Catatan Mudik 2
Saya tidak tahu muasalnya,mengapa shalat berjamaah magrib di kampung ku disebut ma’berejama’. Kalau dilihat dari istilahnya, kata itu berarti berjabat tangan atau memberi salam. Awalnya saya mengira bahasa Bugis berejama’ artinya berjama’ah, ternyata bukan. Berjabat tangan ataupun memberi salam, sama sekali tak berkaitan dengan arti shalat berjamaah. Setiap magrib, sewaktu bocah dulu nenek rutin mengajak saya berejama’ di masjid kampung kami. Setelah keluar dari masjid, maka rutinitas berjabat-tangan laki atau perempuan pun dilakukan. Seolah tak lengkap, jikalau tidak semua jamaah di jabat tangani. Jabat tangan berarti ungkapan maaf atas segalah dosa, setelah seharian beraktifitas, kata kakek saya.
[caption id="attachment_265802" align="aligncenter" width="500" caption="Jalan licin dan berlumpur menuju kampung kami"][/caption]
Ayah saya sebagai orang yang tinggal di kampung menginginkan anaknya sekolah di tempat yang menurutnya berkualitas. Kelas tiga SD, saya pun dipindah ke sekolah yang berada di kecamatan tetangga yang jaraknya jauh dari kampung. Menumpang di rumah keluarga adalah pilihan, kembali saya menjalani rutinitas berejama’ ini. Masjid di tempat saya sekolah itu cukup ramai setiap magrib. Seolah menjadi kewajiban bagi anak-anak, muda-mudi, bapak-ibu, kakek-nenek untuk melaksanakannya. Sebagai bocah saya senang, momentum setelah berejama’ inilah yang kami gunakan untuk bermain petak umpet atau bergerombol nonton serial kartun Batman di rumah Pak Desa.
Setelah masuk SLTP saya harus ke Ibukota kecamatan, yang juga jaraknya cukup jauh. Pilihan menumpang di rumah keluarga juga adalah keharusan. Aneh, rutinitas Magrib berjamaah dengan jabat tangannya sudah tidak saya temui lagi. Di SLTA tetap saya bersekolah dan menumpang di tempat yang sama. Di belakang sekolah ada pesantren Da’rul Huffadh, pesantren hafal Al Qur’an. Selain memperlancar tajwid di pesantren ini, saya sempat menanyakan rutinitas jabatan tangan usai Shalat magrib di kampung saya. Sang Ustadz juga merasa aneh, karena baru Ia mendengar ada tradisi seperti itu. Biasanya saling menjabat tangan di lakukan di dalam masjid, itupun hanya untuk sesama jamaah laki-laki, atau sesame jamaah perempuan. Masalah muhrim Ia jelaskan, bahwa jabat tangan yang bukan muhrim membatalkan wudhu.
Lalu apa yang melatari, tradisi ini terjadi di kampung saya. Sewaktu mudik, kucoba menelusuri sejarahnya. Tidak aku dapatkan jawabannya, lagian berapa tahun ini tradisi bersalaman usai shalat magrib di luar masjid sudah tidak seperti dulu lagi. Namanya tetap berejama’, tetapi tradisi salamannya sudah dilakukan di dalam masjid. Saya mencoba menyimpulkan, tradisi ini sebenarnya positif, apalagi tujuannya untuk saling memaafkan dan meramaikan shalat berjamaah. Hanya saja pembatasan muhrim dan bukan muhrim perlu diberi pembatasan. Mungkin pada awalnya, kampung saya ini pertalian kekerabatan masih sangat dekat. Tidak ada orang luar, jadinya jabat tangan tidak lagi bersoal masalah murim dan bukan muhrim.
[caption id="attachment_265803" align="aligncenter" width="500" caption="Bersujud di hamparan karpet sajadah"][/caption]
Kakek saya almarhum, yang juga seorang yang patuh pada syariat ketika itu, selalu mewajibkan kami shalat magrib. Kata beliau shalat magrib itu mengusir setan. Kan, kalau magrib banyak setan. Dengan shalat, setan itu akan terusir. Mungkin dasarnya tidak sebenar itu, tetapi minimal anak kecil seperti saya gampang memahaminya. Anak manusia mana di jagad raya ini yang tidak takut sama setan. Selain itu, shalat berjamaah bisa mengecek siapa-siapa diantara jamaah yang tidak hadir. Kesimpulannya hanya dua, sakit atau sementara melakukan perjalanan keluar kampung.
Biasanya jamaah menjadi sepi pada hari minggu ketika itu. Karena hari senin adalah waktu pasar mingguan di luar kampung yang jaraknya begitu jauh, sampai membutuhkan waktu seharian penuh berjalan kaki kesana. Jadinya pedagang harus bermalam di sekitar lokasi pasar. Kini, sudah semakin membaik. Kendaraan, walau itu kendaraan pick up sudah bisa keluar masuk di kampung kami kalau musim kemarau. Di musim penghujan, jalanan menjadi berlumpur dan hanya motor yang bisa membawa barang dagangan masuk kampung. Saya menjadi miris ketika mudik lebaran kemarin. Shalat berjamaah sudah semakin kurang. Kalau dulu penuh, kini hanya tinggal sebaris saff saja. Ada apa ?
[caption id="attachment_265807" align="aligncenter" width="500" caption="Kabut usai hujan di pegunungan, di potret di teras rumah panggung"][/caption]
Foto: Dokumentasi Pribadi
------------------
Kampung saya ini terletak di Kampng Lita Desa MattirowaliE, Kabupaten Bone. Berada di Wilayah paling tinggi Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Pegunungan menghampar mengelilingi lembah kampungku. Warganya masih sangat tradisional, hanya sedikit yang mampu mengecap perguruan tinggi. Setahuku, baru saya dan kakak saya yang sempat kuliah. Penghasil kemiri, lebah madu, getah pinus serta terdapat tambang biji besi ini yang dalam tahap eksplorasi, saya yakin kelak akan tumbuh menjadi daerah yang tidak lagi terbelakang. InsyaAllah.
---------------------
Catatan Mudik 1: Mudik Paling Dahsyat Berkubang Lumpur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H