[caption id="attachment_317550" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption] Saya tidak tertarik dengan pro-kontra kepemimpinan Djokowi soal banjir kemarin yang melanda Jakarta. Belajar dari banyak kasus air di beberapa negara maka persoalan air dan banjir melimpahnya air sungai Ciliwung bukan perkara mudah dan tidak mungkin dibuktikan dalam satu dua tiga tahun kepengurusan pemerintahan apalagi hanya seorang Djokowi. Di Korsel, dibutuhkan lebih dari 35 tahun membersihkan sungai di Kota Seoul yang rusak karena polusi pabrik dan mampet akibat limbah rumah tangga. Ini terjadi ketika pasca-Perang Utara-Selatan Seoul dipaksa menjadi kota kemakmuran setelah mendapatkan limpahan proyek kapitalisme untuk menyaingi kota-kota sosialisme di Utara. Hasilnya urbanisasi, pengangguran, kekumuhan, polusi, banjir. Sampai pada 1970 mereka putuskan mengatur tata kota dan mendidik publik kota mencintai sungai-sungainya. Singapura perlu 38 tahun membangun embung, penampungan Marina Barak, rioul, dan melatih penduduknya berhemat menggunakan air dengan menerapkan tarif. Itu karena mereka sadar negaranya tidak punya air dan membeli dari Johor Malaysia. Sekarang Singapore mengekspor balik air mineral ke Johor, juga air industri dari hasil olah limbah rumah tangga (Newater) bagi pabrik-pabrik di kawasan. Sementara di Kota Wuppertal Jerman -tempat di mana Freiderick Engels lahir, dan mempelajari nasib buruh tekstil sebelum akhirnya berkenalan dengan Karl Marx dan membuat buku Manifestasi Kaum Komunis- baru pada 1965 dan lebih dari 30 tahun kemudian setelah relokasi pabrik kimia, tekstil, obat, dan cat dipindahkan dan diberlakukan paksaan pada industri untuk menormalkan limbah cair sebelum dibuang maka Sungai Wuppertal kembali jernih dengan ikan-ikan trouts, bass, dan bebek leher ungu kembali datang. Persoalan utama dari pemerintahan di negara-negara tadi sebelum mengambil tindakan mengelola ruang kerjanya seperti menata air bukanlah pada cara menjawab (answering) apa-apa yang dikeluhkan atau diinginkan publiknya. Tetapi mereka sebaliknya membuat pertanyaan besar (urban question) kepada publiknya sendiri Urban Question ini yang dibahas rinci oleh Manuel Castells sebagai tanggapannya terhadap "the right to the city" daripada Henri Lefebvre. Menurut Lefebvre, setiap insan punya hak menjadi orang "kota", insan modern, beradab, gaya, dan punya aturan-aturan hidup. Ini sebab, lanjut tuan Lefebvre bahwa dapat dipastikan bahwa revolusi sosial selalu mengambil tempat di kota sama. Hal yang sama terjadi dengan revolusi pemikiran dan peradaban. Untuk itu lanjutnya, orang punya hak mengalami revolusi baik pemikiran dan menjadi lebih beradab menjadi insan kota. Tuan Castells menambahkan pada teori tadi bahwa, selain menuntut "the right to the city", orang juga harus faham soal "the right of the city", hak-hak dari kota itu sendiri. Sebab dalam kenyataannya hidup di ibu kota ternyata lebih kejam daripada ibu tiri, di mana orang harus saling sikut dan sikat memperjuangkan hidupnya. Melahirkan moralitas induvidualisme semau gue, urusan aing, kumaha dewek. Di sinilah relevansi dari Urban Question, yaitu orang yang ingin tinggal di dalam sistem kota harus menjawab pertanyaan yang diinginkan sebuah kota yang penuh kompetisi dan transaksional. Untuk itu orang dipaksa untuk taat pada mekanisme industri, tetapi ia juga harus punya kesadaran akan aturan dan mekanisme ketaatan agar setiap orang memperoleh akses sama terhadap kemakmuran dan mimpi kota. Maka jika ingin lepas dari problem banjir dan macet orang harus mulai hidup berdamai dengan air. Memberi kota ruang resapan selain menutupinya dengan aspal dan semen. Menumbuhkan pohon selain meninggikan gedung-gedung dan menara. Membuka ruang publik selain ruang kapital mall-mall dan business center. Memaksimalkan fungsi daur sungai-sungainya selain tempat membuang limbah cair dan prasarana transpotasi. Memberi tempat bagi kota mengolah polusi dengan memperbanyak hutan kota, mengurangi penggunaan bbm fosil, memperbanyak serikat mobil berbagi (sharing car), metro line, dan transportasi publik lainnya. Ini kenapa kota penuh dengan rambu-rambu dan banyak sekali aturan, karena kota selalu menciptakan kompleksinalitas dan transaksi-transaksi yang membuat banyak hal tidak menjadi lebih mudah. Ini misalnya bagaimana mencegah kemacetan, seorang gubernur selain berpusing dengan anggaran ia juga harus juga berkompromi dengan produsen mobil dan bank kredit motor. Sementara di level masyarakatnya pun yang terjadi sekarang, adalah orang di Jakarta dan banyak kota-kota di Tanah Air kita terlalu banyak meminta jawaban yang kadang-kadang spontan dan instant. Tetapi kita malas menjawab apa yang menjadi hak kota. Ini dapat dipahami kenapa korban banjir selalu wilayah dan orang-orang yang sama? Yaitu mereka yang sebagian besar tinggal di bantaran DAS sungai yang secara hukum ada larangannya. Mereka menolak pindah dengan alasan ekonomi, jauh dari tempat kerja, males, dan argumen bahwa banjir cuma datang dua hari atau paling lama satu minggu, selebihnya tidak banjir. Belum pada pengembang besar seperti Podonyoro, Cikustaland, Bakerie, Sinaremas yang diam-diam membeli tanah rawa Kelapa gading, Serpong, Sunter, Pluit, Cilincing, Cipinang, Bekasi, yang seharusnya menjadi lahan tadah dan penampungan air bagi kota Jakarta, Bekasi dan Tangerang. Selama pertanyaan bagaimana kita menjawab hak kota ini terus diabaikan dan lebih semangat memperoleh jawaban untuk memuaskan nafsu kita terhadap kota maka semua gubernur, bukan hanya Djokowi paling bisa menjawabnya dengan solusi-solusi instan dan konyol seperti gali-gali gorong-gorong, atau blusukan liat pengerukan dan tambal sulam bendungan. Padahal kita faham bahwa persoalan banjir dan macet bukan satu persoalan kemarin sore, bukan sepenuhnya kesalahan gubernur juga pemerintahannya. Dibutuhkan kurang lebih 5 gubernur lagi sebelum Jakarta betul-betul bebas banjir dan macet. [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H