Engkau dikaburkan pada kisah tentang lautan. Tentang ayahmu yang hilang, tergulung ombak besar lautan Flores. Ayahmu bukanlah nelayan ataupun pasompek. Semua bersembunyi, menutup rapat rahasia tentang cerita kebenaran pada dirimu, karena engkau lahir di persembunyian. Dari kandungan di luar nikah seorang Habibah, Ibumu.
[caption id="attachment_94871" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi"][/caption]
Saat selepas azan subuh. Tepat, di hari kesebelas bulan puasa enam tahun yang lalu. Habibah yang baik itu berpulang, dengan mulut yang tetap tertutup rapat. Ibu tua yang telah melahirkanmu itu kembali ke pangkuan Illahi. Pergi tanpa bisikan apapun tentang keabsahanmu sebagai anak yang tentu memiliki ayah. Tangismu tidak terdengar, hanya isakan dalam dan derai air mata lelaki yang perlahan menampakkan karakter pemberontak.
Ribut-ribut tengah malam itu, membuat saya terbangun. Istri, saya berusaha menenangkannya, tetapi tidak berhasil. Ia bersikukuh untuk tidak menyerahkan badik bertuah warisan Opa. Sebilah senjatatradisional berbentuk keris tanpa lekukan itu diwariskan ke Tola saat Opa sakit-sakitan. Baru sebulan kemarin ia keluar sel tahanan. Ia dituduh menikam preman pasar Lambatte. Badik itu bersamanya di malam rusuh itu. Beruntung, polisi tidak punya bukti, sehingga Tola dikeluarkan setelah seminggu mendekam, tidak mengaku.
“Mana ki badik itu, Kak Tini!”
“Ada apa lagi Tola’, dimana ko lagi bikin kacau”
“Sepupunya Mila, mempermalukan saya. Dia bilang ayah saya tidak jelas, anak haram. Kurang ajar itu!”
Tola yang sudah saya anggap sebagai adik itu kelihatan sempoyongan. Matanya memerah. Terus saja ia mengumpat. Mulutnya menyengat berbau minuman ballo, minuman keras dari sadapan pohon nipah. Saya menghampirinya, memegang pundaknya, dan menyuruhnya duduk. Mila adalah pacarnya, yang ia rencana nikahi setelah jatahnya sebagaipenagih utang dan gajinya pertamanya sebagai anak buah kepala pasar Ia terima bulan depan.
“Barusan saja kemarin, ko lepas dari sel polisi Tola, kamu mau bikin masalah lagi”
“Lebih baik saya mati berdarah , saya merasa dipermalukan dan tidak berguna lagi. Betulkah saya anak haram? ”
Tola menatapku tajam. Sepertinya, dia meminta kejujuran dari saya. Saya sebenarnya tahu siapa ayahnya, setidaknya siapa kakeknya. Tetapi rahasia itu adalah bahagian dari amanah Tante Habibah, agar saya tidak membukanya. Entah bagaimana perasaanTola, ketika dia tahu siapa ayah sebenarnya dan bagaimana prosesnya sehingga Ia lahir menghirup nafas bumi tanpa ayah. Kini Ia menjadi sebatang kara. Tanpa Ibu, dan ayahnya entah siapa. Dia tidak tahu, kecuali cerita heroik tentang ayahnya yang seorang pasompek (perantau).
“Kamu bukan anak haram. Kamu anak dari seorang ayah pemberani. Seorang perantau, yang asal-usulnya telah hilang, karena Sokku Ayahmu itu membunuh tuan tanah yang mempermalukannya dan lari ke Malaysia. Kamu kan sudah tahu ceritanya!?”
Saya berusaha menjelaskannya, seperti yang biasa di dongengkan Tante Habibah kepadanya, saat dia bertanya bagaimana cerita tentang Ayahnya. Kini umur Tola tidak muda lagi, 26 tahun . Oleh Opa dan Oma , Ia dipelihara layaknya seperti saya, sebagai saudara angkatnya. Ia sudah dianggap sebagai anaknya sendiri. Tante Habibah sendiri, bekerja di rumah bukan sebagai pembantu. Tetapi telah dianggap sebagai saudara kerabat terdekat.
“Kalau memang, ayah saya meninggal di lautan, kenapa saya tidak bisa mengetahui paman-paman saya dari pihak Ayah. Juga keluarga dari Ibu saya!?” Kata, Tola yang berusaha kembali menelisik asal muasalnya.
Rasionya telah berkembang seiring dengan umurnya yang semakin matang. Sebenarnya, sudah sulit untuk sekadar menipunya dengan kisah karangan. Tola hanya tamatan Sekolah Dasar, Ia dikeluarkan karena luar biasa bandelnya saat bocah.
“Kamu tahu kan? Bahwa Ayahmu itu diusir dari kampung karena telah mempermalukan keluarga dengan menikam tuan tanah yang adalah iparnya sendiri. Kakek mu sudah tidak lagi menganggapnya sebagai anak. Maka merantau bagi Ayahmu adalah jalannya”
Cerita ini juga hanya kutipan dari karangan Tante Habibah. Saya pun menjelaskan, kenapa Tante Habibah memutuskan hubungan dengan keluarganya, itu karena mendukung Ayahnya Tola, sehingga dia pun diusir. Itu saja. Melanjutkannya, berarti kebohongan ini semakin bertambah.
“Sakit hatilah yang membawa Ibumu ke rumah ini. Ketika itu kamu masih dalam kandungan. Ibumu bersumpah, bahwa anaknya juga tidak boleh berhubungan dengan keluarganya. Sumpah ini berlaku bagi dirimu, dan bagi saya yang kini menjadi saudara. Saya tidak menganggapmu sebagai adik angkat. Kamu adik ku yang juga merasa sakit, jikalau kau disakiti. Merasa terhormat jikalau bersama dirimu bertarung karena dipermalukan ”
Cerita berulang-ulang ini saya tutup, karena memang hanya sampai disitu rekayasa status Tola harus dihentikan. Saya tidak berhak menambah karangan itu, saya hanya bertaut 5 tahun dari Tola. Setelah pembicaraan tegang itu, saya meminta Tola untuk segera tidur untuk mengurangi kadar mabuknya, sambil berpesan untuk sekadar menenangkannya.
“Lupakan badik itu. Lupakan tuduhan sepupunya Mira. Kalau kamu sudah siap, saya sendiri yang akan melamar Mira, buatmu. Kalau sepupunya masih menuduhmu sebagai anak haram, maka badik saya akan bicara”
Tola pun masuk kamar. Samar-samar saya mendengarnya sesunggukan. Ia menangis. Mungkin Ia rindu sama Tante Habibah. Seperti rindunya saya kepada Almarhumah yang telah mengasuhku sejak kecil, dengan penuh kasih sayang. Sama kasihnya, ibu kandung saya terhadapku. Bedanya, tante Habibah tidak pernah memarahiku sekali pun, dan tahu makanan kesukaan saya. Tumis kangkung. Tante Habibah lah yang selalu mendukungku, termasuk saat saya memilih untuk menjadi bagian dari ekspedisi Perahu Pinisi yang berlayar ke Madagaskar. Saat itu Ibu marah, karena saya meninggalkan kuliahku.
Habibah memang gadis kampung, yang menjadi bunga desa saat dia masih perawan. Habibah telaten. Ia ahli menata bunga pada acara pengantin dan pandai membuat kue. Dalam satu kunjungan, Ibu Tresna tertarik dengan keahliannya dan memanggilnya bekerja di rumah jabatan.
Habibah diperkosa, oleh dua orang anak tuannya. Berkali-kali, dan akhirnya dia pun hamil. Dia takut untuk melaporkan perbuatan bejat anak pejabat itu. Ia takut dan malu. Dia tidak lagi tahu siapa diantara keduanya yang menghamilinya, akhirnya demi menutupi malu, Ia pun diungsikan ke rumah Opa yang seorang guru itu. Kakek saya adalah teman kecil Pak pejabat itu, terpaksa menerima karena berada dalam tekanan. Maklum, kawannya itu sangat menjaga martabatnya, tetapi tidak peduli dengan keterhinaan Tante habibah. Ia hanya menitip biaya persalinan, dan seorang bidan yang adalah orang kepercayaannya.
Habibah pun melahirkan Tola tanpa tahu siapa diantara kedua lelaki bejat, anak pejabat itu sebagai ayah anaknya. Namun Tola, jelas adalah cucu seorang yang berpengaruh. Kini, salah satu dari dua anak lelaki dari mantan pejabat itu telah menjadi Bupati. Satunya lagi meninggal karena kecelakaan. Mobil balapnya meledak, terbakar di lintasan arena.
Bantaeng, 7 Maret 2011
Horeeeeeeee, akhirnya saya bisa juga menulis Cerpen pertamaku. (Ehm, apa ini cerpen yah!?)
Keterangan:
Pasompek: Perantau
Badik : Senjata tajam berbentuk keris (tanpa lekukan). Senjata Tradisional Sulawesi Selatan
ki, ko: Dialek Bugis-Makassar, untuk kata ganti orang kedua tunggal, ki lebih menghormati dibandingko. Ki biasanya digunakan untuk orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Ki atau ko berarti kau, kamu atau Anda.
Ballo : Arak, minuman keras yang disadap dari pohon nipah
Pinisi: Perahu layar yang khas dan dicipta oleh kebudayaan Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan. Di masa lalu sebagai kapal dagang dan juga kapal perang. Perahu ini pernah menjalankan ekspedisi ke Madagaskar, Afrika Selatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H