[caption id="attachment_106310" align="aligncenter" width="640" caption="Tikar atau Tappere"][/caption]
Apapun jenis kursinya, akan selalu identik dengan kekuasaan. Kursi teras, kursi tamu, kursi makan, bahkan juga kursi goyang memiliki penguasa masing-masing. Bagaimana dengan kursi listrik atau kursi roda? Juga identik dengan ketakkuasaan. Hanya orang yang berkuasa yang bisa mendudukkan pesakitan di kursi listrik, dan hanya yang tak kuasa menopang tubuhnya dengan kaki, duduk di kursi roda.
Tak hanya tempat duduk Sri Baginda simbol kekuasaan, tetapi juga singgasana tuan rumah. Kursi teras yang biasanya berjumlah dua dengan satu meja. Kenapa? Karena kursi itu hanya diperuntukkan oleh tuan dan nyonya rumah untuk bersantai. Di ruang tamu, ada sofa berbentuk panjang dan pendek. Kursi pendek berada di sisi bagian dalam ruangan. Kursi itu, juga khusus untuk tuan rumah.
Kursi di ruang makan juga demikian. Meja yang berbentuk persegi panjang diperjamuan makan bangsawan Inggris biasanya diletakkan kursi di sekeliling meja. Kursi yang berada di ujung bagian dalam dekat dinding, adalah tempat bangsawan yang memiliki status tertinggi. Kursi makan di rumah-rumah Indonesia, juga demikian. Umumnya, ada kursi khusus untuk ayah - penguasa rumah.
Kursi goyang adalah tempat duduk yang dimonopoli para kakek atau nenek, juga tuan rumah. Kursi goyang, biasanya hanya satu pertanda yang duduk ongkang-ongkang kaki di situ, tak lain penguasa tunggal sang kursi. Dasar anak-anak, kursi goyang sering menjadi tempat mainan jungkat-jungkit dua putri kecil saya.
[caption id="attachment_106308" align="alignright" width="300" caption="Kursi/dengen.mysorowako.com"][/caption] Kursi adalah singgasana bagi raja, presiden, direktur, gubernur, bupati sampai kepala desa. Kursi mereka besar, mahal, empuk dan hanya satu. Karena kursi pertanda kekuasaan, banyak orang yang berusaha mati-matian mempertahankannya. Kenapa? Karena yang lain juga bernafsu merebutnya. Kursi dalam bahasa perancis di sebut président.
Konflik Pemilu selalu terkait masalah kursi – kursi yang terbatas. Calon legislator mempertaruhkan ketokohan, uang, gelar akademis, agama bahkan gelar kebangsawanannya untuk mendapatkan kursi di gedung wakil rakyat. Pemilu berikutnya, legislator itu pun masih nafsu dengan kursinya. Demikian seterusnya, sampai harus kalah dan mungkin bakal duduk di kursi goyang ataupun kursi roda.
*****
Penasaran dengan kursi, membuat saya mencari sejarahnya. Sejak kapan kursi itu kita kenal, dan kenapa harus di tempat pengeluaran akhir kita membutuhkan kursi berkaki empat. Mungkikah, karena kaki binatang kebanyakan empat, maka mereka tak perlu kursi. Ulat bulu saya kecualikan dalam binatang yang saya maksud, karena kakinya sangat banyak.
Karena kursi sudah terlalu umum, maka tak ada yang berminat menelusuri asal muasalnya. Karena masih penasaran, saya pun kembali teringat pada salah satu perbincangan dengan Almarhum Prof. Burhamzah. Professor ini guru besar ekonomi di Universitas Hasanuddin, tetapi juga meminati masalah kebudayaan.
Menurutnya, kursi dalam bahasa Bugis ataupun Makassar yang kami sebut Kadera itu, bukan bahasa Bugis-Makassar asli. Kadera berasal dari kata Cadeira, yang adalah serapan bahasa Portugis. Artinya, kursi yang berkaki empat dan bersandaran itu, mulai ternamakan di Sulsel setelah kapal-kapal portugis berlabuh di Pantai Makassar pada abad ke 15. Armada kapal dari Eropa itu berlabuh pertamakalinya di Kerajaan Siang, atau Kabupaten Pangkep yang kita kenal kini. Bule Portugis datang dengan maksud berdagang rempah-rempah.
Jangan-jangan, leluhur Bugis-Makassar memang tak mengenal kursi. Walau dugaan saya, masih perlu dibuktikan lebih lanjut, yang pasti almarhum kakek akan menegur saya tidak sopan, jikalau tidak bersila saat duduk di tikar. Bersila, adalah duduk dengan kaki terlipat bersilangan di depan, yang biasa kita lihat saat para pesilat duduk mendengar wejangan gurunya. Bersila dalam bahasa Bugis, kami sebut a'ssulengka.
Jangan heran, kalau Anda ke daerah pedalaman Bugis atau Makassar, kadang ditemui orang tua yang duduk bersila walau sementara duduk di atas kursi. Bagi orang kota yang telah mengenal budaya kursi, tentu akan menganggap orang tua itu tidak sopan, padahal justru Ia menganggap itulah kesopanankarena bersila berarti penghormatan atas tamunya.
Semasa kakek masih hidup, kami tak memiliki meja makan. Saat menikmati jamuan, kami duduk bersila di atas tikar. Tikar, dalam bahasa Bugis ataupun Makassar disebut tappere’. Tikar yang terbuat dari jalinan daun lontar atau pandan ini, kami gunakan saat makan, juga pada acara-adat adat. “bukan bangsawan yang tidak tahu duduk bersila,” kata Ustad Rahman, teman kerja saya yang lebih tua, saat saya bertanya tentang filosofi duduk bagi orang Jenneponto yang bersuku Makassar.
Kami memang mengenal paccidongan (Makassar) atau tudangeng (Bugis). Kedua kata itu tidak berarti kursi, tetapi tempat duduk. Kursi hanya salah satu tempat duduk. Tempat duduk utama sebenarnya tikar atau tappere’. Saya pernah ke museum kerajaan di Kabupaten Bone, Sulsel. Saya tak melihat singgasana, atau kursi kerajaan di sana.
[caption id="attachment_106317" align="aligncenter" width="640" caption="Pemain Sinrili Makassar dan Situs Batu Pake (Sumber: indonesiaproud.wordpress.com/www.sinjai.go.id/sinjai/)"][/caption]
Tempat pelantikan raja yang ada di situs purbakala batu pake Sinjai Sulsel, berbentuk batu besar yang lebar. Hipotesa saya mungkin benar, bahwa putra mahkotadi masa lalu memang duduk bersila saat di lantik. Artinya, leluhur suku Bugis Makassar tidak mengenal kursi yang kita kenal sekarang, karena memang mereka duduk dengan bersila.
Sama dengan Jepang, mereka hanya memiliki meja pendek. Di Makassar, Meja Oshin adalah nama yang kami istilahkan bagi meja berkaki pendek. Meja seperti itu digunakan saat acara pengantinan dalam rumah. Maksudnya, agar tetamu lelaki bisa duduk bersilah dan perempuan duduk bersimpuh. Tidak ada kursi dalam rumah saat acara adat perkawinan.
Orang Jepang memberi penghormatan dengan membungkuk sebelum duduk, demikian juga orang Bugis-Makassar. Kenapa? karena tempat dudukmereka berada di bawah. Orang Inggris atau Belanda, justru berdiri tegak, sedikit mengangkat dagunya ke atas, sebagai tanda penghormatan. Kenapa? (mungkin) karena raja mereka duduk di kursi yang tinggi.
*****
[caption id="attachment_106316" align="alignleft" width="374" caption="Pasangan Pengantin Jawa (sumber:wong168.wordpress.com)"][/caption] Bagaimana dengan budaya Islam? Pusat pemerintahan Islam (dulu) ada di masjid. Tak bakal ditemukan kursi di Masjid, kecuali mimbar tempat para ustad berkhutbah. Kursi dalam bahasa Indonesia, adalah serapan dari bahasa Arab. Istana raja-raja di Sulawesi Selatan berbentuk rumah panggung, maka terasa janggal jikalau di rumah yang tinggi terdapat kursi di atasnya, berbeda dengan Istana di kerajaan-kerajaan Eropa yang terbuat dari batu bata.
Dari ngelantur masalah kursi, saya hanya ingin memberitahu bahwa (sekali lagi) mungkin suku Bugis-Makassar tidak berbudaya kursi, tetapi duduk sama rendah dengan cara bersila. Tak ada kursi yang perlu dihitung dan dipertengkarkan, karena tappere atau tikar, hanya terdiri dari daun lontar yang mudah dibuat.
Berebut tappere, bisa saja membuatnya sobek dan akhirnya yang bertengkar, sama kehilangan tempat duduk. Duduk sama rendah dan melingkar pertanda musyawarah, awal tumbuhnya benih-benih demokrasi. Bisakah kita kembali membudayakan duduk bersila!?
…….Kursi Allah meliputi langit dan bumi, Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS : Al-Baqarah : 255)
Setelah Macet Menulis, 05 Mei 2011
[caption id="attachment_106318" align="aligncenter" width="640" caption="Foto ini tak terkait tulisan, unik saja perempuan duduk bersila (Sumber: rakyatmerdeka.co.id)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H