Mohon tunggu...
Andi Harianto
Andi Harianto Mohon Tunggu... Freelancer - Kesederhanaan adalah kekuatan

Tinggal di Kota Kecil Bantaeng, 120 Kilometer, arah Selatan Kota Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Sepak Bola, Nasionalisme Macam Apa?

18 November 2011   02:51 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:31 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_143008" align="aligncenter" width="650" caption="http://www.bola.net/seagames2011/komandan-satlak-prima-puji-penampilan-timnas-u-23-ed7955.html"][/caption]

Stadion kebanggaan Gelora Bung Karno membludak riuh. Dukungan supporter membahana, ibarat suara ribuan tawon mengurung harimau. Laga penuh gengsi pada ajang Sea Games antara Timnas Indonesia melawan Malaysia ini disesaki puluhan ribu penonton malam tadi (17/11). Hasilnya, Timnas U23 Indonesia kalah 1-0 dari Harimau Malaya di kandang sendiri.

Supporter yang tumpah ruah ini, mengingatkan kita saat laga di piala AFF tahun lalu. Ketika itu, Indonesia dan Malaysia bertarung di final. Walau akhirnya skuad garuda Indonesia harus mengakui keunggulan sepak bola Malaysia, yang pasti nasionalisme sepakbola kita menandai dirinya bangkit kembali setelah 20 tahun miskin prestasi.

Animo penonton malam kemarin sangat berbeda ketika di awal pertandingan group B Indonesia bertemu dengan Kambodja. Supporter sepi, walau Indonesia menang besar 6-0.Keadaan GBK malam itu, juga demikian kontras saat Timnas Senior berlaga di kualifikasi piala dunia menjamu tim Iran dua hari sebelumnya (15/11).Tepuk tangan dan teriakan dukungan hanya terdengar samar, barisan kursi melompong.

Tim Garuda senior dihajar Iran 1-4 di depan penontonnya yang sepi. Berbeda saat di laga awal kualifikasi World Cup. Kala itu Indonesia melawan Turkmenistan, GBK disesaki ribuan penonton. Indonesia memang menjanjikan harapan ketika menggilas Turkmenistan 4-3. Seolah impian Timnas yang begitu padu saat itu bisa bertarung di Brasil tahun 2014 nanti.

[caption id="attachment_143010" align="alignleft" width="403" caption="Garuda di pipi dan jidatku (Image:Garuda di pipi dan jidatku)"][/caption] Perlahan mimpi berlaga di piala dunia itu pun pupus, karena setelahnya pil pahit kekalahan terus tertelan. Ibarat racun, Pelatih Wim Rijsbergen lah yang meramunya. Berbeda dengan Rahmad Darmawan, pelatih lokal ini perlahan namun pasti ia akan mengabadikan identitas dan kekuatan bangsa dalam ramuan tim yang demikian padu, penuh determinasi dan pula mencipta striker handal penuh kecepatan.

Ketika sepakbola dikaitkan dengan nasionalisme, maka rasa kebangsaan itu tercermin dari banyaknya dukungan supporter yang juga akan merasa berbangga hati ketika tim negaranya berhasil memenangkan pertarungan. Sepak bola memang telah menjadi tontonan yang bisa mencipta ikatan bersama sebagai penanda identitas bahwa negeri berdaulat ini tak bisa diremehkan.

Patut dicatat, bahwa nasionalisme sepakbola itu ternyata perlu ditandai dengan prestasi. Jikalau pun bukan prestasi, setidaknya sebuah harapan yang menjanjikan.Kekalahan beruntun empatkali Timnas senior pada kualifikasi piala dunia, memupuskan harapan publik sepakbola negeri ini untuk menyaksikan laga kandang Indonesia versus Iran di Gelora Bung Karno.

Sangat terasa bahwa kekecewaan demikian pedih, seiring dengan kejengkelan suporter atas peran pelatih Wim Rijsbergen yang hanya menjadikan Timnas sebagai kelinci percobaan. Seperti saya, dan mungkin rakyat Indonesia lainnya akan sepakat, bahwa kekalahan demi kekalahan Timnas tercinta lebih karena pelatih Wim yang berparas kendor itu. Semakin Ia rombak tim kiri kanan, maka permainan justru semakin menurun. Pelatih macam apa itu!?

Berbeda saat Sea Games 2011 yang mempertemukan Indonesia dan Malaysia di akhir laga group B, Pelatih lokal Ramad Darmawan terus menjanjikan harapan sejak awal dengan tiga kali kemenangan berturut-turut. Pada laga uji coba pun Timnas Junior ini terus mencipta gol kemenangan. Walau harus kalah melawan Malaysia, saya merasa tetap dijanjikan harapan Indonesia bakal juara.

Muka kokoh berwibawa pada pelatih garuda muda ini terus terlihat mensupport para pemainnya di pinggir lapangan. Tidak seperti Wim, hanya mempertontonkan lututnya di bangku pelatih ketika Bambang Pamungkas dan kawan-kawan berjibaku menegakkan harga diri bangsa.

Ketika memang sepak bola adalah gambaran nasionalisme, maka kekalahan 1-0 atas Malaysia malam kemarin kembali akan diuji. Setidaknya publik sepakbola Indonesia perlu menempatkan bahwa sesuatu yang dipertandingkan tidak selamanya harus menang, walau tetap harus dinyalakan harapan juara dengan terus mendukung apa pun keadaan Timnas.

[caption id="attachment_143011" align="aligncenter" width="591" caption="tuanmudapramukapusamania.blogspot.com"][/caption]

Walau terus menuai kekalahan dan tak lagi menjanjikan harapan seperti yang dilakoni Timnas senior, tetap saya tonton dengan tak henti-hentinya bersungut geram. Kegeraman itu tentu bukan kepada pemain, tetapi kepada pelatih yang diangkat tiba-tiba mengantikan Riedl setelah Johar Arifin menjadi Ketua PSSI. Kekalahan itu lebih karena salah asuh.

Bagi saya, para pemain hanya dibuat tak padu dengan seringnya gonta-ganti pemain. Semangat bertanding mereka tetap terlihat. Saya tak kecewa kepada mereka, saya hanya sedih menyaksikan berapakali kekalahan beruntun yang mereka alami.

Kesedihan sebagai rasa senasib sepenanggungan, juga adalah bahagian dari semangat satu bangsa. Seperti halnya tim promosi Espanyol atau pun Sportin Gijon di liga Spanyol. Kekalahan demi kekakalahan yang mereka alami tak menyurutkan animo pendukungnya untuk terus menggelorakan semangat kemenangan.

Ketegangan politik antara Indonesia dan Malaysia menjadi faktor eksternal yang sering disinggung media, hal ini menjadikan pertarungan skuad Garuda Muda versus Harimau Malaya sering diungkit sebagai memancing sentimen nasionalisme. Bagi saya, sentimen itu tidaklah produktif dan cenderung hanya membangkitkan perseteruan emosional yang justru bisa merugikan.

Masalah politik dengan kerajaan Malaysia adalah hal lain. Nasionalisme dan sepak bola perlu ditempatkanseiring harapan akan prestasi serta kebanggaan akan kemenangan. Prinsip fairplay adalah nafas pertandingan yang harus dijunjung tinggi. Timnas perlu disaksikan bertarung dalam kerangka sportifitas dan semangat untuk menang.

Harapan juara untuk pasukan Garuda Muda Indonesia selalu nampak di dimuka pelatih Rahmad Darmawan, termasuk ketika harus kalah melawan Malaysia. Spirit itulah yang akan menjadi modal bagi Timnas untuk dua laga selanjutnya.

Di Semifinal runner up group B Indonesia akan bertemu pemuncak group A Vietnam . Terharap di final nanti Tim Merah Putih kembali akan bertemu dengan Malaysia. Saat dimana hari pembalasan terjadi. Hari dimana supremasi sepakbola Asia Tenggara kembali ke tangan Indonesia setelah dua puluh tahun menunggu. Teruslah kepakkan sayapmu garudaku, sungguh aku demikian bangga padamu.

Bantaeng, 18 November 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun