Bangun pemudi pemuda Indonesia//Tangan bajumu singsingkan untuk negara//Masa yang akan datang kewajibanmu lah//Menjadi tanggunganmu terhadap nusa//Menjadi tanggunganmu terhadap nusa//
[caption id="attachment_75257" align="alignleft" width="300" caption="Kaos Personil Komplen; Kesederhanaan Cinta (By. Daeng Andi)"][/caption] Penggalan lirik lagu ‘Bangun Pemudi Pemuda’ di atas, adalah lagu pembuka di acara memaknai sumpah pemuda, yang aku hadiri dua pekan lalu, di salah satu warung kopi di Bantaeng. Entah mengapa, lagu itu masih saja tersimpan dalam di benak dan hatiku. Telah kuhapalkan salah satu lagu nasional yang diciptakan A. Simanjuntak itu, sejak Sekolah Dasar, namun baru kali itu saya mendengarkannya begitu indah, saya bergetar, tertunduk haru. Tak ada panduan dirigen, yang menggerakkan tangannya ke atas, ke bawah, bersilang. Dentuman marching band pun tak ada, seperti biasa kita dengarkan di hari tujuh belasan, yang hanya ayunan tongkat si cantik mayoret, yang tekadang membuat kita terpana. Lagunya entah hilang kemana. Tak ada makna. Malam itu berbeda. Di Café Baling-baling, lima anak muda dari komunitas seni Pakkappong Tulen (KOMPLEN), menyanyikannya dengan penuh penghayatan. Alat musik seadanya. Hanya gitar tua, gandrang (gendang tradisional), biola, dan garincing. Hanya itu.
Baharuddin Dion, adalah satu satu tokoh di balik komunitas seni ini. Ia menyebut dirinya pemusik pa’kampong (kampungan), tetapi Bagi saya, Ia begitu luar biasa. Di Kabupaten Kecil Bantaeng, yang berada di bawah kaki Gunung Bawakaraeng dan Lompo Battang ini, telah muncul sosol anak muda yang berjiwa bening. “Mencintai dengan sederhana”, demikian ia menyebut dirinya.
Bagi pemusik pop yang lagi beken di tangga musik Indonesia, Dion demikian aku memanggilnya bukanlah apa-apa. Ogah dirinya kalau disandingkan dengan pemusik kolaborasi lainnya,seperti pemusik Trotoar Makassar atau para pemusik di daerah lain semisal pemusik Malioboro Jokja. Apalagi goup Band yang lagi beken di tangga musik Indonesia. Dion hanya anak dari seorang ayah pengrajin batu bata. Dan anak muda di komunitas bimbingannya, juga hanyalah anak biasa dari pinggiran kota Bantaeng. Kampung Bissampole. Mana mampu mereka membeli peralatan musik modern apalagi mengajak produsen musik untuk mencetak lagu-lagu karyanya sendiri.
Komplen hanya pemusik pinggiran tetapi bertalenta luar biasa. Kolaborasi peralatan tradisional dengan modern, berkesan unik. Lagu-lagunya juga memikat, syairnya begitu puitis. Talenta dari hati yang ingin berbagi, memberi yang terbaik buat negeri. Aku Mutiara Bangsa Indonesia, salah satu judul lagu karyanya. Nasionalismeku terbakar, saat mendengarnya. Hanya anak muda kampung, tetapi menghentak hatiku yang bebal ini untuk cinta mati dengan Indonesia. Negeri yang juga dipanggang dengan kesumat dendam politisi, konflik berdarah, pengerukan pajak rakyat oleh pencuri keren: koruptor.
Seperti ketika Barrack Husein Obama perbidato di kampus UI kemarin. Saya menjambak rambutku sendiri. mencaci maki diriku, “saya penghianat!”, kecamku dalam hati. Kenapa Presiden dari negara kapitalis Amerika ini yang membangkitkan semangat nasionalismeku. Mengapa Ia begitu lugas mengupas Bhineka Tunggal Ika dan menyadingkannya dengan symbol negaranya, unity in diversity. Kenapa, Ia mencintai kuliner khas Indonesia, mengucapkan “Assalamu Alaikum” dan berucap lirih “pulang kampung nih…”. Obama menghargai Indonesia.
Demikian Dion dan komunitas komplennya, Ia Membakarku dengan lirik lagunya yang mebahana kan hati ini untuk berteriak. “Aku Cinta Padamu Indonesiaku”.
[caption id="attachment_75266" align="alignright" width="300" caption="Dion; Berdarah Laut Berjiwa Matahari"]
Berdarah Laut Berjiwa Matahari, demikian petikan lagunya yang pernah komunitas ini tampilkan di teater “Sketsa Wajah Negeriku Jangan Menangis”.Komplen, yang lahir tahun 2005 ini pernah mementaskannya di Hotel Clarion Makassar, di hari Pers Nasional. Ketika kutanya apa makna lagunya. Dion tak berpanjang lebar. Ia hanya mengatakan, “ini lagu untuk Indonesia Tercinta”. Itu saja.
Demikian sedehana Ia mencintai negeri ini, seperti buku Jack Trout, “the Power of simplicity”. Kekuatan dari kesederhanaan musik dan kehidupannya nya, telah membuatku kembali mencerca. Kenapa mereka yang di tampuk pimpinan terhormat itu, begitu pongah menglaim ia berbuat untuk negara, tetapi di bawah mejanya ia menerima uang sogok. Mereka Korup, bebal, berhati berjelaga hitam. Hukum dipermainkan, pajak dikemplang, kolusi terjadi dimana-mana. Huh !
Cintakah Ia dengan penderitaan rakyat Wasior di Papua sana yang terlambat mereka ketahui. Apakah cinta namanya dengan korban merapi, ketika bantuan datang bersama spanduk-spanduk parpol yang bertebaran di tenda pengungsian. Apakah peduli katanya, ketika korban tsunami di Mentawai di tanggapi santai “itu resiko orang yang tinggal di pantai…..”. Adapula yang menyumban bencana merapi dengan permainan ular tangga, sambil berucap “klenteng….klenteng……makanan pun datang.”
Komplen hanya komunitas seni. Komunitas yang memadukan musik tradisional dengan modern. Saya tidak mengetahui aliran musiknya, yang pasti lirik lagunya, dentingan halus gitarnya, tepukan menghentak gendang nya telah membuatku kagum. Di Bantaeng sini, ada anak muda yang hanya menonton di tivi dirumahnya yang kumuh, tentang bencana silih berganti, pemimpinnya yang menebar citra, wakil rakyatnya yang bertengkar. Komplen hanya melihatnya, dan Kemudian Ia memaknainya dengan pementasan teater, puisi dan lagu-lagu yang menggugah. Bukan lagu hujatan, tetapi lagu cinta untuk negeri.
Sudi tetap berusaha jujur dan ikhlas//Tak usah banyak bicara trus kerja keras//Hati teguh dan lurus pikir tetap jernih//Bertingkah laku halus hai putra negri//Bertingkah laku halus hai putra negrin// (Lirik Lagu Bangun Pemudi Pemuda, A. Simanjuntak)
Seperti lambangnya. Tiga titik air. Dion memaknainya sebagai kesejukan. Berkreasi bak air mengalir. Kecil, tetapi titik embun di pagi hari selalu terasa mendamaikan hati. Lahirlah karya pertamanya , Tari Lapis Simbol yang memadukan seni tari, dan gerak Teater. Karyanya ini menjadi momentum paling bersejarah baginya. Kata Dion, karya itu tercipta begitu saja, seperti air yang mengalir.
[caption id="attachment_75267" align="alignleft" width="300" caption="Pentas Lagu Komplen "]
Tari prosesi sipakatau (saling menghargai), adalah karyanya yang sampai sekarang menjadi seolah tarian wajib disetiap acara penjemputan tamu resmi Bantaeng, tarian itu dipadukan dengan nyanyian (kelong Turiolo ) ciri khas Bantaeng. Komplen telah memadukan nuansa local dalam karyanya. Mereka hanya ingin mengabarkan, bahwa di Bantaeng adalah Indonesia, dengan sepenggal budayanya. Nah, bukan saja lagunya yang meggetarkan, tetapi juga gerakan tarian dan makna teatrikal yang ditampilkannya.
Di Bulan Juni 2010, Komplen semakin bersinar. Karya tulusnya mulai dilirik ketika tampil di Benteng Fort Rotterdam Makassar, yang kemudian disiarkan stasiun TVRI Nasional. Kegiatan ini adalah bagian dari pagelaran Seni se-Sulewesi Selatan oleh Dinas Pariwisata Sulsel. Komunitas ini juga pernah tampil di acara pelantikan Rektor UNHAS dengan Ikon KOMPLEN Tundrung TUMPAKA.
Bantaeng, 14 Nopember 2010
[caption id="attachment_75268" align="aligncenter" width="604" caption="pentas 5 tahun perjalanan penggiat seni KOMPLEN,,sebuah komunitas yg membangun persepsi seni dan mengangkat dan mempertashankan seni dan budaya bantaeng (Foto: Baharuddin Dion)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H