[caption id="attachment_352733" align="aligncenter" width="620" caption="Ketua KPK Non aktif, Abraham Samad (Image: okezone.com)"][/caption]
Sosok Feryani Lim yang dikaitkan dengan kasus Abraham Samad masih misterius. Feryani, belum menampakkan diri ke publik pasca kasusnya menjadi pewarna kisruh KPK-Polri. Perempuan cantik yang menjadi pelapor pemalsuan dokumen terhadap mantan Ketua KPK ini menarik untuk ditelusuri karena terdapat beberapa keanehan di dalamnya, termasuk mengaitkan Era Elvani, istri Halim Kalla. Ruko milik Elvani di Jl. Boulevard Makassar, dijadikan alamat Kartu Keluarga Abraham dimana di dalamnya mencantumkan nama Feriyani Lim. Apakah Elvani yang adalah ipar Wapres Jusup Kalla ini akan dijadikan saksi? Kita nantikan saja.
Keanehan berikutnya, disejumlah pemberitaan disebutkan bahwa Feriyani Lim adalah warga Potianak. Berdasarkan penelusuran melalui nomor NIK yang ada di data base pemilih pada Pilpres lalu, ternyata kenalan artis “cetar membahana” Syahrini ini, terdaftar di TPS 2, Kelurahan Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Syahrini akan dipanggil menjadi saksi karena dikenal akrab dengan Feryani Lim. Sangat memungkinkan, Feriyani alias Fransisca ini memiliki tiga KTP, yakni KTP Potianak, Makassar dan Jakarta.
Kepemilikan lebih dari satu KTP yang pada Pemilu lalu banyak mengacaukan administrasi pemilih, sesungguhnya sudah merupakan tindak pidana administrasi kependudukan yang diancam penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 25 juta. Ketentuan pidana ini terdapat dalam pasal 97 UU Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan.
Pasal inilah yang dipersoalkan Refly Harun yang menganggap bahwa sangat banyak orang di negara ini yang melakukan hal yang sama akibat buruknya sistem administrasi kependudukan. Beranikah Polri mengusut lebih jauh kasus kepemilikan KTP ganda yang menimpa banyak pejabat negara ini. KTP ganda juga termasuk pemalsuan yang dapat dijadikan bahan pelaporan ke Bareskrim untuk sekadar menjanggal banyak politisi sesuai yang diunggkap Refly Harun.
"Anggota DPRD pasti punya KTP ganda, karena saat mencalonkan menjadi anggota DPD mereka harus punya KTP setempat tapi sekarang kan sudah berlaku e-KTP. Kalau hanya begitu saya diproses, maka ya seluruh republik ini banyak tersangka," tutur pakar tata negara ini, sebagaimana Tribunnews memberitakannya.
Mantan Ketua MK, Mahfud MD juga pernah menyatakan hal senanda, bahwa kasus ketua KPK nonaktif ini masuk dalam kategori Mala Prohibata, yaitu bentuk pelanggaran hukum yang tidak merugikan siapa-siapa. Menurutnya, kasus yang menimpa Abraham Samad, hanya bersifat Mala Prohibita dan bukan permasalahan yang serius dalam hal pemalsuan dokumen.
"Seperti saya waktu jadi Menteri, tanpa minta surat pindah tiba-tiba datang KK dan KTP baru sebagai penghuni rumah dinas negara misalnya. Padahal saya tidak minta itu, itu kan melanggar hukum tapi tidak melanggar rasa keadilan. Meskipun aturannya tidak memperbolehkan dan banyak pejabat begitu," ungkap Mahfud, dalam pernyataannya.
Jejak kasus ini semakin misterius ketika Pihak Kelurahan Masale, Makassar, membantah pernah menerbitkan KK dan KTP milik Feriyani Lim. Nah, kalau pihak yang berwenang juga membantah, lantas siapa yang menerbitkannya. Bisa jadi KK atau KTP itu palsu yang kemudian mencatut nama Abraham Samad sebagai keluarga. Pihak Abraham Samad sendiri sudah membantah melakukankannya dan tidak mengenal Feryani Lim yang juga akrab dipanggil Aling. Membantah atau pun mengakui, pengadilan kelak akan membuktikannya.
Tanpa mengecualikan hasil penyelidikan Polri yang telah memeriksa 23 orang saksi termasuk di dalamnya saksi ahli, saya sependapat dengan Nursyahbani Kantjasungkana, penasehat hukum Abraham. Nursyahbani menganggap pasal yang disangkakan kepada kliennya tidak jelas. Salah satu pasal yang dimaksud adalah Pasal 93 UU RI No 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang telah diperbaharui dengan UU RI No 24 tahun 2013 dengan ancaman hukuman 8 tahun penjara.
Perlu diketahui, bahwa dalam pasal 93 tersebut acamannya 6 (enam) tahun, bukan 8 (delapan) tahun sebagaimana diberitakan. Ketidakjelasan lainnya adalah benar bahwa UU nomor 23 tahun 2006 telah diubah dengan UU Nomor 24 tahun 2013, tetapi tidak benar pasal 93 tersebut telah diubah. Pasal yang justru diubah adalah pasal 94 yang berbunyi “Setiap orang yang memerintahkan dan/atau memfasilitasi dan/atau melakukan manipulasi data kependudukan dan/atau elemen data penduduk dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 75.000.000”
Kalau kesalahan ini benar terjadi, artinya polisi tidak hati-hati dalam menetapkan orang menjadi tersangka dan malah terkesan tergesa-gesa. Kesan mempidanakan pimpinan KPK dengan kasus kecil seperti ini, sementara bisa diambil kebijakan sesuai hak diskresi Polri, serta adanya ketidak jelasan pasal yang disangkakan mengakibatkan publik bisa bertanya-tanya; pasalnya dicari-cari. Publik, termasuk saya tidak dilarang curiga, yang penting tidak menuduh, agar semua menjadi terang.
Patut dicermati kekhawatiran Jimly Asshiddiqie dalam bukunya; bahwa orang sering terjebak dalam keinginannya sendiri mengenai apa yang semestinya diatur, bukan apa yang dikehendaki peraturan itu. Mereka sering berpikir mengenai apa yang Ia inginkan dengan sesuatu ketentuan hukum, bukan apa yang diinginkan oleh perumusan norma hukum itu sendiri. Menurutnya, para sarjana hukum kita (termasuk para penegak hukum) cenderung bersikap sebagai politisi hukum daripada bersikap sebagai jurist.
Tulisan, dari berbagai sumber. Sumber gambar, okezone.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H