Mohon tunggu...
Andi Harianto
Andi Harianto Mohon Tunggu... Freelancer - Kesederhanaan adalah kekuatan

Tinggal di Kota Kecil Bantaeng, 120 Kilometer, arah Selatan Kota Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Bukan Sekadar Tepian Tanah Air

3 April 2011   10:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:10 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terluar atau Terdepan?

[caption id="attachment_99409" align="aligncenter" width="640" caption="Bebatuan Pulau Rote, Tepian Tanah Air (Image:monkedog.blogspot.com)"][/caption]

Tentu Anda sering mendengar istilah “pulau terluar” bagi daratan yang berada paling dekat dengan perbatasan Negara lain. Karena istilah “terluar,” maka kesan seolah wilayah itu seolah berada jauh dari kontrol pemerintahan pusat yang berada di Jakarta. Istilah pulau terluar sepertinya adalah konsep jaman kolonial, dimana ketika itu pusat jajahannya berada di Batavia. Istilah ini menjadikan pulau-pulau yang rawan konflik perbatasan itu menjadi kurang diperhatikan.

Di beberapa pemberitaan, seperti misalnya Harian Kompas dan Republika, istilah “Pulau Terdepan” juga dibahasakan berdampingan dengan istilah pulau terluar. Bahkan Presiden SBY pun terkesan mencampur adukkan kedua istilah ini. Salah satu pernyataan itu saya kutip di harian Kompas dengan berita berjudul, Presiden: Jaga Keamanan Pulau Terdepan.

"Khusus pemberdayaan wilayah pesisir pulau-pulau kecil terluar, saya khusus memberi atensi. Kalau kita tidak pandai-pandai mengelola, mengawasi, memberi tanda pulau-pulau kita apalagi yang terdepan, itu berbahaya," kata presiden SBY di harian kompas (24/12/2008) dalam satu kesempatan menanggapi lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke genggaman Pemerintah Malaysia tahun 2003 lalu.

Di beberapa pernyataan pemerintah, ahli kelautan, pengamat hubungan luar negeri bahkan oleh pihak militer, istilah pulau terluar dan pulau terdepan seolah sinonim dalam defenisi, walau arti kosa katanya, tegas berbeda. Tetapi apa pun itu, yang pasti pemerintah telah mengeluarkan peraturan Presiden nomor 78 tahun 2005 yang telah menetapkan 92 Pulau terluar Indonesia. Dari peraturan tersebut, jelas bahwa istilah resmi terhadap yang berada diperbatasan adalah pulau terluar, bukan pulau terdepan.

[caption id="attachment_99421" align="alignleft" width="400" caption="Menatap Pulau Sibaru-Baru, salah satu dari 92 Pulau Terluar (Foto:KOMPAS/RIZA FATHONI)"]

13018250102076125402
13018250102076125402
[/caption] Penasaran dengan kata “terluar” dan “terdepan” ini, saya pun membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online. Kata ‘luar,’ untuk daerah atau tempat berarti tidak merupakan bagian dari sesuatu itu sendiri. Ada pun kata ‘terdepan’ berarti paling muka; paling depan. Nah, istilah pulau terluar benar secara hukum, karena peraturannya telah masuk dalam lembaran Negara. Tetapi, secara bahasa terasa janggal, karena kata ‘luar’ itu sendiri berarti pulau-pulau tersebut bukanlah bagian dari sesuatu yang bernama Indonesia.

Saya bukanlah ahli bahasa, apalagi ahli hukum, sehingga kebingungan saya masih membutuhkan penjelasan. Saya sepakat jikalau paradigma kita dirubah, dari istilah pulau terluar menjadi pulau terdepan. Pulau terluar mengandung kesan bahwa seolah pulau itu berada di luar pagar negeri ini, atau bisa juga berarti pulau yang demikian jauh, sementara pulau terdepan semakna wilayah yang menjadi benteng kedaulatan bangsa. Pagar pembatas, yang jikalau dilalui tanpa permisi bisa disambut dengan tembakan offside.

Pembangunan Pulau Terdepan Baru Sebatas Wacana

[caption id="attachment_99410" align="aligncenter" width="654" caption="Peta 92 pulau terluar (Image:http://www.92pulau.com/pulau/)"]

1301823770261445456
1301823770261445456
[/caption] Menafikkan istilah yang masih menyisahkan kebingungan di atas, saya ingin - untuk sementara konsisten dengan istilah pulau terdepan, seperti yang digunakan oleh ahli hukum internasional Wilhemus Wetan Songa yang mempersoalkan pembangunan pulau-pulau diperbatasan yang menurutnya baru sebatas wacana.

Pemerintah memang telah merencanakan membangun fasilitas di pulau terdepan. Hal ini sudah lama diwacanakan dan semakin mengemuka paska lepasnya Sipadan dan Ligitan. Realitasnya, sampai kini barulah sebatas pembangunan pos militer dan mercusuar yang tidak menjamin eksistensi pulau terdepan Indonesia. Hal ini diungkap Wilhemus Songa di harian Republika, Sabtu (26/2/2011).

Sipadan dan Ligitan dimenangkan Malaysia di Mahkamah Internasional, oleh karena pemerintah Indonesia dianggap tidak memiliki konstribusi berarti untuk memberdayakan dan menghiasi serambi depan Negara Indonesia itu. Jikalau ke 92 pulau yang kini sudah diklaim dengan terbitnya peraturan Presiden itu hanya diisi oleh pos militer, belumlah pertanda perhatian yang serius, dan baru sekadar klaim politis, mengingat wilayah perbatasan antar Negara masih terus diperdebatkan.

[caption id="attachment_99412" align="alignright" width="300" caption="Panorama Pulau Rote, Batek dan Mangudu (image:kaskus.com)"]

13018240431398324477
13018240431398324477
[/caption] Potensi pulau Rote, Manggudu dan Fatu Sinai (Pulau Batek) begitu eksotis untuk dikembangkan sebagai lokasi wisata pantai, juga bisa jadi lokasi transmigran. Batas sebagai garis pemisah antar Negara bisa menjadi rawan konflik jikalau klaim itu tidak bertanda memiliki yang lebih berarti sebagai tempat beraktifitasnya warga Negara Indonesia. Palestina terus memprotes pembangunan pemukiman oleh Israel di tepi Barat, karena daerah itu belum memiliki kejelasan batas. Pembangunan pemukiman baginya adalah klaim atas kedaulatan Palestina.

Insiden penembakan oleh polisi hutan Malaysia terhadap TNI pernah terjadi di pulau sebatik pada tahun 1996. Sebatik yang pernah menjadi area pertempuran konfrontasi Malaysia oleh Presiden Soekarno yang menewaskan 2000 prajurit Indonesia itu, adalah salah satu pulau terdepan Indonesia yang terletak di sebelah Timur Laut Kalimantan. Insiden itu terjadi karena pemancangan batok tapal batas di Desa Aji Kuning, yang hanya bergeser 4 derajat dari titik koordinatnya. Sampai sekarang, masalah itu masih terus dinegoisasikan.

Betapa penting yang namanya perbatasan, karena itu berkait dengan kedaulatan, yang didalamnya ada harkat, martabat dan marwah suatu bangsa. Sudah selayaknya, jikalau karena kedaulatan - pemerintah Indonesia memfokuskan diri untuk memaknainya dengan membangun fasilitas milik Indonesia di pulau-pulau terdepan itu.

Pulau di perbatasan yang jikalau diibaratkan sebagai benteng pertahanan, maka pulau itu seharusnya dilengkapi fasilitas pertahanan paling kokoh, tidak sekadar pos militer yang hanya membuat rindu para prajurit, karena kebanyakan pulau-pulau tersebut tanpa sinyal seluler. Nusakambangan adalah salah satu pulau terdepan yang dulu menjadi pangkalan militer Belanda menyerang Jawa Tengah.

Dari 92 pulau terdepan yang berbatasan dengan 10 negara, 12 diantaranya rawan konflik. Salah satu diantaranya adalah Pulau Berhala yang berbatasan dengan Malaysia. Pulau Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia dan Australia adalah yang paling banyak. Masing-masing terdapat 22 Pulau yang berbatasan dengan kedua Negara itu.

[caption id="attachment_99414" align="aligncenter" width="640" caption="Sipadan dan Ligitan Milik Malaysia (Image :www.adventures.com.sg)"][/caption] Malaysia bisa mengklaim Sipadan dan Ligitan karena negeri itu memperhatikannya. Bisa jadi Pulau Rote yang menjadi nyanyian SBY dalam kampanyenya akan diklaim Australia, jikalau pulau yang indah panorama lautnya itu tidak dimanfaatkan sebagai lokasi tujuan wisata. Dibangun dan dikembangkan sebagai serambi atau teras rumah bangsa yang nyaman.

Pulau terdepan, adalah teras rumah kita. Rumah yang bernama Negara Indonesia. Dari teraslah kita bisa memandang dengan bebas, menjadi tempat santai bersenda gurau. Tampak depan bangunan rumah adalah citra pemiliknya. Teras yang didesain indah dan sejuk akan membuat betah pemilik dan para tamu yang berkunjung.

Pulau-pulau terdepan, yang adalah teras rumah bangsa ini tidak hanya harus diurusi kementerian pertahanan, tetapi lebih dari itu, juga adalah urusan semua departemen. Pulau-pulau itu selayaknya dibangun seperti mengembangkan sebuah daerah yang dipersiapkan berpenghuni. Jangan lagi pulau-pulau kita lepas, hanya karena pemimpin negeri ini abai mengurusnya.

Bantaeng, 3 April 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun