Mohon tunggu...
Andi Hakim
Andi Hakim Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Fat Collector. Menerima pembuatan pidato kenegaraan, pidato kawinan, pemakaman, pidato kelurahan, business plan, political plan, action plan, retirement plan, dead plan dll. Peneliti di Bonn, Jerman, Singapore dan Boston

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kebijakan Publik yang Mengancam

2 Februari 2014   18:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:13 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391509809762926512

[caption id="attachment_320377" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]

Setelah kebijakan diskriminatif bahwa hanya PT Trans Jakarta yang boleh menggunakan jalan raya busway, rupanya Jalan Layang Non Tol (JLNT) Kuningan-Tanah Abang juga bukan untuk kendaraan roda dua.

Pulang dari rapat bersama kawan-kawan PIKIR di Patal Senayan, saya balik arah JLNT dan mencari pemahaman apa yang terjadi setelah minggu lalu sepasang suami-istri yang mencoba menikmati jalan layang tadi menjadi korban tertabrak mobil ketika menghindar razia yang menunggu mereka di bawah. Di bagian turunan JLNT arah tanah abang tempat kejadian tadi memang ternyata sudah ditunggui beberapa personil polisi yang dengan mudah menyergap motor-motor yang sial mencoba-coba melanggar aturan motor dilarang masuk. Kira-kira sepuluh menit saiyah berdiam di seberang dan menghitung tidak kurang 30 motor kena tilang. Saya tidak kaget mengapa pengendara motor itu tetap naik, karena mereka ingin ikut menikmati jalan baru sambil kucing-kucingan mempercepat perjalanan. Sementara yang membuat heran adalah mengapa polisi-polisi itu seperti menunggu saja di sana seperti orang pasang jebakan. Terlihat sekali bahwa tilang tadi mudah dicurigai sebagai sesuatu yang transaksional. Model-model jebakan batman seperti ini memang ketimbang mencegah lebih sering memanfaatkan kecenderungan orang berbuat salah dan sebagai cara menebus dosa mereka yang kena tilang berusaha menghindari ancaman polisi dengan membayar. Jadi aneka ancaman dalam penerapan aturan sama sekali tidak digubris jika memang dia kurang logis. Maka ketika tiba di rumah dan membuka berita online, Walikota Ridwan Kamil pun menerapkan kebijakan diskriminatif dengan larangan dan ancaman membayar 1 juta perak pada mereka yang berbelanja di kaki lima di zona terlarang kota Bandung. Pada kebijakan ancam-mengancam, larang-melarang dan diskriminatif seperti ini tentu kita boleh bertanya sebenarnya apa dalil dan manfaat dari kebijakan tadi? Misal pada diskriminasi jalur busway hanya untuk PT Trans Jakarta tentu kita bertanya apakah nenek moyang mereka ikut berinvestasi di pembuatan jalan publik ini? Di mana di dunia ini hanya ada satu perusahaan yang boleh menggunakan jalan umum sebagai jalan pribadi sementara yang lain yang sama-sama bayar pajak mengalah? Demikian juga pada pelarangan dan ancaman denda satu juta bagi pembeli kaki lima, kita bertanya; apakah kesalahan penjual kaki lima yang adalah 70% mereka yang menggerakkan ekonomi informal di Indonesia? Mengapa kaki lima dilarang sementara di mana-mana tempat di Eropa, Jepang, Cina, USA, kaki lima selalu ada menjajakan layanan di sentra-sentra kota, mulai dari pedagang pisang coklat, koran, roti, es krim, kebab, sosis, burger, sampai kue-kue dan timbel bento sarapan pagi. Belum kita berhitung bagaimana usaha kaki lima ini menjadi solusi murah bagi mereka-mereka yang tidak punya akses ke misalnya pujasera mahal, restoran, atau cafe-cafe untuk menikmati kopi dan kue. Kita perlu bertanya, mengapa untuk menciptakan ketertiban kekuasaan selalu menggunakan ancaman dan berpikir bahwa menggunakan kebijakan-kebijakan yang deteran atau menakutkan akan dapat langgeng sebagai sebuah solusi. Padahal kita paham bahwa kebijakan-kebijakan seperti larangan masuk busway, naik JLTN atau berjualan kaki lima itu melawan nurani dan sama sekali tidak efektif mencegah orang kecil mengadu nasib. Semua aturan yang disertai ancaman-ancaman ini mirip ketika Soedomo di era Orde Baru menggasak becak di Jakarta atas nama kemanusiaan padahal justru dia sedang menghilangkan hak orang mencari nafkah. Maka sejauh pemerintah tidak dapat memberikan mereka lapangan kerja yang layak, maka sejauh itu pula kaki lima bergerilya mencari kesempatan hidup. [ ]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun