[caption id="attachment_258751" align="alignleft" width="300" caption="Tebing batu menjulang, menantang semangat pulang kampung"][/caption]
Tahun ini adalah mudik terdahsyat bagiku. Jauh hari sebelumnya, memang kami sekeluarga sudah janjian untuk pulang kampung berlebaran, karena telah dua tahun kami berlebaran di kota para istri. Maklum, saya dan kakak saya, yang orang kampung ini, sukses mempersunting orang kota. Hujan yang tak berhenti turun menjelang lebaran, tak menyurutkan tujuan mulia ini. Semangat pantang menyerah dengan dinginnya cuaca dan jalanan yang licin memberi spirit luar biasa. Sajadah, harus digelar di tanah kelahiran. Apapun resikonya.
Gayung bersambut, resiko yang kami tantang ternyata begitu menyulitkan. Â Sehari sebelum lemabaran kami berangkat. Dari Kota Bantaeng, menempuh perjalanan menuju Desa Mattirowalie, Kecamatan Bontocani Kabupaten Bone. Jaraknya berkisar 200 kilometer, melewati lima Kabupaten/kota (Jeneponto,Takalar,Gowa,Makassar,Maros). Perjalanan Bantaeng-Makassar, cukup mulus. Keadaan mulai parah ketika memasuki Kabupaten Maros. Hujan mulai deras mengguyur, angin pun mendukung. Jalanan mulai licin.
Jikalau kami berkendaraan mobil mungkin tidaklah masalah, tetapi kami justru memilih naik sepeda motor. Mungkin lucu, seandainya ada yang memotret kami di atas motor. Si Sulung Putri kami di depan, yang bungsu cerewet ditengah dan istri tercinta tak berhenti mengeluh dengan tas ransel yang beliau sandang di dibelakang. Wajar saja, isi ransel itu toples untuk mertuanya. Wajar saja berat. Saya yang jadi kapten terganggu dengan tas besar di depan saya. Lengkaplah sudah derita ini. Untung saja kedua putri kami tak pernah berhenti berceloteh, menikmati perjalanannya. Mereka senang, karena saya hibur mereka bahwa tahun depan, saya membual akan membeli mobil warnah merah jambu. Warna kesukaan mereka. (mana ada mobil merah jambu….!?)
[caption id="attachment_258770" align="aligncenter" width="500" caption="Bertarung melawan jalanan berlumpur"][/caption]
Kampung kami terletak di daerah perbatasan, antara Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone. Karena berada di daerah perbatasan, jalanan diantaranya diabaikan. Katanya, jalanan propinsi. Yang bertanggung jawab adalah propinsi. Nah, inilah paradigma pembangunan yang salah. Seharusnya daerah perbatasan yang diperbaiki, karena daerah ini milik dua pemerintahan administrative. Wajar saja, kisruh Malaysia-RI tidak pernah kelar, karena daerah perbatasan dianggap sebagai wilayah ‘terluar’ bukan wilayah ‘terdepan’ yang justru harus lebih diperhatikan. Daerah perbatasan negara adalah daerah rawan, jikalau diabaikan penyelundupan merajalela. Dulu, di daerah perbatasan ini sering dijadikan area perjudian dan jalur pencurian hewan. Mereka aman, karena mungkin polisi dua kabupaten saling berharap, atau mungkin bukan wilayah tangkapan mereka. Entah.
Lokasinya yang berbukit terjal dengan pengerasan apa adanya, tetap saja di musim hujan mirip sawah yang barusan dibajak ban motor. Mobil jenis apapun, kecuali tank tempur, tidak bisa melewati jalur ini. Kecuali motor, itupun bagi yang dibonceng, lebih banyak jalannya daripada naik motornya. Jarak antara Camba, Kabupaten Maros dengan kampungku hanya 16 kilometer. Cukup dekat, tapi jarak tempuhnya bikin ampun. Bayangkan saja, jam tujuh pagi saya berangkat dari Bantaeng, saya tiba pukul 20.00 Malam. Waktu terlama, justru pada jarak di 16 kilometer ini.
[caption id="attachment_258755" align="aligncenter" width="500" caption="Jalan berbatu dan licin, membuat ragu para pengendara"][/caption]
Sebenarnya ketika memasuki wilayah Kabupaten Bone, jalannya sudah agak mendingan. Pengerasan, rabat beton dan sedikit aspal sudah memperlancar jalan kami, tetapi di desa Benteng kabupaten Maros, yang berbatasan dengan desa kami cukup parah. Mungkin karena penduduknya sedikit dan pengguna jalan adalah kebanyakan penduduk se-kampungku, makanya jalanan ini hanya diperbaiki asal-asalan. Lagi-lagi ini paradigma pembangunan yang menurutku kurang berkenan. Kenapa sih, Dua Kabupaten tidak bisa bersepakat untuk membangun sama-sama. Apa karena konstituen di tempat ini sedikit menyumbang suara. Saya kurang tahu. Lagi-lagi ENTAH.
Enam motor rombongan penjemput kami dari kampung, melewati tempat ini sekitar enam jam. Jangankan mendaki, menurunpun sulit. Berapa kali kami berjibaku mendorong motor, dan lumpur bahkan sudah kepercik sampai ke jidat. Dua putri kecilku tak berhenti menyoraki. Hayo….hayo….., mereka senang, karena saya menghiburnya dengan sekali lagi berbual, bahwa perjalanan ini adalah main hujan-hujanan. Saya membiarkannya mengotori bajunya dengan lumpur. Sementara saya sangat kelelahan, berapa kali hampir terjatuh. Untung saya terbiasa melewati jalanan ini, dan saat berbuka puasa kami singgah di rumah keluarga yang menghindangkan sajian buka puasa terakhir yang nikmat. Tendangan ban motor kami selanjutnya semakin lincah, seperti kuda yang di colek olesan cabe pedas di pantatnya.
Sampai di kampung, Ibunda tercinta menjemput kami dengan wajah sumringah. Kuberlutut mencium tangannya. Merengkuh rindu setahun tak bersua. Cepat sarung diambilkan ibu untuk membungkus cucunya yang kedinginan. Teh hangat dan penganan seadanya, jadi sunguhan nikmat yang menyegarkan. Akhirnya, suara klakson dan deru knalpot di kota, kini tergantikan dengan suara jangkrik dan semilir dingginnya cuaca malam, pegunungan Bontocani.
[caption id="attachment_258760" align="aligncenter" width="500" caption="Rumah kami di kampung, berlatar rimba belantara"][/caption]
Sayup-sayup masih terdengar suara takbiran, matapun hendak terpejam. Tak kesampaian, ternyata tamu berjubel datang menyambut. Lelah ini kemudian tergantikan, dengan canda tawa dan kehangatan keluarga kami yang bersahaja di kampung. Malam lebaran begitu indah, Entah tahun depan Allah SWT Masih memberi kita umur untuk nikmat kesahajaan yang tak terlupakan ini.