Relativitas kebenaran, di dunia ini bisa dimanipulasi dengan rangkaian rekayasa kebohongan, agar seolah itu menjadi benar. Nyanyian Gayus yang lantang dan nyayian sendu Bona Paputungan, bisa pula adalah bahagian dari rekayasa. Demikian pula transkrip BBM dan video dari Denny Indrayana yang membatah Gayus juga tidak sepenuhnya harus cepat dipercaya. Demikian, sikap ngotot Antasari ataupun Susno yang merasa bahwa kasusnya sarat rekayasa, sepertinya telah terkalahkan dengan kecurigaan-kecurigaan rekayasa berikutnya.
ilustrasi: menwithfoilhats.com
Antasari Ashar, Susno Duadji dan terakhir Gayus Tambunan adalah nama-nama yang telah menggetarkan dunia hukum dan politik negeri ini. Kesemua dari mereka telah mendekam di balik jeruji penjara. Kini Antasari maupun Susno yang telah divonis itu, tidak lagi kedengaran kabarnya. Kecuali Gayus Tambunan, yang di ujung vonisnya malahan bernyayi tentang apa yang terjadi di balik kasusnya. Serangan balik Gayus, bakal kembali mengungkit ada apa di balik Antasari Ashar dan Susno Duadji.
Sepak terjang Antasari Azhar, semasa masih memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memang telah membuat para koruptor keder, ketar-ketir. Tidak tanggung-tanggung, dia berani menyatakan akan mengaudit IT KPU yang oleh pansus century dicurigai terkait Pemilu Presiden. Apa yang terjadi, kasusnya yang seolah sarat dengan rekayasa itu membungkamnya dengan kasus ala film hollywood. Jebakan cinta setiga yang berujung pembunuhan.
Jika kebenaran itu itu hidup, maka ia akan mewujud layaknya entitas yang hidup, yaitu dalam gerak dan pertumbuhannya. Kebenaran yang hidup ini akan menyapa manusia dan mengajak masuk ke dalam ke-hidup-annya. Sebaliknya, jika “kebenaran” itu mati, maka ia akan mewujud layaknya entitas yang mati, yaitu dalam ketetapan, dan finalitas makna. “Kebenaran” yang mati inipun akan menyapa manusia dan mengajak masuk ke dalam ke-mati-annya.Demikian Audifax, seorang peneliti Institut Ilmu Sosial Alternatif, di Surabaya melukiskannya.
Susno Duadji mantan Kabareskrim Mabes Polri, juga terbilang berani menyodorkan sepotong kebenaran menurut investigasinya. Kasus kriminalisasi KPK yang dikenal dengan peseteruan cicak dan buaya itu, menyita perhatian publik. Bibit Samad Riyanto dan Chandra M. Hamzah dua orang pimpinan KPK peninggalan Antasari, sempat di tahan kemudian dilepaskan lagi, karena SKKP dan kemudian lagi akan menyusul deponering. Beberapa kalangan menganggap kasus ini, sukses membebaskan Bibit-chandara karena desakan publik. Kebenaran versi public, telah mengalahkan susno dalam cap ‘kriminalisasi’
Walau masih tersimpan keanehan disana-sini. Seseorang buronan, Yulianto yang diharap menjadi mata rantai kebenaran kasus ini, entah raib kemana. Siapa yang benar? yang pasti, sayapun bingung karena KPK sepeninggal Antasari, sepertinya melempem lumpuh dan mandul. Ada apa?
Masih terkait Susno Duadji, yang wara-wiri sebagai saksi di persidangan Antasari, skandal century dan mafia pajak pernah disebut sebagai whistle blower. Sang ‘peniup peluit’ ini adalah yang pertama meledakkan mega korupsi di Dirjen pajak yang melibatkan begitu banyak pembesar. Baik itu penguasa, pengusaha maupun penegak hukum dan juga politisi. Terlepas apakah ini adalah balas dendam Susno terhadap institusinya, yang pasti pihak yang dendam dengan Komjen ini, duluan memenangkannya.
Sepertinya Gayus tertarik menjadi Susno. Pernyataannya usai vonis 7 tahun buatnya, yang mengejutkan presiden itu, membawa-bawa nama Satgas Anti Mafia Hukum. Menurutnya, Satgas membujuknya untuk menyerahkan diri dan mengaku dengan janji akan dijadikan whistle blower. Siaran pers Satgas, yang dipandu ketuanya, Mas Ahmad Santoso tidak membantah berkenaan dengan janji whistle blower ini.
Problem Gayus bakal semakin panas ke depan. Kasus ini setelah makin menggeliat karena keluarnya 12 instruksi presiden, yang sepertinya menanggapi 9 kebohongan lama dan 9 kebohongan baru pemerintah yang dinyatakan 9 tokoh lintas agama. Kasus hukum yang ditengarai sarat intrik politik ini, betul-betul akan lari ke politik setelah DPR, juga membentuk Panitia kerja (Panja) mafia pajak, untuk menelisik kebohongan-kebohongan dalam perspektif politik.Hukum akan menjadi landas pembenar, yang seolah kinipun jadi multi tafsir di mulut para pengacara.
Sepertinya absurditas Nietzche menjadi relevan, bahwa “kebenaran” sebenarnya hanyalah sepasukan metafor, metonimi dan antropomorfisme; atau sejumlah hubungan manusiawi yang secara puitik dan retorik telah diintensifkan, dimetamorfosa, dan dipuja sehingga setelah melalui kurun waktu lama lantas dibakukan dalam kanon yang mengikat. “Kebenaran”, akhirnya mewujud sebagai ilusi-ilusi yang segi ilusinya telah dilupakan orang; metafor usang yang tak lagi mampu membangunkan rasa; uang logam yang permukaannya telah aus hingga tinggal logam belaka.
Kebenaran bisa direkayasa, demikian pula kebohongan, tinggallah sebagian besar rakyat Indonesia yang kurang memahami hukum positif seperti saya ini hanya melongo blo’on, memukul jidat tak paham, menepuk paha kegemasan dan sesekali geleng-geleng kepala keheranan.
Mari kita tunggu apa hasil dari semua ini. Jangan berharap dalam waktu dekat ada yang mengaku atau mundur dari jabatannya karena merasa bersalah. Indonesia bukanlah Jepang, Korea atau Negara yang berbudaya sportif lainnya.
Komitmen Presiden untuk mencegah dan memberantas korupsi, walau masih tersisa harapan dengan 12 inpresnya, tetap patut disimak dengan makin gilanya korupsi negeri ini. Setengah, (17 dari 33) gubernur di Indonesia kini jadi tersangka korupsi. Ada 138 dari 497 Bupati/Walikota juga terjerat kasus yang sama.
Menjadi whistle blowerkasus korupsi, juga perlu hati-hati karena bisa jadi bola panas itu akan berbalik menjadi penjara. Meniup peluit dalam tembok penjara, hanya akan bergema dan didengarkan oleh telinga mereka sendiri. Banyak kasus yang tak jelas, bahkan yang jelaspun berusaha dikaburkan. Adakah kita masih percaya dengan penegak hukum? Kini, bisakah kita membedakan kebenaran dan kebohongan? Saya sendiri bingung menjawabnya.
Bantaeng, 20 Januari 2011
Sumber Desain Gambar: sini, sini, sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H