang adalah kunci di balik peralihan kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru menyimpan rapat sesuatu yang oleh banyak orang hanya beliau, Soeharto, Amir Macmud dan Basuki Racmat yang tahu. Mereka semua telah meninggal, menyisahkan keberlanjutan negeri ini, yang sekarang di ambang porak-poranda karena semua jadi membingungkan.

Apakah Kahar Muzakkar yang oleh sejarah dimasukkan sebagai pemberontak, tertembak mati saat pengepungansaat itu atau tidak, hanya M. Jusuf kunci rahasianya. Namun yang pasti, pemberontakan berhenti, tanpa banyak darah yang tumpah di bawah kepemimpinannya. M. Jusuf berkonstribusi besar mengutuhkan NKRI yang ketika itu, DII/TII akan menjadikannya sebagai Negara berdaulat sendiri.

Jikalau M. Jusuf masih hidup dan semisal menjadi ketua Mahkamah Konstitusi, saya yakin Beliau tak terlalu mempersoalkan surat palsu MK. Apakah yang harus dipersoalkan ketika surat itu sendiri sudah direvisi dan MK juga sudah menyelesaikan kewajibannya melapor ke Polri. Memang ada persoalan hukum, tetapi tak harus hiruk pikuk dan merembes ke sana kemari. Sepertinya ada yang hendak di sasar, tujuannya begitu politis.

Berkait ledakan surat palsu yang telah memasuki ranah politik ini, saya meyakini tembakannya adalah mempersoalkan Pemilu secara keseluruhan, termasuk Pemilu Presiden. Jikalau Pemilu Legislatif ataupun Presiden yang sudah ditetapkan konstitusi itu dibongkar habis oleh hasil dari Pemilu itu sendiri (DPR), saya pun meyakini Negara dalam keadaan terancam.

Tetapi, jikalau seseorang mengungkap koleganya yang bersama dirinya melakukan korupsi dan terbukti benar, maka itu bukanlah rahasia Negara, tetapi justru borok “elite” Negara yang perlu dibersihkan, yang terancam bukan negaranya, tetapi pemimpinnya. Meletakkan sesuatu sebagai rahasia Negara dan menjadiakannya senyap tanpa desas-desus berliput fitnah, telah diperankan Jendela M. Jusuf sehingga Negara kita berlanjut hingga kini.

1311434623913979484
1311434623913979484
Menara Al Markaz Al Islami di Halaman Masjid yang Begitu luas, saat Ramadhan tahun lalu

Panglima Usu’ telah pergi untuk selamanya. Namanya tak tercatat di gerbang kota, tak berbaring tenang di taman makam pahlawan.Beliau terkenal tak ingin menonjolkan diri. Bahkan turunan raja-raja Bone ini melepas gelar kebangsawanannya.

Almarhum juga tak menjadikan namanya sebagai atribut jalan, tetapi nama anak semata wayangnya yang juga telah meninggal mendahuluinya, tertulis mengkilap di papan nama RS. Jaury. Rumah sakit, yang tidak membeda-bedakan status sosial seseorang.

Namanya juga tercatat sebagai pendiri Masjid terbesar di Indonesia Timur, Al Markas Al Islami. Bersama M. Jusuf Kalla, beliau menggelari masjid kebanggan Sulsel itu, Serambi Madinah. Rumah Sakit dan Masjid yang telah beliau bangun, juga adalah pertanda betapa Ia begitu peduli dengan kepentingan publik.

Tak sadar, telah tiga nama JUSUF saya tuliskan. Baharuddin Jusuf Habibie, M. Jusuf, dan Jusuf Kalla. Ketiganya adalah tokoh terkemuka republik ini.

Syekh Yusuf juga adalah salah satunya, tokoh yang juga pejuang kemerdekaan ini, juga tercatat sebagai pahlawan di Afrika Selatan. Semoga “Jusuf-Jusuf” lainnya, segera lahir, memerankan sosok negarawan utuh, bersih, berwibawa dan begitu dicintai.

Bantaeng, 23 Juli 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun